Satu-satunya pilihan adalah kredit tengkulak dengan bunga yang tinggi dan ketentuan yang sangat merugikan. Akibatnya, anak petani segan untuk melanjutkan mata pencaharian orangtuanya.
Begitu pula para petani itu sendiri tidak ingin anaknya terjebak dalam 'lingkaran setan' sepeti yang mereka alami. Regenerasi pun terputus dan bahkan diperkirakan akan terjadi krisis petani dalam 10 tahun ke depan.
Barang tentu hal ini tidak diinginkan oleh pemerintah RI. Terlebih di masa krisis yang tak tentu kapan selesainya, ketahanan pangan (food security) 287 juta jiwa harus tetap terjaga.
Ditambah, Indonesia memiliki ambisi untuk memanfaatkan peluang ekspor produksi pertanian di masa kelangkaan pangan global ini.
Belakangan, Pemerintah telah mencanangkan program Gerakan Tiga Kali Ekspor (Gratieks). Yakni, memasang target bahwa ekspor pertanian harus meningkat hingga tiga kali lipat. Untuk merealisasikannya, telah dikucurkan anggaran Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp50 triliun.
Apakah itu cukup?
Sudah pasti tidak, petani sebagai pelaku pertanian terdepan perlu dijamin kesejahteraannya dan meningkatnya pendapatan.
Petani Punya Banyak Pilihan
Saya lupa siapa yang mengucapkan, seingatnya saya adalah tokoh pertanian di India. Dia pernah berkata,
"Reformasi pertanian adalah ketika petani dapat menjual panennya kapanpun dan kepada siapapun".Â
Sejujurnya dalam kalimat sederhana ini sarat akan mimpi para petani sejak lama.
Selama ini, petani umumnya terpaksa menjual panennya pada saat itu juga. Karena mereka tidak memiliki prasarana gudang penyimpanan yang memadai. Ditambah dengan jerat tengkulak yang tidak bisa bebas dengan mudah.