Mohon tunggu...
Fayakhun Andriadi
Fayakhun Andriadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Fayakhun Andriadi, Ketua Partai Golkar Prov DKI Jakarta. Anggota Komisi I DPR RI 2009 - 2014 dan 2014-2019. Lahir 24 Agustus 1972. Sarjana Elektro Universitas Diponegoro, Magister Komputer Universitas Indonesia (UI) dan menyelesaikan program Doktor Ilmu Politik UI (2014) dengan disertasi Demokrasi di Era Digital. Pemilik website www.fayakhun.com. Twitter: @fayakhun

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ketahanan Kesehatan: Mengobati vs Mencegah

26 Agustus 2016   15:34 Diperbarui: 26 Agustus 2016   15:37 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Itis health that is real wealth, and not pieces of gold and silver. (Mahatma Gandhi).

Tingkat kesehatan rakyat Indonesia merupakan bagian penting dari pembangunan nasional. Human Development Index (HDI) atau Indeks pembangunan manusia (IPM), menempatkan kesehatan sebagai parameter signifikan penunjang kualitas sumber daya manusia. Menurut United Nations Development Programme (UNDP), penduduk merupakan tujuan akhir dari pembangunan, sedangkan upaya pembangunan merupakan sarana (principal means) untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, IPM diartikan sebagai proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk. (Idha, 2009).

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. Ada 3 (tiga) dimensi dasar dalam penilaian IPM, yaitu: umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak. Penilaian tentang IPM ini merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia. IPM juga dapat menentukan peringkat atau level pembangunan suatu wilayah atau negara. (BPS.go.id).

Jadi, kesehatan merupakan faktor signifikan untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional.  Namun ironisnya, tingkat kesehatan di Indonesia dari tahun ke tahun nilainya mengalami fluktuasi. Terutama dalam 5 (lima) tahun terakhir (2010-2015), yaitu: 30.97%, 29.31%, 28.595%, 27.70%, 29.22%, dan 30.35%. Fluktuasi ini menunjukkan bahwa jaminan kesehatan di Indonesia masih belum stabil.

Upaya untuk mencapai tingkat kesehatan yang baik di Indonesia, harus diimbangi dengan blue print kebijakan yang tepat sasaran. Jika konstruksi kebijakan kesehatannya tidak akurat, besarnya anggaran tidak akan paralel dengan hasil yang didapatkan. Ketika merancang cetak biru kebijakan kesehatan, banyak pemimpin negara yang terjebak pada paradigma penyembuhan, dan abai pada paradigma pencegahan. Padahal, yang disebut kedua jauh lebih urgen, signifikan, strategis, dan efektif dari yang pertama. Anggaran sebuah negara kerap kali terkuras oleh program penyembuhan, padahal jika dialokasikan untuk program pencegahan, biaya yang dibutuhkan akan jauh lebih efisien.

Program penyembuhan kerap lebih menggiurkan pemerintah sebuah negara, termasuk Indonesia, karena hasilnya bisa cepat dinikmati. Namun dalam jangka panjang, penyembuhan sangat tidak strategis dan potensial menggerogoti keuangan negara. Jika kita terus fokus pada penyembuhan, maka kita akan sampai pada sebuah titik dimana “energi” anggaran kesehatan kita akan tidak akan mampu “meladeni” kompleksitas penyakit. Sebaliknya, jika kita sabar untuk membangun sistem pencegahan (meski hasilnya baru bisa dinikmati jangka panjang), maka di masa mendatang anggaran kesehatan akan semakin efisien dan efektif, karena “imunitas” masyarakat kita sudah kuat.

Definisi kesehatan masyarakat menurut Winslow (1920) juga menekankan pentingnya pencegahan. Menurut Winslow, kesehatan masyarakat adalah ilmu untuk: (1) mencegah penyakit, (2) memperpanjang harapan hidup, dan (3) meningkatkan kesehatan dan efisiensi masyarakat, melalui usaha masyarakat yang terorganisir untuk sanitasi lingkungan, pengendalian penyakit menular, pendidikan hygiene perseorangan, mengorganisir pelayanan medis dan perawatan agar dapat dilakukan diagnosis dini dan pengobatan pencegahan, dan membangun mekanisme sosial, sehingga setiap individu dapat menikmati standar kehidupan yang cukup baik untuk dapat memelihara kesehatan.

Menurut Hendrik L Blum (1974), ada empat faktor yang memengaruhi status kesehatan masyarakat, yaitu lingkungan, perilaku manusia, pelayanan kesehatan, dan genetik. Artinya, faktor eksternal sangat besar pengaruhnya terhadap tingginya tingkat kesehatan masyarakat. Dengan kata lain, pencegahan akan jauh lebih efektif ketimbang penyembuhan. Disini, peran negara melalui departemen kesehatan sangatlah penting.

