Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lukisan Perempuan Tanpa Mata

26 Oktober 2018   05:58 Diperbarui: 26 Oktober 2018   10:47 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum tuntas yang hendak kusampaikan supaya Papa tabah, Papa reflek  melepas rangkulan dan mendorong bahuku. Aku tersurut selangkah. 

Tanpa menatapku, mata ke lantai, Papa menggeleng-geleng keras.

"Iya, ya. Hehe. Papa lupa. Eh, Papa bercanda, kok,"  Papa terlihat mencari alasan, resah, malu, kacau atau entahlah tak bisa kuartikan perilakunya. Cepat ia melangkah dan  masuk rumah. Meninggalkanku di serambi. "Papa mandi dulu ya, Tari," katanya cepat.

Selang kemudian, kudengar Papa menangis diam-diam. Menangis tak putus-putus di dalam kamar. Awalnya aku mencoba memahami (atau menolak) kenyataan akan perilaku Papa; menganggap, memaklumi bahwa Papa masih bersedih, maka ia begitu.

Namun makin hari, Papa sering terpaku menatap foto-foto Mama, makin kosong tatapan, malas makan, geraknya lambat, volume suara kecil dan intonasi tak jelas. Sering bergumam saat memandangi burung balam di pohon tak lagi berdaun itu, "Pulanglah, Merpatiku." 

Papa sesekali bicara dan tersenyum-senyum sendiri (seakan sedang bersama Mama). Papa juga semakin sering menangis panjang di kamar memeluk foto Mama (yang kini semua foto Mama telah kusembunyikan). Papa juga kemudian menjadi tak bisa tidur berhari-hari.

Papa pun tak lagi melukis kecuali untuk lukisan perempuan yang tak selesai-selesai kedua bola matanya. Sangat kutahu siapa perempuan yang hendak dilukis Papa dan mata dengan binar yang bagaimana ingin dilukis Papa.

Aku kadang sangat ingin melukis kedua mata perempuan itu, tapi kutahan diri. Aku khawatir jika nyala mata itu kulukis. 

Papa sudah pernah larut dalam binar bola mata merpati yang sempat kami pelihara dalam sangkar. Papa terus-menerus menatap dan tersenyum pada mata merpati hingga Papa lupa makan, mandi dan tak mau bicara pada siapa pun. *** (Banda Aceh, 26 Oktober 2018)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun