Hari ke-2 dan ke-3 Ramadan saya tidak shalat tarawih di musholla karena ada urusan yang harus diselesaikan. Masuk hari ke-4, sesaat setelah membatalkan puasa dengan segelas teh manis hangat dan gorengan, saya menuju ke musholla.
Bapak-bapak dan beberapa pemuda sudah banyak yang berdiri diluar musholla bersiap untuk shalat maghrib. Dengan ramah, seorang bapak menyambut saya dan menyarankan untuk masuk dan mengisi shaf di depan. Hmmm jarang-jarang saya disambut seperti ini.
Kejadian ini terus berlanjut di hari ke-5 dan ke6, khususnya saat shalat maghrib, shakat Isya lanjut Tarawih dan shalat Subuh di saat jumlah jamaah sangat banyak.
Selalu ada kumpulan bapak-bapak dan pemuda yang berdiri didepan musholla, lalu dengan ramah menyambut dan menyarankan saya untuk masuk kedalam untuk mengisi shaf terdepan.
Senang sih, saya dianggap seperti ulama yang selalu di siapkan tempat di shaf khusus. Terlebih musholla kami sudah dilengkapi dengan pendingin ruangan dan karpet baru.
Walaupun terasa ganjil, bukankah sekarang musholla lebih nyaman jika berada di dalam? Kenapa mereka tidak masuk terlebih dahulu?
Ternyata kebimbangan saya terjawab, para bapak-bapak dan sebagian besar pemuda yang dengan ramah menyuruh saya masuk kedalam sudah mapping atau memetakan tempat paling nyaman di musholla untuk shalat.
Dan itu adalah Shaf ke-4 dan ke-5 sebelah kanan atau kiri. Tepat di bawah pendingin ruangan yang baru di pasang di musholla kami.
Kalau dulu waktu sekolah ada idiom, posisi duduk saat ujian menentukan prestasi dan nilai akhir. Ramadan kali ini saya punya idiom baru, posisi menentukan kekhusuyuan ibadah Ramadan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H