Seharusnya kau mengerti saat aku habis, saat aku jenuh. Seharusnya kau siram dan pupuk. Jika kau sabar, saat berbunga nantinya tentu kuberi dan menerima kau patahkan semau inginmu.
Tapi mengertilah, sesekali waktu aku habis setelah patah semua. Saat begitu, aku butuh sendiri dengan duri-duriku. Berilah waktu sejenak untuk berbunga kembali.
Jangan meminta dulu saat kutak punya. Jangan mendekat agar kau tak terluka. Jika kau paksa, hanya duri akan kau temui tanpa bunga.
Seharusnya kau telah cukup mengerti. Tapi hatimu jauh.
--
Jika kukenang dia, ada yang sangat sangat-sangat kusedihkan. Ia juga pernah mengalami. Panas dingin tubuh, lemah jiwa, tak bisa tidur, malas makan, tidak bergerak, meringkuk di kasur, untuk memutuskan tak bicara lagi denganku. Ia memutuskan meninggalkanku yang ia sayang seperti tidak pernah berarti baginya lagi. Yang paling menyakitkannya lagi, ia melakukan itu dengan susah-payah.
Ah, Kopi. Bergetar aku. Aku masih saja ingin menangis. Ingin menangis tersedu-sedu. Berdesir darahku hingga ke ubun-ubun jika mengingat perihalnya. Sakit benar kehilangan dan penyesalan pada orang yang kau kasih. Tapi berkatmu, air mata ini tak sampai jatuh. Kau janjikan kenikmatan di balik kepahitan.
Kopi, ajari aku menjadi sepertimu. Melebur menjadimu. Tak sanggup aku jalani hari-hari begini. Kopi, ajari aku menikmati setiap luka seperti jalan hidupmu.
Kopi, ajari aku menikmati kepahitan ini sendiri dalam diam dan tenang. Ajari aku kenikmatan mengecap dan menyuruput kepahitan hari-hari usai ditinggal yang kukasihi. Ajari aku. Remuk-redam diri jika sudah menyangkut perihalnya.
Tak salah bukan jika padamu jiwaku sering singgah. Mencoba mengambil kekuatanmu. Mengambil ketenanganmu. Mengambil penerimaanmu atas luka. Tak ada ronta, tak ada ratap padamu. Tetap elegan meski melewati sekian luka.
**
Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com