Setelah gajah pergi jauh ke dalam hutan, meninggalkan pemukiman kami, pawang gajah menerangkan dengan jernih dan lembut apa yang sebenarnya terjadi.
"Gajah telah mengalah. Mau pergi dari pemukiman kita. Ia tak menganggu lagi. Ia sudah selesai menyampaikan pesan," kata pawang. Kami duduk bersila di tikar yang digelar di rerumputan pinggiran hutan.
Pagi masih cerah ketika acara pengusiran gajah selesai. Kini kami makan bersama hidangan yang telah kami siapkan bersama-sama.
Kami masih diam. Menunggu keterangan lebih lanjut dari pawang. Terdengar asing bagi kami ketika ia mengawali penjelasan, "Gajah sudah menyampaikan pesan".
Gajah berkomunikasi padanya? Pesan apa? Begitu para tetua mukim bertanya sambil menghisap rokok dalam-dalam. Sebagian warga lain menyeruput kopi, teh, makan nasi ketan, dan kue-kue yang telah disajikan.
"Gajah sedih, bingung, marah, kecewa, campur aduk perasaan mereka. Sejak ia muncul ke pemukiman kita, menghancurkan tanaman-tanaman kita seperti pohon pisang, pinang, kelapa, sagu, dan tanaman padi, dari sini gajah telah mulai menyampaikan pesan pada kita," lanjut sang pawang. Diseruput kopi, ditarik sehela rokok.
"Tidak cukupkah tanaman-tanaman itu memenuhi kebutuhan kalian? Begitulah jika mau dibahasakan apa yang disampaikan gajah. Tidak cukupkah tanaman-tanaman ini, lahan-lahan yang sudah kita ambil ini buat kita? Buat apa lagi hutan habitat mereka kita rambah dijadikan perkebunan baru. Kita tebang pohon-pohon sebesar kamar-kamar rumah kita."
Tiba-tiba pawang itu bercucuran air mata. Mau melanjutkan cerita lagi, tapi kata-kata yang hendak diucapkan terganggu oleh dadanya yang masih membuncah tangis yang belum tumpah semua. Ia tarik nafas. Tampak menguatkan jiwa. Bercerita lagi.
"Gajah tak ada niat mengganggu manusia tapi manusia mengganggunya. Saat kita usik hutan itu, gajah sempat terpukul karena habitatnya terusik. Ia sudah nyaman di wilayah hutan yang sedang kita rambah itu. Ada sungai sekitar sekitar 1,5 km di habitat mereka. Mereka butuh sungai itu. Tak mau gajah pergi jauh dari sungai. Ia mau saja meninggalkan habitat hutan yang kita jarah, berdekatan sungai juga, tetapi di dekat sepanjang sungai itu sudah ada manusia juga. Hutannya juga sudah dirambah. Gajah pada bingung. Sedih. Marah. Kecewa pada kita. Maka didatangilah tanaman-tanaman kita untuk menyampaikan kekecewaan dan kemarahannya pada kita. Mau apalagi sebenarnya kita? Tak cukupkah dengan tanaman-tanaman dan lahan-lahan yang sudah ada itu?"
Pawang menatap kami. Kami menunduk. Ia melanjutkan. "Saya tak menyalahkan gajah. Kubenarkan gajah. Maafkan kami, kata saya. Maafkan kami. Ada masalah antara manusia yang belum selesai-selesai. Lahan-lahan yang sudah kami garap dikuasai sekelompok manusia sementara manusia lain belum memiliki lahan. Jadi harus kami cari lahan baru untuk mereka demi kesejahteraan hidup yang layak. 'Gajah kamu tak sayang pada manusia-manusia lemah itu?' Saat saya bertanya begitu, saat itulah gajah menangis hingga bercucuran air mata. Saya juga menangis tadi." Pawang menarik nafas dalam. Bercerita lagi.
"Gajah bertanya pada saya, 'Lalu apa kalian tak sayang pada kami hanya karena kami binatang? Tuhan yang kalian sembah menyayangi kami. Kalau kalian tak sayang pada kami, menghancurkan habitat kami, sama saja kalian membelakangi dan melupakan kasih sayang Tuhan."
Pawang mulai menetes air mata. Ia sapu dengan lengan bajunya.
"Sayang, kami sayang. Maafkan kami manusia yang salah ini. Banyak masalah antara kami sehingga melupakan dan tak menunjukkan kasih sayang kami pada kalian. Sekarang, mari kita berdamai. Melalui saya, kami masih peduli dan sayang pada kalian. Akan saya tunjukkan tempat baru kalian untuk habitat baru. Mohon mengalahlah bagi manusia. Hanya ada kehancuran jika kita saling berperang. Saya mohon sekali, mengalahlah. Saya akan tunjukkan hutan yang dekat sungai untuk kalian hidup."
Pawang itu mengalir air mata lagi. Ia tarik dalam rokoknya.
"Akhirnya, gajah mengalah. Setuju mereka pergi. Sementara beberapa ekor gajah yang masih tertinggal, nanti akan ikut mereka. Gajah berpesan soal gajah tertinggal itu, dan berkata pada saya, 'Jika gajah tertinggal itu masih merusak, mohon maklum dan maafkan gajah itu karena mungkin belum sampai pembicaraan kita ini atau masih marah dan kecewa. Tapi gajah yang segera pergi itu sudah pastikan bahwa gajah yang tertinggal itu akan ikut mereka. Jangan bunuh gajah yang tertinggal itu. Halau secara baik-baik. Maafkan dan maklumi gajah itu. Gajah yang tertinggal akan menyusul."
Pawang itu menatap kami. Yang menatap balik pawang hanya beberapa para pemilik dan penguasa tanah mukim kami. Lainnya menunduk.
Pawang melanjutkan, "Gajah sebelum pergi, berpesan pada manusia, berhati-hatilah dengan keinginan-keinginan kalian. Keinginan yang tak terkendali dan tak di-rem kelak akan membawa bencana."
***
Ketika hari menanjak naik, waktu shalat dhuhur hendak masuk, kami selesaikan acara pengusiran gajah. Pulang dengan pandangan tertunduk.
Setelah shalat dhuhur dan pawang pulang, beberapa warga ke warung. Di antaranya pemilik tanah, tetua, dan orang kaya di mukim kami. Di antara mereka sempat berkata, "Sudah berlebihan pawang itu bicara. Sudah mengkhayal dia. Seperti dukun saja dia bicara. Sampai-sampai meramalkan bencana. Jangan percaya sampai ke situ. Sudah syirik itu!"
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H