Mohon tunggu...
FAWER FULL FANDER SIHITE
FAWER FULL FANDER SIHITE Mohon Tunggu... Penulis - Master of Arts in Peace Studies
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Tidak cukup hanya sekedar tradisi lisan, tetapi mari kita sama-sama menghidupi tradisi tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Technology as God: Bukan Memiliki Tuhan, Tetapi Bertuhan (Part 10)

21 April 2020   15:28 Diperbarui: 21 April 2020   15:29 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keterangan: Gambar hanya sebagai ilustrasi, tidak ada hubungannya dengan tulisan. Sumber. Kompas.com

Technology as God : Bukan Memiliki Tuhan, Tetapi Bertuhan (Part 10)

DEFENISI
Mengapa penggunaan kata memiliki Tuhan atau bertuhan saja dipersoalkan? Atau yang sering kita dengar juga memiliki iman, apakah penggunaan kata 'memiliki' sudah tepat?

Kata 'Memiliki' berasal dari kata dasar milik, yang diartikan sebagai kepunyaaan atau hak atas kepemilikannya.

Dengan memperhatikan defenisi kata 'memiliki' semakin mempertegas bahwa kita tidak dapat memiliki Tuhan, karena kita tidak punya hak atas Tuhan, bahkan sebaliknya Tuhan yang punya hak atas kita.

Sama halnya jika kita defenisikan Iman itu adalah Tuhan atau Allah itu sendiri, maka penggunaan kata yang tepat adalah ber-Iman bukan memiliki iman.

Dalam pelajaran bahasa Indonesia kita dapat melihatnya lebih jelas, awalan ber- di dalam bahasa Indonesia berfungsi sebagai pembentuk kata kerja atau kata sifat.

Verba atau kata kerja (bahasa latin: verbum, "kata") adalah kelas kata yang menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian dinamis lainnya.

Kata sifat atau adjektiva (bahasa latin: adjectivum) adalah kelas kata yang mengubah kata benda atau kata ganti, biasanya dengan menjelaskannya atau membuatnya menjadi lebih spesifik.

PENGGUNAAN NARASI

Sehingga jika kita menggunakan kata ber-Tuhan, ada sebuah proses pengakuan kehadiranNya dalam kehidupan kita, ada proses kepercayaan atas esensiNya. Pengakuan tersebut tidak berarti pada hak kita atas Tuhan, melainkan hak Tuhan atas kita.

Menurut "Technologi as God" sangat penting memahami setiap narasi yang kita gunakan dalam proses kepercayaan kita. 

Karena jika salah menempatkan narasi maka, akan menimbulkan diskontinuitas (tidak berkesinambungan) sedangan dalam proses kepercayaan harus dalam frekuensi yang sama agar bisa saling dimengerti, antara Tuhan dan yang mempercayainya.

Sama seperti kita menggunakan radio jika prekuensi yang kita putar di radio kita di RM 22.00 maka yang akan muncul siaran RM 22.00 begitu juga dengan proses berkepercayaan, narasi merupakan frekuensi jika salah menggunakannya maka akan salah juga pengertian yang kita peroleh.

Itu sebabnya seperti "Technologi as God" yang memilih narasi beragama tanpa tanpa dogmatika dan bertuhan tanpa dogmatika, dengan alasan dogmatika mengurung esensi Tuhan, sehingga menghilangkan sifat dinamisnya sebagai Tuhan.

Narasi tersebut berbeda dengan penggunaan narasi yang digunakan oleh Karen Armstrong.

Sebab, pemikiran Karen Armstrong dalam buku Sejarah Tuhan dan Masa Depan Tuhan, menurutnya, agama berisikan dogma yang harus ditaati dari apa yang diperintahkan di dalamnya dan menjauhi dari apa yang dilarang adalah kebaikan untuk semua umat manusia dari agama apapun, baik Yahudi, Nasrani, maupun Islam.

"Adapun tindakan-tindakan keji yang bersifat mengganggu, menyakiti dan merugikan umat lain itu bukanlah ajaran yang patut untuk dilakukan dari sebuah agama". Dalam kalimat ini ada kesamaan narasi dengan pemahaman "Technology as God".

Karen Armstrong mampu mengejutkan pembacanya, bahkan terang-terangan mengatakan bahwa Tuhan itu personal. Dia menggambaran bahwa Tuhan seperti manusia, dalam artian memiliki pribadi dan masa depan Tuhan adalah tergantung pada persepsi manusia.

Karen Armstrong juga mengungkapkan kalau masa depan Tuhan ada pada persepsi manusia, ini kurang lebih sama dengan yang kita sudah ulas di part sebelumnya tentang esensi Tuhan yang kapan saja dan dimana saja bisa berubah atau hadir dalam bentuk yang terkadang tidak kita pahami.

Sehingga yang awalnya kita sepele dengan narasi-narasi dalam kepercayaan kita, saat ini semakin terbuka dan terlihat betapa pentingnya pemilihan narasi yang tepat.

Narasi atau pemilihan kata bisa saja salah sejak penggunaan dogma dalam suatu agama, sehingga diikuti ribuan atau bahkan jutaan pengikutnya, sehingga menurut "Technologi as God", sesungguhnya mereka layak disebut bertuhan salah alamat.

Kehadiran agama dengan dogmatikanya, yang tanpa disertai sikap kritis terhadapnya, justru lebih banyak mengundang masalah dan merongrong kecenderungan untuk bertanya.

Agama terorganisir mempunya andil yang besar dalam menciptakan rasa tidak aman yang menghinggapi individu-individu ketika pandangan mereka bertabrakan dengan keyakinan kelompok.

Hal ini lebih karena otoritas keagamaan masih menggunakan kata-kata evokatif yang berujung pada provikatif. Maka perlu pikiran-pikiran kritis dalam menelaah apa yang diperintahkan oleh agama, sebab kebenaran ada pada Tuhan bukan pada Agama.

Maaf Bersambung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun