Dua hari ini situs jejaring sosial banyak mengupas tentang isu "habib" atau "sayid". Sejauh yang saya amati, khusus di Kompasiana ini saya mendapatkan banyak tema tulisan "Habib" atau "Sayid", objek pembahasanya sama, yaitu adanya ulah habib atau sayid yang melakukan tindakan kekerasan di bulan puasa Ramadhan ini.
Tulisan-tulisan tersebut, bisa dibaca disini;
Disini; http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/30/mental-inlander-dipecundangi-para-habib/
Disini; http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/30/habib-berulah-habaib-ditulah/
Diakui atau tidak, sejarah "Kesayidan" dan "Kehabiban" merupakan salah satu hot issue sepanjang sejarah bukan saja di Indonesia, apalagi kalau kita tengok predikat ini di Pakistan, India dan negara-negara Asia Tenggara dan Timur Tengah. Entah, bagaimana asal muasalnya, yang jelas, seorang yang ketiban predikat "Habib" atau "Sayid" berada di antara dua sisi ekstrem sekaligu, dipuja-puja secara berlebihan dan dicemooh dan dibenci secara habis-habisan. Ini benar-benar menyesakkan dada bagi yang menyandang gelar tersebut. Salah satu penyebabnya bisa jadi adalah lagi-lagi generalisasi dari suatu peristiwa negatif atau komunikasi yang buntu (bahasa halusnya) dan tidak tersedianya waktu untuk klarifikasi dari beberapa tindakan segelintir oknum atau habib atau sayid, sehingga yang terjadi adalah generalisasi hukum, bahwa semua "Habib", dan "Sayid" adalah pesakitan.
Paragraf-paragraf di bawah ini hanyalah analisa yang subjektif dari salah seorang yang kadung "ketiban" predikat ini. Mohon dimaklumi dan dimaafkan bila kurang "ilmiah" atau kurang santun.
Meski belum ada pansus yang bertugas memperjelas pengertian "Sayid" atau "Habib" dan kriteria-kriteria lainnya, "Habib" dapat didefisinikan secara sederhana sebagai predikat oleh orang yang, menurut urf dan opini umum secara nasab masih keturunan dengan Rasulullah Saw. Dan entah mengapa seseorang yang disebut “habib” bisa menjadi biang kekerasan atas nama agama, mazhab dan kelompok tertentu? Dengan kesadaran penuh, kita tidak ingin mempertanyakan proses "penghabiban" seseorang; apakah predikat ini hanya boleh disandang oleh orang tertentu dengan kualifikasi akademik (keilmuan) yang didasarkan pada standar kompetensi yang baku ataukah tidak. Mungkin perlu kajian sosiologis tentang itu.
Sejauh pengamatan saya, banyak masalah yang bisa dijelentrehkan dalam tema ini, antara lain:
1. Terlepas dari kejadian memilukan itu, “habib” berasal kata dasar al-hubb dalam bentuk kata sifat (ism fail dalam grammer tata bahasa Arab), yang memiliki arti objek (penderita), yang dicintai atau dikasihi. Dalam syair-syair Arab klasik maupun dalam lirik lagu-lagu romantis Arab modern, habib berarti pacar, kekasih dan yang disayang. Dalam tadisi Islam, habib adalah gelar pujian Muslim saat memanggil dan mengucapkan nama Muhammad saw. Muhammad habibullah, kekasih Allah, begitu juga Hasan dan Husain, kedua cucu beliau. Pujian dan pemberian gelar penghormatan ini berlangsung generasi demi generasi, sebagaimana tercermin dalam kasidah-kasidah dan teks-teks maulid Nabi.
2. Tentang penganiayaan dan agresi, yang dilakukan secara sengaja maupun tidak oleh sebagian "Habib" atau "Sayid" yang didasari dengan tujuan mulia maupun nista, bertentangan dengan substansi yang ada di balik kata "Habib", yang berarti "tercinta" dan "pecinta". Artinya, kita mesti memberikan atribut sejuk ini kepada mereka yang menebar cinta, bukan menjadikan kekerasan dan represi sebagai cara berdakwah.
Namun, patut dipahami adalah bahwa, masing-masing relasi diatas menyimpan persoalan-persoalan yang sebagian besar merupakan efek tak terhindarkan dari rendahnya kualitas komunikasi, kompetisi masyarakat yang tidak disikapi secara dewasa, karakter sosial-budaya masyarakat Indonesia yang menjadi habit secara perlahan namun pasti. Tentu banyak persoalan lain yang terkait dengannya.
Ala kulli hal, yang jelas, bila tidak lagi memberikan peran dan kontribusi nirlaba bagi umat dan masyarakat, maka "habib" dan "sayid" tidak patut disandang karena ia telah kehilangan fungsinya sebagai pemimpin (sayid) atau sang kekasih (habib). Lebih-lebih bila simbol itu disalah gunakan atau disandang oleh orang yang mengabaikan moralitas. Namun hukum ini tidak bisa digeneralisasikan.
Bung Karno dalam memperingati lahirnya Pantjasila mengatakan, "Mendirikan negara Indonesia, yang kita semua mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!". Dan saya bilang, Indonesia adalah buat semua, Indonesia bukan dan tidak boleh di-Arabisasikan atau di Saudisasikan atau di Wahabisasikan!. Indonesia untuk semua, bukan untuk di Arabkan!.[Math Kadhal]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H