Dini hari masih begitu muda kala itu. Mata-mata terkatup dalam tidur yang nyenyak. Mereka semua menutup hari dengan cara yang biasa.
Menyangka akan terlelap dalam senyap dan esoknya akan kembali menjalani kehidupan seperti kemarinkemarin. Tapi, takdir berkata lain. Mudah saja bagi-Nya untuk memerintahkan bumi berguncang.
Guncangan yang tercatat 6,2 SR itu meruntuhkan bangunan-bangunan yang berdiri kokoh. Membangunkan dengan paksa dan membuat orang-orang tumpah ruah ke jalanan. Rumah-rumah bukan lagi menjadi tempat yang aman.
Beberapa di antaranya justru menimpa tuannya hingga harus menghembuskan nafas terakhir dan menutup mata selama-lamanya.
Bulan pertama dalam kalender tahun ini bahkan belum selesai. Tapi, duka demi duka seolah dipergilirkan, panggilmemangil.
Dibuka dengan tragedi jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, gempa di Sulawesi Barat, banjir di Kalimantan Selatan dan di sejumlah daerah lainnya.
Gelombang tinggi di pesisir Natuna dan Manado, puting beliung di Cirebon, longsor di sejumlah tempat, erupsi Gunung Sinabung dan Semeru, dan kabar-kabar duka dari wafatnya sejumlah tokoh yang dikenang dengan keshalihannya.
Semua itu dibungkus berbagai hal tersebut membuka mata dan kesadaran kita tentang betapa lemah dan tak berdayanya kita sebagai manusia.
Mengetuk Nurani untuk Peduli
Jika kita berkaca pada sejarah para umat terbaik, maka akan kita dapati betapa beningnya hati mereka ketika berbicara tentang kepedulian kepada sesama manusia. Tersebutlah peristiwa hijrah yang fenomenal itu.
Sebuah catatan sejarah yang menghadirkan para Muhajirin dan Anshar sebagai tokoh utamanya. Dua kelompok besar yang tak pernah berjumpa sebelumnya, tak pula punya ikatan darah yang mempersambungkan nasabnya.
Namun, ketika mereka diperjumpakan dengan meninggikan satu kalimat yang sama, maka musnah sudah segala perbedaan yang ada. Mereka paham betul, bahwa tiada yang lebih bermakna dibanding ukhuwah karena Allah.
Mereka saling membantu, saling menyokong, saling meringankan beban, lillahi ta'ala. Islam, sebagai sebuah jalan hidup yang sempurna dan menyeluruh ini, memang memiliki nilai-nilai mulia yang sangat mendalam saat berbicara tentang makna berbagi.
"Muslim yang satu dan muslim lainnya itu bersaudara. Maka hendaklah tidak menzalimi, jangan biarkan saudaramu (yang menzalimi dan dizalimi).
Siapa yang selalu menolong saudaranya dalam hajatnya, maka Allah juga akan menolong hajatnya pula. Siapa yang menghilangkan kesulitan seorang muslim, maka Allah akan menghilangkan kesulitannya dari berbagai kesulitan yang dihadapi pada hari kiamat. Siapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat." (HR Bukhari dan Muslim)
Maka di masa yang sulit ini, sangat penting bagi kita untuk memastikan bahwa nurani yang kita punya masih cukup lembut untuk terketuk. Terketuk demi melihat saudara kita yang kehilangan pekerjaannya akibat PHK di tengah pandemi.
Terketuk menyaksikan para korban bencana yang seketika kehilangan tempat tinggal yang nyaman, penghidupan, bahkan ditinggal untuk selamanya oleh sanak keluarga dan orangorang yang mereka cintai. Mampukah kita menjadi 'anshar' bagi saudara-saudara kita para 'muhajirin' yang sedang dalam kesempitan?
Menunjukkan kepedulian terkadang bukan tentang seberapa besar nominal yang mampu kita sisihkan. Tapi tentang seberapa kita ikhlas untuk mengeluarkannya, yakin bahwa cukup Allah saja yang menilai isi hati kita.
Salurkan berapapun yang kita mampu lewat lembaga-lembaga yang terpercaya. Sebab kita tak pernah tahu amalan yang mana yang akan mengantarkan kita ke surga.
Saat permasalahan hidup kita hanya berkutat pada udara yang terasa lebih dingin meski kita telah berselimut tebal, atau tentang cucian di jemuran yang tak kunjung kering di musim penghujan, namun semua itu masih kita rasakan dengan perut yang terisi nan kenyang, juga di dalam rumah yang aman dan nyaman, maka bersyukurlah!
Sesungguhnya saat ini banyak saudara-saudara kita yang bahkan sudah tak dapat menikmati apapun yang disodorkan kepadanya karena masih khawatir dengan gempa susulan atau masih trauma dengan guncangan.
Ada Harapan Bersama Doa
"Maaf ya, hanya bisa bantu doa?"
Kalimat itu seringkali kita dengar. Penggunaan kata 'hanya' di depan kata 'doa' seolah menjadi sesuatu yang lumrah, seolah mengecilkan kekuatan yang terkandung di dalamnya. Doa adalah komunikasi kita kepada Rabb Semesta Alam.
Doa adalah permintaan langsung kita kepada Sang Pemilik Kehidupan. Doa adalah bisik mesra kita kepada Tuhan Pengatur Segala Urusan. Maka tepatkah jika kita memposisikannya pada makna yang seolah begitu rendah?
Bukankah justru di saat seperti ini kita Sangat membutuhkan harapan? Lalu kepada siapa lagi kita berharap jika bukan padaNya? Saat alam seolah sedang tak berpihak kepada kita.
Saat kita dicengkram ketakutan dengan virus yang tak nampak oleh mata. Saat kita pada akhirnya mengakui ketidakberdayaan kita, maka saat itulah kita berpasrah pada doa-doa.
"Barangsiapa yang tidak meminta pada Allah, maka Allah akan murka kepadanya" (HR. Tirmidzi)
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari setiap kejadian yang kita hadapi di hari-hari ini. Jika kita masih berada di kondisi yang lapang, maka bersyukurlah. Bersyukur yang bukan sekadar ucapan di lisan, namun juga dibuktikan dengan amalan anggota badan.
Rasa syukur yang akan menggenapkan diri kita untuk mengakui setiap berkah yang diberikan-Nya. Semoga dengan itu, harihari yang lebih cerah akan menjelang, dan kehidupan yang lebih baik dapat kita songsong bersama. Insyaallah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H