Indonesia merupakan negara majemuk yang memiliki keberagaman etnis, adat, budaya, bahasa dan agama. Salah satu bukti kekayaan negara ini yaitu bahasa daerah, setidaknya ada lebih dari 500 bahasa daerah dan dialek dari 300 etnik. Namun tidak hanya, Indonesia juga dikenal dengan negara kepulauan, dimana ada sekita 17.800 pulau besar dan kecil, dan 6000 diantaranya berpenghuni.
Keberagaman Indonesia tidak hanya cukup sampai disitu, apabila melihat populasi penduduk. Indonesia menempati peringkat 4 negera terpadat dunia, dimana 250 juta orang hidup di NKRI. Dari jumlah tersebut, apabila di petakan kepada agama yang peluk oleh masyarakat-nya, maka hadir Protestan 6,04%, Katolik 3,58%, Hindu 1,83%, Buddha 1,03%, 0,31% Agama lokal dan 87,21% adalah Muslim.
Secara kuantitatif negara ini memiliki jumlah penduduk Islam besar dunia, dengan 87,21% warganya memeluk agama Islam. Namun tidak ada satu pendiri negara ini mengatakan bahwa negara ini, negara Islam. Karena para pendiri negara sadar, bahwa negara ini tidak dilahirkan oleh satu golongan, kelompok, dan agama. Indonesia lahir dari keberagaman, keberagaman tersebut mutlak adanya di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Rasanya kita yang ada dilahir di negara ini patut bersyukur, karena para pendiri bangsa begitu moderat dengan mewariskan berbagai agama untuk masyarakat-nya. Dimana di bawah langit Indonesia, dan satu pijakan Nusantara, kita dituntut untuk belajar mengenal satu dengan yang lain, agar mampu hidup berdampingan secara damai dan tentram.
![Dok. Pri | Kunjungan kesalah satu Vihara di Lembang, untuk mengenal agama Buddha secara lebih dekat, mulai dari ajaran dasar, ibadah, dan sebagainya.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/14/img-0955-jpg-57d97321509373210d654139.jpg?t=o&v=770)
Berbicara tentang pertukaran pengetahuan dan informasi, barang tentu zaman ini lebih unggul dibandingkan dengan zaman sebelumnya. Pada era digital seperti sekarang ini, setiap individu dapat mendapatkan pengetahuan dan informasi begitu mudah, hal tersebut didukung peran internet dalam kehidupan sehari-hari.
Teknologi selain menjadi alat komunikasi jarak jauh antar manusia, kini bertransformasi menjadi gudang data yang bisa diakses kapan saja dan oleh siapa saja tanpa terkecuali. Tak bisa di bantah bahwa teknologi berperan pada beberapa sisi kehidupan manusia, sisi positif barang tentu banyak dirasakan. Patut juga disadari bahwa hadir dampak negatif dari teknologi internet, hadir di tengah-tengah kita dalam kehidupan dalam lingkup keluarga, masyarakat hingga negara.
Dari berbagai permasalahan yang ada juga patut menjadi perhatian kita semua yaitu, permasalahan , bagi saya wacana ini teramat penting, bahkan wacana ini juga menjadi fokus utama berbagai lembaga pemerintah dan non-pemerintah, seperti, SETARA Institute, Fahmina Institute, PUSAD Paramadina, ICRP Jakarta, Wahid Foundation dan lain sebagainya.
![Dok. Pri | Kunjungan Pemuda Lintas Iman Ke Salah Satu Katedral.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/14/dsc-2026-jpg-57d974493cafbd2148c1dd7b.jpg?t=o&v=770)
Para pelaku pun hadir dari berbagai kalangan, baik dari tataran masyarakat hingga aparatur negara. Adapun yang menjadi sasaran dari tindakan tersebut adalah, kelompok-kelompok minoritas agama. Hal tersebut pada akhirnya, menyulut konflik antara umat beragama dan intraumat beragama mudah terjadi di berbagai daerah Indonesia.
Konflik yang ada Indonesia sangat beragam, seperti pada tahun 2011 bertempat di Desa Nangkrenang Karang Gayam Omben, Sampang, Madura, telah terjadi pengusiran jamaah Syiah dari tanah kelahiran tampa kompensasi sepeserpun. Pengusiran tersebut hadir karena, hadir stempel sesat pada penganut Syiah Sampang, yang mengharuskan penganutnya mengungsi ke beberapa daerah seperti, Malang dan Surabaya untuk menyelamatkan diri. Kasus ini belum ada penyelesaian, sehingga nasib para pengungsi masih terkatung-katung di tempat pengungsian.
