ekonomi saat krisis melanda.Â
Sejarah menjadi saksi bangsa kita berutang besar terhadap sektor pertanian. Tidak hanya sebagai penyedia bahan pangan, tapi juga turut meringankan kontraksiPertanian menjadi sektor penyangga (buffer sector) saat krisis moneter 1998, dan menampung tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan di kota.Â
Begitu pula pada saat krisis keuangan dunia 2008. Banyak negara yang terjungkal hingga akhirnya mengalami kelangkaan pangan.
Sementara Indonesia masih adem ayem, bahkan neraca perdagangan sektor pertanian mampu mengerek PDB nasional menjadi 6,1 persen (yoy).
Terjadi lagi pada 2020 ini yang bertepatan dengan wabah pandemi Covid-19. Ancaman kelangakaan pangan dunia semakin terasa.
Justru, bagi pemerintah menjadi jendela kesempatan (window of opportunity) untuk mendorong ekspor produksi pertanian. Dengan begitu, dapat menutupi celah di sektor-sektor lain yang tengah lesu.Â
Kesyukuran mana lagi yang kita dustakan?Â
Bahkan jauh-jauh hari, bangsa lain --Portugis, Spanyol dan Belanda -- pun sudah mengakui pertanian Indonesia, terutama rempah-rempahnya.
"Kenapa (Belanda) jauh-jauh ke sini? Karena saat itu, segenggam lada hitam sama dengan segenggam emas," ujar pemerhati sejarah Batavia, Andy Alexander.
Sayangnya, kekayaan itu tidak lantas menjamin kemakmuran yang merata. Hal ini yang dikritisi oleh personil band Koes Plus, Yok Koeswoyo, dalam lagunya 'Kolam Susu' (1973).
Melansir dari Kompas.com, ia menyebutkan, Indonesia sebagai tanah surga yang salah dikelola.
Dan saya rasa kritik itu masih relevan hingga sekarang. Bahkan, kesenjangan itu masih dirasakan oleh petani, yang merupakan garda terdepan pertanian.
Panjangnya Rantai Distribusi
Salah satu permasalahan klasik bagi petani adalah panjangnya rantai distribusi. Terlihat pada infografis di atas bagaimana alur di Indonesia. Mungkin tidak jauh berbeda dengan produk pertanian lainnya.Â
Sistem tata niaga seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. India, Australia, Malaysia pun juga merasakan hal yang sama. Jarang ada petani yang langsung menjual produknya ke konsumen (agripreneur). Petani seringkali bergantung pada perantara, atau yang biasa kita kenal sebagai tengkulak atau middlemen.
Selama ini, saya mengira tengkulak adalah hanya pedagang pengepul yang datang langsung membeli ke petani.
Padahal, kalau dilihat dari definisi secara luas, tengkulak (middlemen) ini juga mencakup pengepul (dealer), pedagang besar (grosir) hingga pengecer. Tentunya, semua pihak ini mengambil untung dari komoditas tersebut.Â
Maka dari itu tidak aneh kalau harga harga yang diterima petani jauh lebih rendah daripada barang di pasar.
Sebagai contoh Januari 2019 lalu, harga cabai di tingkat petani hanya Rp 9 ribu per kilo. Padahal di pasar, harganya mencapai Rp 20 ribu per kilo.Â
Lalu, harga jual buah kopi hasil panen berwarna merah (ceri) di petani cuman Rp 8 ribu per kilo. Itu belum dipotong biaya angkut sekitar Rp 2 ribu per kilo.
Sementara tengkulak dengan menyortir dan mengolahnya sedikit, harganya bisa 10 kali lipat, sekitar Rp 70-75 ribu per kilo.
Dari pemandangan di atas, petani seringkali tidak memiliki daya tawar (bargaining position). Terlebih petani di daerah pelosok dan produsen kecil. Mereka seringkali kesulitan dalam mendapatkan akses pinjaman fleksibel.
Satu-satunya pilihan adalah kredit tengkulak dengan bunga yang tinggi dan ketentuan yang sangat merugikan. Akibatnya, anak petani segan untuk melanjutkan mata pencaharian orangtuanya.
Begitu pula para petani itu sendiri tidak ingin anaknya terjebak dalam 'lingkaran setan' sepeti yang mereka alami. Regenerasi pun terputus dan bahkan diperkirakan akan terjadi krisis petani dalam 10 tahun ke depan.