Ada dua aspek yang bisa menjadi fokus Departemen Kesehatan untuk memperkuat sisi pencegahan ketimbang penyembuhan.

Aspek pertama, penguatan kesadaran perilaku sehat masyarakat Indonesia. Dalam penelitiannya, Hendrik menyimpulkan bahwa di Amerika Serikat, dalam hal faktor yang mempengaruhi status kesehatan masyarakat, perilaku kesehatan berada di posisi urutan kedua setelah faktor lingkungan. Tapi di Indonesia, faktor perilaku merupakan faktor utama. Hal ini terkait dengan kesadaran (suprastruktur) masyarakat untuk menjalankan perilaku hidup yang sehat. Pendidikan adalah kunci utama, karena perilaku sehat ditopang oleh edukasi yang kuat. Negara harus optimal memanfaatkan pendidikan sebagai instrumen untuk membangun kesadaran publik tentang pentingnya perilaku sehat. Jika kesadaran untuk menjalankan perilaku sehat sudah kuat, maka dengan sendirinya itu menjadi sistem “imun” terhadap berbagai potensi ancamana kesehatan. Kesadaran tersebut menjadi mekanisme pencegahan yang paling kokoh.  

Aspek kedua, penguatan infrastruktur dan layanan kesehatan yang merata dan berkualitas di berbagai daerah. Di Indonesia, kualitas pelayanan kesehatan masyarakat masih sangat rendah. Hasil riset The Indonesian Institute (2014) menunjukkan bahwa tiga problem besar yang menjadi kendala dalam bidang kesehatan di Indonesia semuanya menyangkut aspek infrastruktur.

Problem pertama, ketersediaan infrastruktur yang belum merata dan kurang memadai. Menurut data, dari sekitar 9.599 puskesmas dan 2.184 rumah sakit yang ada di seluruh Indonesia, sebagian besarnya masih berpusat di kota-kota besar. Di Indonesia, perbandingan tempat tidur rumah sakit yang tersedia per penduduk adalah 0,9 : 1000. Artinya, setiap 1000 orang penduduk, rumah sakit hanya bisa menampung tidak sampai 0.1%. Angka ini lebih buruk daripada di negara berkembang lain seperti Brasil dan Vietnam. Sementara angka tenaga medis per penduduk di Indonesia juga sangat rendah, yaitu 0.2% tenaga medis untuk setiap 1000 penduduk.

Problem kedua, soal distribusi tenaga kesehatan yang belum merata. Menurut data terakhir Kementerian Kesehatan RI, sebanyak 52,8 persen dokter spesialis berada di Jakarta, sementara di wilayah bagian Timur Indonesia hanya sekitar 1-3 persen saja. Data Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan Kementerian Kesehatan menunjukkan dari 668.522 tenaga kesehatan, sebaran terbanyak berada di Jawa dan Bali (45,08 persen), Sumatera (27 persen), Nusa Tenggara dan Papua (3,91 persen dan 2,44 persen).

Problem ketiga, terkait dengan pendanaan. Pada tahun 2014, pemerintah hanya mengalokasikan 2,4 persen dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk bidang kesehatan. Padahal Undang-undang Kesehatan Nomor 36/2009 mengamanatkan dana kesehatan sebesar 5 persen.

Tiga problem tersebut berdampak pada lemahnya fungsi pencegahan dalam sistem kesehatan masyarakat kita. Kita seperti terus diburu oleh target penyembuhan, sementara sistem pencegahannya sangat lemah. Akibatnya, anggaran negara banyak terkuras untuk meladeni penyembuhan yang dari tahun ke tahun semakin kompleks dan tinggi biayanya.

Ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan prasyarat mutlak untuk membentuk sistem pencegahan yang efektif dan komprehensif. Kelemahan pada aspek infrastruktur akan melemahkan sistem pencegahan. Jadi, secara keseluruhan, sistem kesehatan kita memiliki dua kelemahan mendasar, yaitu suprastruktur (kesadaran perilaku hidup sehat) dan infrastruktur (sarana dan sumber daya manusia).

Kebijakan kesehatan Kementerian Kesehatan hendaknya mengedepankan visi pencegahan ketimbang pengobatan. Dalam jangka panjang, negara-negara yang sejak saat ini fokus pada visi pencegahan akan memiliki ketahanan yang tinggi dalam aspek kesehatan masyarakatnya. Dan ini modal penting dan berharga di masa depan. Yaitu era dimana ketahanan terbaik sebuah negara adalah kualitas sumber daya manusianya, bukan sumber daya alamnya. Kualitas kesehatan adalah salah satu bagian terpenting pertahanan seorang warga negara.** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun