Baru-baru ini saya mendapatkan kesempatan untuk menyaksikan film Wonderful Life, film tersebut menceritakan tentang seorang anak yang mengalami disleksia, sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada anak, dimana anak tersebut kesulitan melakukan aktifitas membaca dan menulis.
Kesempatan tersebut saya dapatkan dari Putri Ayudya, yang juga bermain dalam film Wonderful Life yang berperan sebagai guru Agil. Tentunya kesempatan tersebut tidak saya sia-siakan, karena saya ingin mengetahui bagaimana orang tua menghadapi anak yang mengidap dislexsia.
Film tersebut diperankan oleh Atiqah Hasiholan (sebagai Ibu Agil), Alex Abbad (sebagai Agil), dan Putri Ayudya (sebagai guru). Produser dari film ini adalah Rio Dewanta, dan sutradara Agus Makkie. Pun Film ini di produksi dengan baik oleh Kick Off Movie Production, yang menghadirkan film bergenre drama & family dengan cita rasa berbeda.
Mengapa berbeda? Karena film mengangkat permasalahan yang sebenarnya, setiap anak bisa saja mengalami apa yang dialami oleh Agil. Namun permasalahan tersebut, tidak di pahami oleh anak dan orang tua.
Agil beserta ibu-nya merupakan tokoh utama dalam film ini, Lia selaku Ibu Agil tidak memahami apa yang harus dilakukan untuk menyembuhkan Agil. Dimana ia lebih mementingkan prestasi anak, dari pada kesenangan dan kebahagiaan seorang anak.
Sejujurnya film ini menyadarkan saya akan sesuatu, asumsi saya ketika kecil bahkan mungkin hingga saat ini, saya mengalami disleksia. Entah pada stadium berapa saya berada, saya tidak tahu karena butuh datang kepada seorang psikiater terlebih dahulu.
Saya masih sangat ingat sejak kelas dua sekolah dasar, setelah maghrib Bunda atau Ayah rutin mengawasi saya membaca sebuah buku. Faktanya ketika belajar membaca itu, saya tidak mampu mengingat dengan baik, bahkan saya melihat huruf tidak seperti huruf yang saya bisa baca sekarang.
Entah apa yang saya lihat, yang jelas saya tidak dapat membaca dan menulis dengan baik. Pernah suatu ketika, Bunda muntab kepada saya. Karena saya dianggap sebagai anak yang daya tangkap sangat kurang, untuk membaca saja saya kesulitan. Bahkan saya amati, adik saya ketika ia kelas dua sudah dapat membaca dengan baik, berbeda jauh dengan saya.
Entah kenapa, saat itu saya hanya bisa diam dan sulit untuk mengungkapkan apa yang saya rasa, bahwa saya kesulitan untuk membaca dan menulis. Bahkan pernah saya menangis sesenggukkan ketika Bunda mengajar membaca, saya kebingungan dan benar-benar tidak bisa membaca buku yang Bunda sodorkan saat itu.
Harus saya akui hingga kini, hal tersebut masih terasa. Saya adalah mahasiswa yang kesulitan dalam mata kuliah bahasa asing, ketika melihat huruf-huruf, saya butuh waktu lama untuk mengerti dan paham. Entah mengapa, tapi saya harus lebih banyak mengingat dan lebih banyak mendengar. Bahkan terkadang saya harus meminta dosen untuk mengulang apa yang disampaikan, hal tersebut salah satu usaha saya untuk memahami sesuatu.
Kesadaran Lia sebagai ibu, baru hadir ketika ia berusaha pergi ke berbagai tempat, mengobati disleksia yang idap oleh Agil. Dari berbagai tempat yang datangi Lia dan Agil, tak memberikan solusi terhadap disleksia yang di idap Agil.
Namun dalam perjalanan tersebut, Lia mendapatkan kesadaran bahwa “kebahagiaan seorang anak” adalah segalanya. Bukan keinginan orang tua yang harus di paksakan kepada anak, karena “setiap anak terlahir sempurna”.
Adapun makna “sempurna” tersebutlah, yang perlu di perluas, karena bisa jadi definisi sempurna menurut seorang anak dan orang tua akan berbeda. Namun film Wonderful Life rasanya, memberi pemahaman kepada saya tentang arti mendengarkan, merasakan, melihat lebih dekat apa yang ada apa seorang anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H