Pada tahun 2012 hadir penyegelan GKBP Fildelfia di Desa Jejalen Jaya, Kec. Tambun Utara, Kab. Bekasi. Bahkan hadir pemaksaan kepada para jemaat-nya untuk menandatangani persetujuan relokasi rumah ibadah, diluar tempat tersebut. Dalam kejadian ini, aparatur negara seperti tidak mampu menjadi mediator antara pihak Gereja dan pihak luar. Adapun dalam berbagai mediasi-nya, selalu hadir intimidasi yang memberatkan jemaat Gereja, tidak hanya itu aparatur negara seperti tidak dapat menjamin keamanan para jemaat yang hadir dalam proses mediasi.
Tercatat pada tahun 2013, terjadi penyerangan Gereja Pantekosta, Sumedang, Jawa Barat. Dalam kasus ini, para massa mendesak pemerintah setempat untuk membongkar Gereja Pentekosta, massa beralasan bahwa gereja tersebut tidak memiliki IMB yang jelas. Dalam kasus ini polisi bertindak cukup baik, karena puluhan massa yang memaksa masuk gereja mampu dihadang oleh aparat keamanan, sehingga tidak terjadi bentrokan antar massa.
![Dok. Pri | Membangun kesadaran diri dengan berdialog pemuka agama, akan pemahaman agama lain yang lebih objektif.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/14/dsc-2166-jpg-57d974d9107f61501b17d880.jpg?t=o&v=770)
Di tahun 2015, tindakan intoleransi hadir dari aparatur negara, siapa yang tidak kenal dengan Bima Arya, Wali Kota Bogor. Ia dianggap melakukan tindakan intoleransi, karena mengeluarkan surat edaran “Pelarangan Perayaan Asyura” di kota Bogor. Masalah ini menjadi viral di berbagai media, mendapatkan berbagai respon pro dan kontra. Sejumlah tokoh cukup kecewa dengan beredarnya surat tersebut, tak kurang dari itu hadir gejolak kepada masyarakat Bogor khususnya, tentang permasalahan kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Kasus-kasus yang hadir merupakan contoh tindakan diskriminasi, intoleransi dan kekerasan di Indonesia. Banyak faktor sehingga terjadi berbagai kasus di atas, namun terlepas dari apapun itu, baik-nya kita bersikap bijak juga adil dalam memperlakukan siapa saja. Ada salah satu ungkapan menarik dari seorang bijak, beliau mengatakan “Seandainya ada seseorang tidak bersaudara dalam agama mu, ia tetap saudara mu dalam sisi kemanusiaan”. Ungkapan tersebut rasanya begitu mendalam, sisi kemanusiaan harus lebih tonjolkan untuk terciptanya perdamaian didambakan oleh setiap umat manusia.
Hasil Survei Wahid Foundation Tahun 2015 Tentang Kebebasan Beragama Dan Berkeyakinan Di Indonesia
Hari itu sudah siang, saya terlambat mengikuti acara tersebut. Namun bersyukur karena saya hanya melewatkan acara pembukaan, bukan acara utama tentang hasil survey. Kesempatan saya mengikuti acara tersebut, sebenarnya mendukung saya dalam penelitian sosial yang saya lakukan di lembaga tersebut. Sebuah kehormatan karena dalam acara tersebut, hadir beberapa tokoh nasional seperti Kepala Staf Kepresidenan RI Teten Masduki, Mantan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) As’as Said Ali, Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Hajriyanto Thohari dan Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid.
![Dok. Pri | Acara Peluncuran Hasil Survei Wahid Foundation](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/14/img-20160801-130749-hdr-57d97578509373250e654126.jpg?t=o&v=770)
Apabila melihat hasil survei Wahid Foundation, tindakan diskriminasi, intoleransi dan kekerasan seharusnya tidak terjadi, karena jumlah responden yang tidak bermasalah dengan kelompok mana pun lebih tinggi, daripada dengan yang bermasalah dengan salah satu kelompok. Namun patut dicatat hal tersebut tidak tetap adanya, mengapa? Karena pemikiran responden, sangat mungkin berubah secara acak.
Perubahan pemikiran ini dapat dipicu oleh berbagai faktor, antara lain, frekuensi mengikuti berita keagamaan, pemahaman keagamaan yang literalis, perasaan deprivasi, dukungan terhadap organisasi radikal, materi ceramah keagamaan yang berisi permusuhan juga kecurigaan kepada satu agama atau kelompok lain, dan menjadikan internet sebagai sumber primer dalam informasi keagamaan. Hal ini bisa jadi menjadi faktor yang berpengaruh dalam perubahan pola pikir seseorang, dalam sikap nya tentang sosial keagamaan secara umum.
