Mohon tunggu...
Fawaizzah Watie
Fawaizzah Watie Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan. Duapuluhan. \r\n\r\n\r\nhttp://fawaizzah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Upacara Bersih Desa dan Sisi Lainnya

7 Agustus 2010   04:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:15 4591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menurut Wikipedia, Bersih Desa itu adalah salah satu upacara adat Jawa yang dilaksanakan sehabis panen padi, jadi maksudnya sebagai ucapan syukur atas tanaman padi yang berhasil dipanen dan hasilnya pun baik.

Namun, pengertian ini serasa menyimpang jika diterapkan dengan fakta yang ada tentang upacara bersih desa di Desaku. Tepatnya Dusun Lemi, Desa Jajar, Kec. Kartoharjo, Kab. Magetan. (fiuuh kenapa jadi lengkap gini? gak sekalian RT/RWnya? haha). Saat aku pulang ke desa kemarin (2/8), tak menyangka bahwa di desa tepat diadakan upacara adat ini.

Upacara Bersih Desa selalu diadakan setiap tahunnya, seingatku, ritual ini sering kali dilaksanakan antara bulan Juli sampai September, hanya saja tidak selalu tepat seusai panen padi. Seperti bersih desa tahun ini misalnya, upacara ini dilaksanakan justru saat musim watun/matun (mencabut rumput liar di sawah). Di saat matun seperti ini, biasanya hanya para ibu saja yang laku tenaganya. Karena pekerjaan matun ini biasa dilakukan oleh para ibu. Sedangkan para bapak lebih banyak menganggur. Tapi tak sedikit juga para bapak yang giat bekerja sebagai tukang tebang. Hal ini pun juga apabila bertepatan dengan musim tebang tebu.

Meskipun ritual ini hanya berlangsung sehari saja, namun para warga harus merogoh koceknya rumayan dalam. Bagaimana tidak, ada banyak hal yang harus dipersiapkan. Misalnya, berbagai macam sesaji juga uang iuran untuk menanggap hiburan rakyat, biasanya berupa kesenian Jawa. Campursari, Gambyong, Reog, atau Wayang kulit.

[caption id="attachment_218439" align="alignleft" width="268" caption="Mbah Dah bercerita tentang Mbah yang Mbahureksa"][/caption]

Baiklah, mari kita bicara tentang tujuan diadakannya upacara bersih desa ini. Menurut Mbah Dah, sesepuh (orang yang sudah sepuh) di desa ini, ritual ini ditujukan kepada yang Mbahureksa Dusun Lemi, agar supaya dia tidak marah dan murka karena tak mau bagi sesaji atau rejeki. Jika tak melakukan ritual ini, maka warga desa akan kesulitan mencari rejeki, sawahnya akan gagal panen dan parahnya, akan banyak orang yang akan sakit. Kalau sakit panas, mungkin bisa disembuhin dengan minum kunir sama madu. Lha ini sakit gila. Parah kan?

Namun keterangan ini sedikit jauh berbeda jika yang menerangkan adalah mbah Modin. Menurut Mbah Modin, ritual ini diadakan sebagai tanda syukur kepada Allah swt, yang telah memberikan limpahan rahmat serta rejekinya kepada para warga.

Hampir seluruh warga mengikuti upacara ini, namun ada juga beberapa warga yang tak ikut serta menyiapkan sesaji dan upacara tapi ikut menikmati hiburannya. Tapi toh mereka juga tak gila seperti kata Mbah Dah.

Sesaji yang disajikan biasanya berupa panggang buceng lengkap dengan lauk pauk yang lainnya. Yang pasti cukup membuat bibir klametan. Acara selamatannya pun juga diadakan sebanyak 2 kali. 1 kali diadakan di rumah, dan satunya lagi diadakan di Sendang Desa (sumur) yang terdapat pohon beringin tuanya. Jadi saat seperti ini, akan banyak sekali makanan enak yang tersaji. Bayangkan jika setiap rumah menyembelih minimal 2 ekor ayam, bahkan ada yang sampai 3 ekor. Belum lagi makanan-makanan lain yang melimpah ruah.

[caption id="attachment_218442" align="alignright" width="300" caption="panggang buceng"][/caption]

Saat selamatan di rumah, aku mencoba mendengarkan apa ujubnya (niat doanya), ah ternyata doanya berupa kalimat-kalimat syukur, doa keselamatan, dan banyak sekali membaca Al fatihah. Hal ini tak jauh beda dengan selamatan yang ada di Sendang (sumur), meskipun tempatnya di Sendang Desa (tempat yang dianggap keramat), namun doa-doanya pun ditujukan pada Allah Yang Maha Esa, bukan pada Mbah yang Mbahureksa. Mungkin karena yang memimpin doa mbah Modin kali ya, coba kalau Mbah Dah.

Saat selamatan di sendang, seluruh sesaji yang berupa panggang buceng ini dikumpulkan dalam satu tempat, namun masih dalam wadahnya masing-masing. Lantas Mbah Modin membacakan doa, setelah itu, wadah yang berupa panggang buceng dan kawan-kawnnya itu di bawa pulang lagi. Tak tersentuh, dan tak berkurang sama sekali. Masih utuh, sama seperti saat baskom yang berisi panganan itu di bawa ke sendang. [caption id="attachment_218447" align="alignleft" width="300" caption="Nampak sepi, hanya beberapa anak kecil saja yang meramaikan"][/caption]

Seusai ritual doa yang diisi dengan banyak bacaan Fatihah, acara selanjutnya adalah pertunjukkan kesenian. Biasanya pertunjukkan ini di datangkan dari luar desa. Dan hiburan kesenian kali ini adalah kesenian Gambyong. Anehnya, meski telah membayar mahal untuk mengundang seperangkat gambyong ini, tak banyak warga yang berduyun-duyun datang ke Sendang untuk menikmati lenggak lenggok tubuh sinden juga para kakek-kakek yang menabuh gamelannya. Mereka lebih asyik ngobrol ngalor-ngidul di teras-teras rumah atau pun asyik dengan TVnya masin-masing. Sungguh sayang sekali.

Aku mencoba bergabung dengan para ibu-ibu yang sedang ngobrol, kebetulan mereka bergerombol di depan rumahku yang memang asri karena kanan kiri penuh pohon bambu. Tau, apa yang mereka bicarakan? Haaaaa…..betul. Mereka sedang rekapan. Merekap, telah habis berapa duit untuk menyukseskan acara ini, belum lagi yang kerkeluh kesah telah cari utang sana-sini demi terlihat sama dengan warga lain. Ya, sama-sama meramaikan ritual ini dengan menyajikan banyak sesaji.

Ketika aku berkata, kenapa mesti dipaksakan? Dengan enteng mereka akan bilang, gak apa, lha wong cuma setahun sekali. Ya betul, ritual Bersih Desa memang hanya sekali dalam setahun, namun apakah dalam setahun hanya ada acara bersih desa saja? Tidak kan? Masih begitu banyak acara-acara lain yang juga membutuhkan biaya yang tak sedikit. Biaya sekolah anak, lebaran, bayar utang panci ke pahingan (karena bayarnya tiap hari pahing), terus belum lagi kalau ada khataman yang juga ada tiap tahun, ah saya rasa masih banyak lagi. Namun itulah salah satu ciri masyarakat desa, mereka sering kali memilih untuk memaksakan kemampuan mereka yang sesungguhnya tak mampu hanya sekedar agar dipandang sama dengan yang lainnya.

Ritual semacam ini sepertinya lebih memberatkan daripada menghiburnya, namun apa mau dikata, ini merupakan tradisi dari zaman dulu kala sebelum aku lahir di dunia.

Bagaimana dengan Anda? adakah ritual serupa di tempat Anda? Yuuk saling berbagi!

*Panggang buceng: berupa panggang ayam dan nasi yang dibentuk serupa kerucut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun