Pada tahun 2012 hadir penyegelan GKBP Fildelfia di Desa Jejalen Jaya, Kec. Tambun Utara, Kab. Bekasi. Bahkan hadir pemaksaan kepada para jemaat-nya untuk menandatangani persetujuan relokasi rumah ibadah, diluar tempat tersebut. Dalam kejadian ini, aparatur negara seperti tidak mampu menjadi mediator antara pihak Gereja dan pihak luar. Adapun dalam berbagai mediasi-nya, selalu hadir intimidasi yang memberatkan jemaat Gereja, tidak hanya itu aparatur negara seperti tidak dapat menjamin keamanan para jemaat yang hadir dalam proses mediasi.
Tercatat pada tahun 2013, terjadi penyerangan Gereja Pantekosta, Sumedang, Jawa Barat. Dalam kasus ini, para massa mendesak pemerintah setempat untuk membongkar Gereja Pentekosta, massa beralasan bahwa gereja tersebut tidak memiliki IMB yang jelas. Dalam kasus ini polisi bertindak cukup baik, karena puluhan massa yang memaksa masuk gereja mampu dihadang oleh aparat keamanan, sehingga tidak terjadi bentrokan antar massa.
Di tahun 2015, tindakan intoleransi hadir dari aparatur negara, siapa yang tidak kenal dengan Bima Arya, Wali Kota Bogor. Ia dianggap melakukan tindakan intoleransi, karena mengeluarkan surat edaran “Pelarangan Perayaan Asyura” di kota Bogor. Masalah ini menjadi viral di berbagai media, mendapatkan berbagai respon pro dan kontra. Sejumlah tokoh cukup kecewa dengan beredarnya surat tersebut, tak kurang dari itu hadir gejolak kepada masyarakat Bogor khususnya, tentang permasalahan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kasus-kasus yang hadir merupakan contoh tindakan diskriminasi, intoleransi dan kekerasan di Indonesia. Banyak faktor sehingga terjadi berbagai kasus di atas, namun terlepas dari apapun itu, baik-nya kita bersikap bijak juga adil dalam memperlakukan siapa saja. Ada salah satu ungkapan menarik dari seorang bijak, beliau mengatakan “Seandainya ada seseorang tidak bersaudara dalam agama mu, ia tetap saudara mu dalam sisi kemanusiaan”. Ungkapan tersebut rasanya begitu mendalam, sisi kemanusiaan harus lebih tonjolkan untuk terciptanya perdamaian didambakan oleh setiap umat manusia.
Hasil Survei Wahid Foundation Tahun 2015 Tentang Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Di Indonesia
Hari itu sudah siang, saya terlambat mengikuti acara tersebut. Namun bersyukur karena saya hanya melewatkan acara pembukaan, bukan acara utama tentang hasil survey. Kesempatan saya mengikuti acara tersebut, sebenarnya mendukung saya dalam penelitian sosial yang saya lakukan di lembaga tersebut. Sebuah kehormatan karena dalam acara tersebut, hadir beberapa tokoh nasional seperti Kepala Staf Kepresidenan RI Teten Masduki, Mantan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) As’as Said Ali, Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Hajriyanto Thohari dan Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid.
Apabila melihat hasil survei Wahid Foundation, tindakan diskriminasi, intoleransi dan kekerasan seharusnya tidak terjadi, karena jumlah responden yang tidak bermasalah dengan kelompok mana pun lebih tinggi, daripada dengan yang bermasalah dengan salah satu kelompok. Namun patut dicatat hal tersebut tidak tetap adanya, mengapa? Karena pemikiran responden, sangat mungkin berubah secara acak.
Perubahan pemikiran ini dapat dipicu oleh berbagai faktor, antara lain, frekuensi mengikuti berita keagamaan, pemahaman keagamaan yang literalis, perasaan deprivasi, dukungan terhadap organisasi radikal, materi ceramah keagamaan yang berisi permusuhan juga kecurigaan kepada satu agama atau kelompok lain, dan menjadikan internet sebagai sumber primer dalam informasi keagamaan. Hal ini bisa jadi menjadi faktor yang berpengaruh dalam perubahan pola pikir seseorang, dalam sikap nya tentang sosial keagamaan secara umum.
Hal yang banyak terjadi menurut saya, kebanyakan dari kita menjadikan internet atau media sebagai sumber primer dalam informasi keagamaan, dan mengenyampingkan informasi keagamaan dari berbagai ahli yang real keberadaannya. Patut disadari bahwa, informasi keagamaan lebih baik dan objektif kepada ahlinya, seperti para pemuka agama, tokoh, cendekiawan dan lain sebagainya, bukan dari media internet secara real kita tidak mengetahui siapa yang menggunakannya.