Mohon tunggu...
Fazil Abdullah
Fazil Abdullah Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis itu berat, Sayang. Kau harus sediakan waktu dan dunia, yang seringnya tidak bersahabat.

Cerpen Perempuan yang Meminta Rokokmu dan Mogok di Hutan mendapat penghargaan dari Kompasiana (2017 dan 2018). _____________________________________________ linktr.ee/fazilabdullah 👈 merupakan pintu masuk menuju dunia karya saya. silakan masuk dan jelajahi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menikmati Secangkir Luka

22 Agustus 2016   00:51 Diperbarui: 29 Agustus 2016   21:14 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ah, Kopi. Dini hari kau panggil aku. Aku tak bisa tidur, justru kau tawar kopi. Tapi aku tak bisa menolak sebab kau adalah teman luka. Kita telah begitu akrab. Lalu luka ini makin mendekatkan kita. Perbedaannya, kau sudah bisa belajar menikmati lukamu tapi aku tidak.[caption caption="Dalam kepahitan, ada nikmat di sana"][/caption]

Ya, kaulah sekumpulan biji luka yang melewati sekian basah, panas, dan hancur. Pahit, gelap, dan remuk-redam perjalanan hidupmu. Kau tetap suguhkan kenikmatan di balik luka-lukamu dalam secangkir kegelapan.

*

Kuseruput pahit manismu. Kuhirup aromamu. Hangat dan bertenaga meresap dada. Padamu pernah kucoba sibak; kekuatan bagaimana yang kau sembunyikan di dalam secangkir kegelapanmu itu?

Aku lemah. Remuk-redam begini. Kehilangan rasanya menjadi kutukan dan petaka. Kehilangan itu melumpuhkan jiwa. Ingin kubuang, tapi tak bisa. Secara logika, sudah sepantasnya kubuang rasa kehilangan agar mudah kurangkul kesenangan-kesenangan yang datang menggoda dan menghampiri.

Tapi sekali lagi, aku tak bisa. Sebab usai terpuaskan, aku hampa. Kehilangan membolak-balikkan jiwaku di antara kepuasan dan kehampaan. Hatiku hanya padanya. Tapi ia bergeming. Tak bisa menerimaku lagi. Ia pergi.

Memang harus kehilangan untuk menyadari seseorang itu berarti. Dalam masa kehilangan itu, segala rasa manusiawi datang silih-berganti mengacaukan hari-harimu. Dalam keadaan begitu, tiga kemungkinan yang terjadi selanjutnya; terpikir lebih baik tak punya hati, menjadikannya pelajaran, atau jalani hari setengah hidup (setengah mati).

*

Kubaca lagi puisinya tertulis tegas sebagai salam perpisahan.
---
DURI SEHABIS BUNGA

Pada titik-titik masa tertentu, aku habis. Jenuh. Tak ada yang menarik tertinggal padaku untuk kau aromai dan indah di matamu. Selain duri-duriku yang melukaimu saat kau mendekat.

Sayangnya, ingatanmu payah dalam mengingatku saat berbunga-bunga. Lebih segar ingatanmu pada duri-duriku yang membekas hatimu.

Seharusnya kau mengerti saat aku habis, saat aku jenuh. Seharusnya kau siram dan pupuk. Jika kau sabar, saat berbunga nantinya tentu kuberi dan menerima kau patahkan semau inginmu.

Tapi mengertilah, sesekali waktu aku habis setelah patah semua. Saat begitu, aku butuh sendiri dengan duri-duriku. Berilah waktu sejenak untuk berbunga kembali.

Jangan meminta dulu saat kutak punya. Jangan mendekat agar kau tak terluka. Jika kau paksa, hanya duri akan kau temui tanpa bunga.

Seharusnya kau telah cukup mengerti. Tapi hatimu jauh.
--

Jika kukenang dia, ada yang sangat sangat-sangat kusedihkan. Ia juga pernah mengalami. Panas dingin tubuh, lemah jiwa, tak bisa tidur, malas makan, tidak bergerak, meringkuk di kasur, untuk memutuskan tak bicara lagi denganku. Ia memutuskan meninggalkanku yang ia sayang seperti tidak pernah berarti baginya lagi. Yang paling menyakitkannya lagi, ia melakukan itu dengan susah-payah.

Ah, Kopi. Bergetar aku. Aku masih saja ingin menangis. Ingin menangis tersedu-sedu. Berdesir darahku hingga ke ubun-ubun jika mengingat perihalnya. Sakit benar kehilangan dan penyesalan pada orang yang kau kasih. Tapi berkatmu, air mata ini tak sampai jatuh. Kau janjikan kenikmatan di balik kepahitan.

Kopi, ajari aku menjadi sepertimu. Melebur menjadimu. Tak sanggup aku jalani hari-hari begini. Kopi, ajari aku menikmati setiap luka seperti jalan hidupmu.

Kopi, ajari aku menikmati kepahitan ini sendiri dalam diam dan tenang. Ajari aku kenikmatan mengecap dan menyuruput kepahitan hari-hari usai ditinggal yang kukasihi. Ajari aku. Remuk-redam diri jika sudah menyangkut perihalnya.

Tak salah bukan jika padamu jiwaku sering singgah. Mencoba mengambil kekuatanmu. Mengambil ketenanganmu. Mengambil penerimaanmu atas luka. Tak ada ronta, tak ada ratap padamu. Tetap elegan meski melewati sekian luka.
**

Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun