“Dandelion," bisikmu. "Konon, sebuah harapan akan terkabul jika disebutkan sebelum meniup bunga ini."
Dan kamu memberikan sekuntum dandelion putih. Sambil menatap langit yang mulai memudarkan warna jingganya, kamu pun melanjutkannya dengan, "Helaian bulu-bulu putih berisi benih ini akan terbang bersama angin. Mereka akan mengabarkan pada semesta tentang harapanmu. Lalu semesta pun ikut berdoa untuk itu!”
“Apapun?”
“Apapun!” Mata jenakamu meyakinkanku.
Aku mendongak, memegang setangkai Dandelion dengan kedua tanganku dan mulai membacakan harapanku. Lalu kutiup Dandelion itu. Helaian putih berisi benih itu pun terbang bersama angin. Mengabarkan harapanku pada semesta.
Kamu kembali tersenyum dan memetik setangkai Dandelion lain, memegangnya dengan tangan kananmu, dan memejamkan matamu. Lalu kau meniupnya. Ah, kamu meniupnya dengan lembut, hingga helaian putih itu pun berhamburan menari sempurna menunggang angin.
Dan kita berdua terpaku menatap harapan-harapan yang masih terbang itu.
“Apa yang kamu harapkan?” tanyaku.
Kamu menatapku. Terdiam.
Kamu menelesupkan jemarimu lagi ke tanganku, "Aku ingin selalu menggenggam jemarimu. Sampai kapanpun.”
Sungguh, saat itu aku yakin jika Dandelion sudah menjalankan tugasnya, juga semesta. Karena yang kuharapkan sebelum meniupnya adalah harapan yang sama, bersamamu selamanya.