Hal yang banyak terjadi menurut saya, kebanyakan dari kita menjadikan internet atau media sebagai sumber primer dalam informasi keagamaan, dan mengenyampingkan informasi keagamaan dari berbagai ahli yang real keberadaannya. Patut disadari bahwa, informasi keagamaan lebih baik dan objektif kepada ahlinya, seperti para pemuka agama, tokoh, cendekiawan dan lain sebagainya, bukan dari media internet secara real kita tidak mengetahui siapa yang menggunakannya.
![Dok. Wahid| Salah satu hasil survey yang diluncurkan Wahid Foundation.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/14/picture1-57d97631b27e613e6bec165d.jpg?t=o&v=770)
Hasil ini jujur saja cukup membuat saya tercengang ketika dipresentasikan oleh Alamsyah Dja’far pertama kali, pada Senin (01/08/2016) bertempat di R Hotel Rancamaya, dalam acara Peluncuran Hasil Survei Nasional Wahid Foundation. Media massa lebih banyak digemari oleh kebanyakan dari masyarakat, sebagai sumber primer keagamaan yang dianut. Adapun atas informasi yang telah diterima, bisa jadi informasi tersebut diterima secara mentah dan menjadikan informasi tersebut sebagai sesuatu yang valid tanpa, memverifikasi ulang informasi yang mereka terima benar atau tidaknya.
Hal yang menggembirakan dari hasil survei Wahid Foundation adalah, dukungan terhadap sistem demokrasi di Indonesia masih tinggi, sebesar 67,30%, dan dukungan terhadap Pancasila dan UUD 45 hadir dengan nilai 82,3%. Dan yang paling penting yang menjadi titik cerah bagi bangsa ini adalah, 78,91% warga Indonesia mendukung kebebasan beragama dan berkeyakinan sesuai dengan kesadarannya.
![Dok. WF | Hasil Survey Wahid Foundation](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/14/picture2-57d976d6107f619c1b17d87f.jpg?t=o&v=770)
Untuk menghadirkan Indonesia yang tetap aman, damai dan tentram tanpa konflik, merupakan cita-cita kita semua. Namun gejolak tentu akan hadir kapan saja, untuk mengantisipasi hal tersebut tentunya butuh langkah-langkah yang serius dan berkelanjutan. Salah satunya yaitu membangun generasi mendatang untuk lebih toleran hidup bermasyarakat, karena negara ini hadir dari kemajemukan.
Kemajemukan yang ada di Indonesia merupakan titipan dari para pendiri bangsa, kewajiban kita sebagai generasi penerus adalah menjaga kemajemukan itu untuk tetap pada tempatnya. Apabila ada yang mencoba menggoyahkan, pertahankan dengan nilai Pancasila dan UUD 45 yang telah dirumuskan para pendiri bangsa ini. unsur-unsur pembentuk kemajemukan, termasuk didalamnya kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan sebagai Hak Asasi Manusia yang sangat fundamental.
Perlu kerjasama dari berbagai pihak agar kerukunan beragama tetap hadir di zaman ini, kerjasama tersebut harus bersifat berkelanjutan agar generasi ini paham nilai persatuan bangsa ini penting adanya. Adapun upaya-upaya yang perlu dilakukan seperti, pemahaman keagamaan yang sesuai dengan konteks masa kini dan narasi keagamaan harus berisikan nilai-nilai damai dan toleran yang erat. Dalam hal ini peran pemuka agama, cendekiawan dan tokoh masyarakat, perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat di zaman ini, tentang pemahaman keagamaan yang relevan dan mudah dipahami.
![Dok. Wahid | Salah satu hasil survey Wahid Foundation](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/14/picture3-57d9778eb27e61e66cec1638.jpg?t=o&v=770)
Kepada aparat keamanan, rasanya perlu percaya diri dalam melakukan penindakan berbagai kasus di lapangan. Apabila terjadi kelalaian dalam penindakan di lapangan, bisa jadi akan menimbulkan korban dalam berbagai tindakan.
Terakhir kepada masyarakat perlu disadari bahwa nilai Pancasila, UUD 45 dan Bhineka Tunggal Ika merupakan realitas yang penting. Dimana nilai-nilai yang tersirat dan di hadirkan oleh para pendiri bangsa, merupakan realitas nyata dan perlu di perdalam untuk memahaminya. Kesadaran akan kemajemukan menjadi penting, karena dekat dengan siapapun tanpa pandang bulu.
Adapun bagi generasi muda Indonesia, keterbukaan pikiran untuk mengetahui berbagai hal merupakan kunci untuk menjadi generasi yang berkualitas. Selain daripada itu, generasi muda rasanya perlu untuk lebih banyak berdialog dengan berbagai kalangan dari berbagai agama, aliran dan kepercayaan. Selain untuk memberikan pemahaman agama yang objektif, juga menghadirkan kesadaran diri akan pentingnya toleransi di negeri ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI