Karena jika salah menempatkan narasi maka, akan menimbulkan diskontinuitas (tidak berkesinambungan) sedangan dalam proses kepercayaan harus dalam frekuensi yang sama agar bisa saling dimengerti, antara Tuhan dan yang mempercayainya.
Sama seperti kita menggunakan radio jika prekuensi yang kita putar di radio kita di RM 22.00 maka yang akan muncul siaran RM 22.00 begitu juga dengan proses berkepercayaan, narasi merupakan frekuensi jika salah menggunakannya maka akan salah juga pengertian yang kita peroleh.
Itu sebabnya seperti "Technologi as God" yang memilih narasi beragama tanpa tanpa dogmatika dan bertuhan tanpa dogmatika, dengan alasan dogmatika mengurung esensi Tuhan, sehingga menghilangkan sifat dinamisnya sebagai Tuhan.
Narasi tersebut berbeda dengan penggunaan narasi yang digunakan oleh Karen Armstrong.
Sebab, pemikiran Karen Armstrong dalam buku Sejarah Tuhan dan Masa Depan Tuhan, menurutnya, agama berisikan dogma yang harus ditaati dari apa yang diperintahkan di dalamnya dan menjauhi dari apa yang dilarang adalah kebaikan untuk semua umat manusia dari agama apapun, baik Yahudi, Nasrani, maupun Islam.
"Adapun tindakan-tindakan keji yang bersifat mengganggu, menyakiti dan merugikan umat lain itu bukanlah ajaran yang patut untuk dilakukan dari sebuah agama". Dalam kalimat ini ada kesamaan narasi dengan pemahaman "Technology as God".
Karen Armstrong mampu mengejutkan pembacanya, bahkan terang-terangan mengatakan bahwa Tuhan itu personal. Dia menggambaran bahwa Tuhan seperti manusia, dalam artian memiliki pribadi dan masa depan Tuhan adalah tergantung pada persepsi manusia.
Karen Armstrong juga mengungkapkan kalau masa depan Tuhan ada pada persepsi manusia, ini kurang lebih sama dengan yang kita sudah ulas di part sebelumnya tentang esensi Tuhan yang kapan saja dan dimana saja bisa berubah atau hadir dalam bentuk yang terkadang tidak kita pahami.
Sehingga yang awalnya kita sepele dengan narasi-narasi dalam kepercayaan kita, saat ini semakin terbuka dan terlihat betapa pentingnya pemilihan narasi yang tepat.
Narasi atau pemilihan kata bisa saja salah sejak penggunaan dogma dalam suatu agama, sehingga diikuti ribuan atau bahkan jutaan pengikutnya, sehingga menurut "Technologi as God", sesungguhnya mereka layak disebut bertuhan salah alamat.
Kehadiran agama dengan dogmatikanya, yang tanpa disertai sikap kritis terhadapnya, justru lebih banyak mengundang masalah dan merongrong kecenderungan untuk bertanya.