Kemudian kami membentuk lingkaran, memutar botol dan ketika tutup botol berhenti menghadap titik yang sudah dinamai, maka orang dengan nama itu harus siap menerima pertanyaan-pertanyaan dari kami. Dan kami harus menjawab dengan jujur. Dan ya, topik pertanyaan kami selalu tak jauh dari kehidupan cinta. Berbagai pendapat, sanggahan dan pandangan turut menghujani sesi ini.
Setelah puas bercerita dan mendengar, kami rebahan memandang langit. Menghitung bintang jatuh. Menjelang dini hari, kami memasuki tenda untuk beristirahat. Tidur.
Pagi!!
Biasanya jika di rumah, jam pagi seperti ini aku sedang berbincang dengan buku rahasia, menulis surat pagi untuk kopi. Tapi kali ini, ketika aku bangun yang pertama kali terdengar adalah deburan ombak. Sunrise yang remang-remang dan perbincangan para pencari lobster yang tengah menimbang hasil tangkapannya.
[caption id="attachment_184907" align="aligncenter" width="480" caption="Pagi di Seruni"]
[caption id="attachment_184908" align="aligncenter" width="480" caption="Pagi di Seruni"]
[caption id="attachment_184912" align="aligncenter" width="480" caption="Bermain Bersama Ombak"]
Dan ya, kami tengah merasa berada di pantai kami sendiri. Bagaimana tidak?  Hanya ada kami yang ada di sana. Pak’e gendut memilih untuk menyiapkan sarapan, dan jadilah kami lima perempuan menggila di Pantai Seruni.
Setelah puas bermain dan ‘melarung’ kami membersihkan diri di saluran air tawar. Mandi, kemudian kembali ke tenda. Seperti belum puas, kami masih saja melakukan hal-hal absurd sambil menunggu sarapan siap. Mulai berdandan aneh, berpose tak biasa, intinya kami tengah melepas segala kepenatan hidup.
Lagi pula, kapan lagi kami mampu seperti itu. Berada di tempat yang belum banyak tersentuh dunia luar.
[caption id="" align="aligncenter" width="487" caption="Menggila Bersama"]