Musim pancaroba telah berlalu, namun kini kembali diingatnya. Musim yang nyaris saban hari membawa hujan, guruh, petir, dan angin dari laut; yang bersatu padu telah mengubah hidupnya. Musim yang menghempaskan dan menerbangkan atap-atap; mematahkan dahan-dahan, merubuhkan, bahkan mencabut sebagian keteguhan pohon dari akarnya. Musim yang mengubah riak laut tenang menjadi gelombang yang menghempas dan mengaramkan kapal-kapal. Musim pembawa badai kematian. Ayahnya hilang di laut.
Sudah tiga bulan berlalu. Ia, adik-adik, ibunya, sudah bisa menerima. Kembali melanjutkan hidup meski beban hidup menjadi berat. Â Sempat terganggu batinnya saat bayang-bayang ayah hadir sesekali di pulau-pulau kecil tak bertuan di sekitar kampung yang ditempatinya, di pantai, di kapal-kapal nelayan, di bayang-bayang pepohonan kelapa, juga di rumah. Ia sudah bisa melewati bayang-bayang itu. Sudah mampu melepaskan, mengikhlaskan.
Namun, suara tetua kampung di warung pada suatu malam, mengusik hati yang sudah dikuatkannya. Malam itu ia duduk terdiam di sudut meja warung. Masih lelah dan mulai mengantuk karena siang sepulang sekolah, ia menjaring ikan bersama temannya. Sore hari ia lanjutkan kerja di warung itu.Â
Suara pemilik warung yang sudah dikenalinya, menegurnya.
"Nak, jangan melamun. Pelanggan ada yang pesan kopi."
Ia langsung bangkit dan segera membuat kopi. Tak lama membuatnya. Disajikan kepada kedua tetua yang cukup dikenalnya dan punya pengaruh di kampung. Seorang ketua kelompok nelayan dan seorang lagi kepala desa.
Saat kembali ke meja sudut, ia mendengar percakapan tetua itu.
"Dia anak almarhum Ismail, bukan?" tanya  kepala desa.
"Iya. Mulai sore dia bantu-bantu di sini kalau tak melaut," sahut ketua kelompok nelayan.
"Oo, melaut juga dia?"
"Iya. Sudah sering melaut sama nelayan kelompok kami. Â Ada yang mengajaknya atau dia minta sendiri. Sebenarnya pernah saya himbau kepada nelayan, jangan memperkerjakan anak sekolah, kalau bukan hari libur sekolah, tapi anak ini punya alasan yang membuat kami susah menolak. Dapur rumah belum berasap, katanya."
"Sayang sekali anak itu."
"Ya, sayang sekali anak itu. Harusnya anak itu tak perlu cari nafkah kalau almarhum masih hidup. Saya teringat sama almarhum, sudah saya ingatkan kepada semua nelayan. Jangan melaut dulu, cuaca lagi buruk. Tapi almarhum rupanya tak menggubris. Diam-diam melaut sendirian pas malam berbadai itu."
"Sayang. Walau bagaimanapun, tak bisa kita ubah yang sudah terjadi. Sudah takdirnya."
Nasrul, nama anak lelaki itu. Meradang mendengar nama ayah diungkit dan dipersalahkan atas malam berbadai itu. Ia bangkit dan dihentak kursi hingga menimbulkan suara gaduh.
"Hei, orang tua! Kenapa begitu mengeluarkan suara?! Apa kalian pikir aku tak mendengar?! Kalian pikir aku anak kecil tak mengerti apa yang kalian katakan?! Jangan karena kalian merasa orang tua dan dihormati di kampung, bisa sembarang bicara begitu?! Saya tak terima ayah diburukkan begitu."
Pemilik warung bangkit cepat-cepat. Â Merangkul bahu Nasrul. Menenangkannya dan mendudukkan Nasrul kembali ke tempat. Namun Nasrul meronta. Beberapa pelanggan lain diam menonton.
"Lepaskan aku. Lihat para tetua ini, tenang saja tak merasa bersalah. Merasa paling benar. Kalian tak tahu apa-apa yang terjadi! Pemerintah tidak tau apa-apa kesulitan kami. Kalian yang bikin masalah sampai ayahku nekat melaut."
