Belum tuntas yang hendak kusampaikan supaya Papa tabah, Papa reflek  melepas rangkulan dan mendorong bahuku. Aku tersurut selangkah.Â
Tanpa menatapku, mata ke lantai, Papa menggeleng-geleng keras.
"Iya, ya. Hehe. Papa lupa. Eh, Papa bercanda, kok,"  Papa terlihat mencari alasan, resah, malu, kacau atau entahlah tak bisa kuartikan perilakunya. Cepat ia melangkah dan  masuk rumah. Meninggalkanku di serambi. "Papa mandi dulu ya, Tari," katanya cepat.
Selang kemudian, kudengar Papa menangis diam-diam. Menangis tak putus-putus di dalam kamar. Awalnya aku mencoba memahami (atau menolak) kenyataan akan perilaku Papa; menganggap, memaklumi bahwa Papa masih bersedih, maka ia begitu.
Namun makin hari, Papa sering terpaku menatap foto-foto Mama, makin kosong tatapan, malas makan, geraknya lambat, volume suara kecil dan intonasi tak jelas. Sering bergumam saat memandangi burung balam di pohon tak lagi berdaun itu, "Pulanglah, Merpatiku."Â
Papa sesekali bicara dan tersenyum-senyum sendiri (seakan sedang bersama Mama). Papa juga semakin sering menangis panjang di kamar memeluk foto Mama (yang kini semua foto Mama telah kusembunyikan). Papa juga kemudian menjadi tak bisa tidur berhari-hari.
Papa pun tak lagi melukis kecuali untuk lukisan perempuan yang tak selesai-selesai kedua bola matanya. Sangat kutahu siapa perempuan yang hendak dilukis Papa dan mata dengan binar yang bagaimana ingin dilukis Papa.
Aku kadang sangat ingin melukis kedua mata perempuan itu, tapi kutahan diri. Aku khawatir jika nyala mata itu kulukis.Â
Papa sudah pernah larut dalam binar bola mata merpati yang sempat kami pelihara dalam sangkar. Papa terus-menerus menatap dan tersenyum pada mata merpati hingga Papa lupa makan, mandi dan tak mau bicara pada siapa pun. *** (Banda Aceh, 26 Oktober 2018)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H