Sehingga jelaslah, membangun ketahanan sosial bagi masyarakat perlu sifatnya terus-menerus (sustainable) dan memihak kepada rakyat miskin (pro-poor). Karena terbukti dalam pembangunan ibukota Jakarta. Meski daerah ini merupakan penyumbang terbesar bagi devisa negara, namun banyak masyarakatnya yang memiliki kualitas hidup yang sangat rendah.
Human Security di Jakarta
Perlindungan dan jaminan sosial bagi warga Ibukota Jakarta belum sepenuhnya menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Hingga kini berbagai skema perlindungan dan jaminan sosial itu masih menghadapi sejumlah persoalan mendasar.
Pertama, belum adanya kepastian perlindungan dan jaminan sosial untuk setiap penduduk (WNI) agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sebagaimana yang diamanatkan dalam perubahan UUD 1945. Perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini belum mampu mencakup seluruh warga negara Indonesia, yakni baru mencakup para pekerja sektor formal (swasta, PNS, dan TNI/Polri).
Kedua, adalah belum adanya satu peraturan perundang-undangan yang melandasi pelaksanaan sistem perlindungan dan jaminan sosial. Masing-masing jenis perlindungan dan jaminan sosial yang ada saat ini dilandasi oleh UU dan atau PP yang berbeda-beda. Hal ini selanjutnya akan menyebabkan penanganan skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terpisah-pisah dan bahkan tumpang tindih. Sebagai contoh, asuransi kesehatan di-cover oleh PT. Jamsostek, PT Askes, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM).
Ketiga, skema perlindungan dan jaminan sosial yang ada masih terbatas, sehingga benefit (kuantitas dan kualitas) yang diperoleh juga masih terbatas.
Menyangkut dengan persoalan pertama, pemerintah ibukota saat ini tidak memiliki konsep yang jelas dalam memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi warganya. Terbukti pemberian asuransi sosial belum mampu menjangkau masyarakat miskin ibukota yang banyak bergelut di sektor informal. Padahal penduduk Jakarta yang berada di sektor ini jumlahnya sangat banyak bila dibandingkan yang bekerja di sektor formal. Kenyataan yang sangat kasat mata adalah banyaknya peristiwa yang sangat memperihatinkan hadir di tengah-tengah kita. Sebagai contoh, belum lama ini seorang kakek miskin yang tergolek lemas di selasar RSCM selama satu bulan lebih tanpa perawatan karena tidak mampu membayar pengobatan (Kompas Online, 2 Maret 2011). Pemandangan seperti ini sangat lumrah kita temukan di RSCM yang menimpa kalangan miskin.
Memang Pemkot memiliki program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) bagi rakyat miskin. Namun tidak sembarang orang bisa mendapat perawatan dengan jenis pelayanan ini. Sekalipun dapat birokrasinya sangat berbelit dan merepotkan. Alih-alih mengurus surat-surat, nyawa orang yang sakit bisa saja terancam. Bukan hanya itu, pada awal Mei lalu, juga puluhan warga Jakarta Barat menuntut dihapuskannya iuran konstribusi bagi orang miskin dan pengembalian kartu gakin. Artinya, mereka masih tetap dimintai uang, diluar biaya pengobatan gratis (okezone.com, 11 Mei).
Belum lagi persoalan yang langganan meradang warga ibukota, yakni banjir dan seringnya terjadi kebakaran. Pemerintah kota hingga kini belum mampu memberikan perlindungan dan jaminan sosial yang sifatnya jangka panjang dan kelanjutan. Semuanya lebih bersifat tanggap darurat. Dan itu pun seringnya penanganannya lambat dan nilainya tidak cukup untuk menutupi kerugian yang dialami oleh warganya.
Secara kemanusiaan, merekalah yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan jaminan sosial, mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Sementara dalam kenyataannya, asuransi sosial itu belum mampu meng-cover secara luas masyarakat Ibukota Jakarta.
Hal lain yang mengenaskan, para pekerja informal di Jakarta rawan mendapat perlakuan semena-mena dari oknum-oknum pemerintahan. Para pedagang kaki lima, pedagang makanan pinggir jalan ataupun sejenis warteg, misalnya, setiap hari berjualan harus membayar “uang keamanan” kepada oknum yang mengaku sebagai orang suruhan kelurahan atau RW, atau bahkan dari aparat berseragam.
Pemerintah cenderung melakukan politik pembiaran (state neglect) terhadap masyarakatnya yang rentan menghadapi gejolak sosial. Masyarakat tak ubahnya seperti pemain sirkus yang melompat tanpa jejaring pengaman. Saat mereka jatuh, hancurlah semuanya. Begitulah masyarakat miskin yang bekerja di sektor informal di Jakarta. Mereka dibiarkan berjuang sendiri mengatasi setiap kesulitan hidupnya dengan perlindungan yang absen dari pemerintah. Pemerintah hampir tidak dapat berbuat banyak untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.