Kedua orang tua itu bersikap tenang saja. Sebagai pemimpin dan pengayom masyarakat, sudah terbiasa dan terlatih menghadapi kemarahan warga. Kini pun mereka bersikap tenang meskipun ego terusik diteriaki remaja tanggung.Â
Melihat ketenangan itu, semakin membadailah kata-kata dari mulut Nasrul tak beraturan. Jika disusun, beginilah yang dikatakan.
Bermula dampak dari ketidakadilan yang terjadi di kampung, telah menyulitkan hidup keluarganya. Janji politik calon bupati bahwa akan memberikan bantuan perahu dan alat tangkap ikan jika menang, ternyata ketika menang hanya diberikan kepada kelompok nelayan yang terlibat tim sukses bupati. Ayahnya tidak kebagian bantuan, bahkan kelompok nelayan ayah tak lagi masuk data di dinas. Tak ada alasan yang masuk akal ketika kelompok nelayan ayah tak lagi terdata, kecuali alasan karena kelompok nelayan ayah tidak mendukung dan tak menjadi tim sukses calon bupati. Keterlaluan, padahal bantuan itu dari uang negara, bukan uang dari partai politik.
Ayahnya juga tak mendapat bantuan alat tangkap ikan sementara nelayan lain mendapatkannya. Akibatnya, ayahnya mencari nafkah di laut menjadi berat tanpa alat-alat penting itu. Ayahnya terpaksa menyewa perahu. Alat tangkap ikan berupa jaring, dibeli ayah dengan berutang. Dulu ayahnya sudah membeli alat tangkap ikan berupa pukat hela. Namun kebijakan pemerintah yang baru, melarang pemakaian pukat hela karena tak ramah lingkungan. Pukat hela ayahnya teronggok tak terpakai padahal telah dibeli dengan jerih-payah.
Karena kondisi terikat utang itulah, ayahnya nekat melaut meski cuaca mengancam. Ayahnya sudah tiga hari tak melaut membuat utang menumpuk, dapur tak mengepul, tambah lagi biaya kebutuhan sekolahnya dan adik-adiknya mendesak untuk dilunasi yang berpapasan memasuki awal tahun ajaran baru. Adiknya pun berjatuhan sakit di musim tak bersahabat itu.
Sore sebelum berangkat, masih diingat pesan dan tatapan ayah bersamaan kilat, guruh, hujan dan angin kencang. Begitu menggetarkan dan menghujam hati Nasrul.
"Jaga keluarga. Kamu harus sabar dan kuat!"
Itu pesan terakhir ayahnya yang begitu mendalam dan melekat hatinya. Nasrul tak mampu membendung air matanya. Pecah dan mengguncang tubuhnya.Â
Tangisan itu menghentikan badai kata-kata Nasrul terhadap tetua kampung itu. Nasrul berhasil didudukkan. Nasrul terus menangis hingga mengguncang tubuhnya.Â
Ia juga teringat peristiwa siang kala itu sebelum sore ayah berangkat melaut. Ingatan yang membuatnya merasa bersalah. Ia sempat berantam dengan ayahnya karena masalah biaya sekolah yang belum bisa ayahnya lunaskan. Ia marah dan mengeluarkan kata-kata menyakiti ayahnya.
Kedua tetua itu pergi meninggalkan warung. Tanpa kata sepatah pun. Biasa ada pamit atau salam terucap. Beberapa pelanggan warung ada yang berkaca-kaca mata ikut berempati pada Nasrul.
***
Seminggu kemudian, keluarga Nasrul mendapat asuransi kematian ayahnya 200 juta rupiah dari Kementerian Kelautan. Nasrul terguncang tubuh, rubuh, dan pingsan. Saat menerima asuransi itu, Nasrul berkelebat prasangka mengartikan pesan tersembunyi ayahnya dulu bahwa ayah sengaja mengorbankan nyawa pada badai demi asuransi yang kini mereka dapatkan. *** (Bener Meriah, Aceh, 2 November 2018).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H