Barang tentu hal ini tidak diinginkan oleh pemerintah RI. Terlebih di masa krisis yang tak tentu kapan selesainya, ketahanan pangan (food security) 287 juta jiwa harus tetap terjaga.
Ditambah, Indonesia memiliki ambisi untuk memanfaatkan peluang ekspor produksi pertanian di masa kelangkaan pangan global ini.
Belakangan, Pemerintah telah mencanangkan program Gerakan Tiga Kali Ekspor (Gratieks). Yakni, memasang target bahwa ekspor pertanian harus meningkat hingga tiga kali lipat. Untuk merealisasikannya, telah dikucurkan anggaran Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp50 triliun.
Apakah itu cukup?
Sudah pasti tidak, petani sebagai pelaku pertanian terdepan perlu dijamin kesejahteraannya dan meningkatnya pendapatan.
Petani Punya Banyak Pilihan
Saya lupa siapa yang mengucapkan, seingatnya saya adalah tokoh pertanian di India. Dia pernah berkata,
"Reformasi pertanian adalah ketika petani dapat menjual panennya kapanpun dan kepada siapapun".Â
Sejujurnya dalam kalimat sederhana ini sarat akan mimpi para petani sejak lama.
Selama ini, petani umumnya terpaksa menjual panennya pada saat itu juga. Karena mereka tidak memiliki prasarana gudang penyimpanan yang memadai. Ditambah dengan jerat tengkulak yang tidak bisa bebas dengan mudah.
Hal inilah yang harus diatasi oleh Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian (Kementan). Setidaknya memberikan pilihan bagi petani untuk menjual panennya atau bisa menghindari petani merugi.
Di antara upaya yang bisa dilakukan adalah:
1. BUMN dan Bulog
Beberapa saat yang lalu, Presiden Jokowi menyetujui BUMN dan BULOG menjadi off-taker produk pertanian. Keduanya akan menyerap seluruh komoditas sub sektor pangan, perikanan hingga peternakan. Apalagi dengan adanya gudang pendingin (cold storage).
Di samping itu, peran BUMN dan BULOG mampu memotong rantai distribusi. Dari awalnya bahkan hingga 8 tahap, disingkat menjadi tiga tahap. Dari petani ke Badan Usaha Logistik (Bulog), lalu ke pengecer, dan langsung ke tangan konsumen. Sehingga, pendapatan petani menjadi lebih baik dan juga harga yang diterima konsumen tidak terlampau mahal.Â
2. Koperasi
Koperasi tani bukanlah hal yang baru bagi petani. Para petani yang menjadi anggotanya akan menerima berbagai kemudahan. Dimulai dari pinjaman juga jaringan yang menguntungkan. Seringkali petani kecil ditekan oleh tengkulak. Dengan bersatunya para petani ini, tentu akan memiliki daya tawar yang besar.Â
Selain itu, koperasi produsen bisa bekerjasama dengan koperasi atau komunitas terdekat dengan konsumen. Sehingga memangkas rantai distribusi dan harga bersaing.
Ditambah bersama dengan Kementerian Koperasi dan UKM mulai menerapkan konsep Korporasi Petani Model Koperasi untuk Industrialisasi Pertanian. Tidak lama lagi, pertanian akan naik kelas dan masuk ke babak baru yang lebih modern.Â
3. E-Commerce Pertanian
Pemanfaatan teknologi di Pertanian 4.0 menjadi sebuah keniscayaan. Berbagai startup agritech bermunculan dengan harapan bisa mempertemukan petani langsung dengan konsumen.
Dari sini, petani diharapkan menjadi seorang agripreneur. Dengan begitu pendapatan pun bisa berkali lipat.Â
Tidak hanya itu, ada beberapa startup yang bahkan turut menyediakan pinjaman modal bagi para petani yang tergabung dengan mitranya.
Hanya saja, meskipun daya serapnya masih terbatas, bukan tidak mungkin kalau itu berkembang dan mencakup pertanian nasional.
Sebenarnya masih banyak strategi atau sistem niaga alternatif yang bisa dilakukan untuk memaksimalkan pendapatan petani.
Misalnya, dengan menggandeng pihak hotel atau penginapan untuk langsung order dari suatu koperasi dan lain sebagainya.Â
Namun yang perlu kita sadari bahwa petani tidak lagi menjadi pihak yang pasif. Krisis pangan global di depan mata dengan bertambahnya populasi manusia.
Petani tidak lagi harusnya ditindas. Sudah waktunya petani sejahtera. Giliran petani yang nawar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H