Mohon tunggu...
Fayakhun Andriadi
Fayakhun Andriadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Fayakhun Andriadi, Ketua Partai Golkar Prov DKI Jakarta. Anggota Komisi I DPR RI 2009 - 2014 dan 2014-2019. Lahir 24 Agustus 1972. Sarjana Elektro Universitas Diponegoro, Magister Komputer Universitas Indonesia (UI) dan menyelesaikan program Doktor Ilmu Politik UI (2014) dengan disertasi Demokrasi di Era Digital. Pemilik website www.fayakhun.com. Twitter: @fayakhun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Human Security untuk Warga DKI Jakarta

9 Juni 2011   05:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:42 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebetulnya, bila dibandingkan negara-negara lain di dunia, negara kita sangat tertinggal dalam sistem perlindungan dan jaminan sosialnya. Negara-negara kapitalis sekalipun, seperti Eropa dan Amerika Utara memiliki program jaminan sosial bagi masyarakat miskin. Negara-negara di Asia Tenggara juga sangat maju dalam perlindungan bagi warganya, seperti Malaysia yang memiliki lembaga jaminan sosial Employee Provident Fund (EPF) telah menanggung sebanyak 12,5 juta pekerja, Singapura dengan institusi Central Provident Fund (CPF) terdiri dari 116 ribu pengusaha dan 1,8 juta pekerja, Thailand dengan lembaga jaminan Social Security Office (SSO)-nya terdiri dari 391.869 pengusaha dan 9,45 juta pekerja, dan Filipina dengan program Social Security Scheme (SSS) menanggung peserta sebanyak 8,9 juta tenaga kerja. Sementara Indonesia, untuk kalangan pekerja di sektor saja, hanya menjamin keanggotaan sebanyak 8,5 juta buruh peserta aktif, padahal jumlah pekerja (buruh) yang bekerja di sektor formal berjumlah 29 juta. Berarti hanya 30 persen yang hanya terjangkau oleh jaminan asuransi sosial (Republika, 10/5/2011).

Menyangkut persoalan kedua, belum adanya peraturan perundang-undangan menjadi problem yang sangat krusial, karena menyangkut payung hukum. Meski UUD dengan tegas mengatur tanggung jawab pemerintah terhadap perlindungan dan jaminan sosial dalam UU Nomor 40 tahun 2004  tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), namun dalam kenyataannya belum diikuti oleh ketersediaan peraturan perundangan di bawahnya yang bersifat tegas. Seperti yang tercatat dalam Perda Jakarta Nomor 55 tahun 2007 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Keluarga Miskin, Kurang Mampu, dan Bencana. Terdapat sejumlah klausul yang belum tegas mengenai pertanggungan yang dapat diberikan oleh Pemda terhadap keluarga miskin yang berobat. Demikian juga mengenai penetapan status miskin bagi kelompok tertentu. Bukan perkara yang mudah dalam kenyataannya.

Bukan hanya itu, keberadaan UU No 40 tahun 2004 itu juga yang mengamanatkan dibentuknya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) hingga kini belum selesai pembahasannya di DPR RI, bahkan terancam deadlock. Pembahasan itu berusaha menjawab terutama persoalan belum terintegrasinya pelayanan jaminan sosial—sebagaimana yang disebutkan di atas. Dalam pembahasan di DPR ada kecenderungan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial akan dilebur (merger) menjadi satu dan bersifat tunggal. Sementara pemerintah mengusulkan agar BPJS dikelola dua badan atau multipayer, yaitu satu badan tersendiri yang mengatur masalah jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, dan jaminan kematian, sementara badan yang kedua mengelola pensiun dan hari tua.

Menurut penulis keduanya memiliki kelebihan dan kekurangannya. Bila dimerger tentu saja, kita tidak dapat mengabaikan karakter dari masing BPJS yang satu dengan lainnya berbeda baik dari desain programnya, sumber pembiayaannya, maupun pengelolaannya. Namun bila persoalan ini dapat di atasi tentu akan menjadi lebih efisien. Sementara bila ditangani oleh dua badan yang berbeda tentu saja akan berdampak pada besaran anggaran yang harus dikeluarkan untuk mengelola, sekalipun belum tentu ada jaminan menjadi lebih efektif.

Hal yang paling penting di antara perdebatan tentu saja adalah selesainya RUU BPJS tersebut sehingga dapat dijadikan payung hukum dalam memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi masyarakat. Ini tentu saja tugas bagi anggota DPR RI. Dengan begitu, persoalan yang krusial terutama dalam menyediakan asuransi dan bantuan sosial bagi warga miskin ibukota Jakarta yang sifatnya langsung dan menyeluruh dapat teratasi segera.

Menyangkut persoalan ketiga, skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terbatas, yang tidak sebanding dengan risiko kerja yang ditanggung para buruh. Karenanya menurut hasil penelitian SMERU, angka peserta Jamsostek di Indonesia mengalami penurunan sangat drastis bila dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2008 saja, misalnya, turun mencapai 47 persen dari empat tahun kebelakang. Hal ini disebabkan di antaranya karena tidak komprehensif dalam memenuhi tunjangan sosial bagi para buruh.

Menunggu Godot
Hingga kini, masyarakat Ibukota Jakarta masih dihantui oleh bencana baik dalam bentuknya sosial atau alam yang seringnya sulit diprediksikan. Sementara pada saat yang sama pemerintah sebagai penanggung jawab utama human security bagi warganya, terutama bagi warga miskin kota, belum juga memperlihatkan komitmen dan keseriusannya. Masyarakat miskin kota seperti tak ubahnya tengah menunggu godot yang tak tahu kapan datangnya.

Sambil kita menunggu keseriusan dan komitmen itu hadir dari Pemkot kita, dalam pelaksanaannya sistem perlindungan dan jaminan sosial yang merata dan berkeadilan harus memperhatikan berbagai aspeknya. Pertama, dari segi politik. Kenyataan inilah yang paling terdepan dalam menentukan cetak biru (blue print) arah kebijakan pemberian perlindungan dan jaminan sosial bagi warga ibukota Jakarta. Masih banyaknya PR yang harus dikerjakan seperti penguatan jalur koordinasi dan integrasi di antara berbagai pemangku kepentingan serta sejumlah peraturan perundang-undangan yang masih belum selesai, diharapkan segera selesai. Dalam kaitan ini, political will dari Pemkot Jakarta harus lebih tegas dan kuat sehingga jangan mudah dicampuri oleh kepentingan politik pragmatis sesaat yang cenderung melanggengkan politik pembiaran itu.

Kedua, dari segi pendanaan. Jakarta merupakan provinsi dengan anggaran belanja daerah yang sangat besar. Tidak seberapa bila sebagian atau berapa persennya dari anggaran yang besar itu dialokasikan untuk jaminan atau bantuan sosial bagi masyarakat miskin kota. Hal yang demikian ini hanya membutuhkan politik keberpihakan pemerintah saja kepada masyarakat.

Ketiga, daya jangkau jaminan dan bantuan sosial. Bila selama ini jaminan sosial itu kurang komprehensif terhadap kebutuhan yang ditanggung, maka penting ke depan memperhatikan universal coverage (cakupan menyeluruh) terhadap berbagai kebutuhan masyarakat miskin. Cakupan itu bukan hanya melibatkan masyarakat miskin yang banyak bekerja di sektor informal melainkan juga cakupan manfaat yang didapat dari kepesertaan asuransi dan bantuan sosial itu dapat dirasakan lebih luas.

Kepada Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta, kami warga Jakarta, meminta hak kami, wujudkanlah Human Security bagi warga Jakarta!

Jakarta, Juni 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun