Mohon tunggu...
Fawaizzah Watie
Fawaizzah Watie Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan. Duapuluhan. \r\n\r\n\r\nhttp://fawaizzah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Dandelion

9 Januari 2012   09:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:08 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_162678" align="aligncenter" width="492" caption=""][/caption]

"Besok pagi, di sini. Akan kuberitau kamu sesuatu." Kamu tersenyum dan berlari pulang dalam senja yang tak mungkin kulupa. Sementara anggukan pun belum kuberi, kamu meninggalkanku yang masih berdiri, menyepi, menyisakan rindu.

Ah, kamu. Selalu begitu.

Itulah yang membuat mataku kini tak kunjung terpejam. Malam pun makin enggan, membuai dengan bisik angin dan bius suara jengkrik. Padahal saat yang kutunggu itu tinggal 4 jam lagi. Ingin rasanya tidur, tapi ada sesuatu yang sepertinya tak mau kulewatkan. Aku tak mau mendapatkan mimpi lain.

---

Burung pipit mengejarku, padahal aku sudah berlari kencang, menerabas bukit ilalang. Entah, aku sendiri tak mengerti kenapa rasanya tiba-tiba dada makin berdebar hebat dan darah berhenti mengalir, saat senyummu memergokiku yang sedang berlari lincah menari menujumu.

Ingin rasanya aku kembali pulang, tak mau terjebak dalam mauku yang memburu bertemu kamu. Ah, tapi kenapa aku terpaku, saat kamu datang mendekatiku dengan sorot mata lembutmu dan berbisik dalam senyum, "Matahari masih malu, tapi kita sudah di sini."

Ya, harusnya satu jam lagi. Embun pun belum sempurna mengairi rumput. Tapi kita sudah berdiri di sini. Hanya berdiri.

Lalu jemarimu menelusup celah jemariku. Aku hanya diam, tak tahu apa yang kamu hantarkan hingga berhasil menyusupkan sengatan listrik ke aliran darahku. Membuatnya mendidih hingga ke tapak kaki. Lalu kupikir, aku tak perlu berkata lagi.

Aku mengikuti langkahmu yang sedikit tergesa. Tanpa berkata, tanpa bertanya hendak kamu bawa kemana aku.

Di penghujung bukit ilalang akhirnya kita berhenti. Kamu petik sekuntum bunga. Bunga rumput. Berbentuk bulat dengan bulu-bulu lembut berwarna putih.

Dandelion," bisikmu. "Konon, sebuah harapan akan terkabul jika disebutkan sebelum meniup bunga ini."

Dan kamu memberikan sekuntum dandelion putih. Sambil menatap langit yang mulai memudarkan warna jingganya, kamu pun melanjutkannya dengan, "Helaian bulu-bulu putih berisi benih ini akan terbang bersama angin. Mereka akan mengabarkan pada semesta tentang harapanmu. Lalu semesta pun ikut berdoa untuk itu!”

“Apapun?”

“Apapun!” Mata jenakamu meyakinkanku.

Aku mendongak, memegang setangkai Dandelion dengan kedua tanganku dan mulai membacakan harapanku. Lalu kutiup Dandelion itu. Helaian putih berisi benih itu pun terbang bersama angin. Mengabarkan harapanku pada semesta.

Kamu kembali tersenyum dan memetik setangkai Dandelion lain, memegangnya dengan tangan kananmu, dan memejamkan matamu. Lalu kau meniupnya. Ah, kamu meniupnya dengan lembut, hingga helaian putih itu pun berhamburan menari sempurna menunggang angin.

Dan kita berdua terpaku menatap harapan-harapan yang masih terbang itu.

“Apa yang kamu harapkan?” tanyaku.

Kamu menatapku. Terdiam.

Kamu menelesupkan jemarimu lagi ke tanganku, "Aku ingin selalu menggenggam jemarimu. Sampai kapanpun.”

Sungguh, saat itu aku yakin jika Dandelion sudah menjalankan tugasnya, juga semesta. Karena yang kuharapkan sebelum meniupnya adalah harapan yang sama, bersamamu selamanya.

. . . http://mymozaiclife.blogspot.com/2011/05/dandelion.html

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun