Saat selamatan di sendang, seluruh sesaji yang berupa panggang buceng ini dikumpulkan dalam satu tempat, namun masih dalam wadahnya masing-masing. Lantas Mbah Modin membacakan doa, setelah itu, wadah yang berupa panggang buceng dan kawan-kawnnya itu di bawa pulang lagi. Tak tersentuh, dan tak berkurang sama sekali. Masih utuh, sama seperti saat baskom yang berisi panganan itu di bawa ke sendang. [caption id="attachment_218447" align="alignleft" width="300" caption="Nampak sepi, hanya beberapa anak kecil saja yang meramaikan"][/caption]
Seusai ritual doa yang diisi dengan banyak bacaan Fatihah, acara selanjutnya adalah pertunjukkan kesenian. Biasanya pertunjukkan ini di datangkan dari luar desa. Dan hiburan kesenian kali ini adalah kesenian Gambyong. Anehnya, meski telah membayar mahal untuk mengundang seperangkat gambyong ini, tak banyak warga yang berduyun-duyun datang ke Sendang untuk menikmati lenggak lenggok tubuh sinden juga para kakek-kakek yang menabuh gamelannya. Mereka lebih asyik ngobrol ngalor-ngidul di teras-teras rumah atau pun asyik dengan TVnya masin-masing. Sungguh sayang sekali.
Aku mencoba bergabung dengan para ibu-ibu yang sedang ngobrol, kebetulan mereka bergerombol di depan rumahku yang memang asri karena kanan kiri penuh pohon bambu. Tau, apa yang mereka bicarakan? Haaaaa…..betul. Mereka sedang rekapan. Merekap, telah habis berapa duit untuk menyukseskan acara ini, belum lagi yang kerkeluh kesah telah cari utang sana-sini demi terlihat sama dengan warga lain. Ya, sama-sama meramaikan ritual ini dengan menyajikan banyak sesaji.
Ketika aku berkata, kenapa mesti dipaksakan? Dengan enteng mereka akan bilang, gak apa, lha wong cuma setahun sekali. Ya betul, ritual Bersih Desa memang hanya sekali dalam setahun, namun apakah dalam setahun hanya ada acara bersih desa saja? Tidak kan? Masih begitu banyak acara-acara lain yang juga membutuhkan biaya yang tak sedikit. Biaya sekolah anak, lebaran, bayar utang panci ke pahingan (karena bayarnya tiap hari pahing), terus belum lagi kalau ada khataman yang juga ada tiap tahun, ah saya rasa masih banyak lagi. Namun itulah salah satu ciri masyarakat desa, mereka sering kali memilih untuk memaksakan kemampuan mereka yang sesungguhnya tak mampu hanya sekedar agar dipandang sama dengan yang lainnya.
Ritual semacam ini sepertinya lebih memberatkan daripada menghiburnya, namun apa mau dikata, ini merupakan tradisi dari zaman dulu kala sebelum aku lahir di dunia.
Bagaimana dengan Anda? adakah ritual serupa di tempat Anda? Yuuk saling berbagi!
*Panggang buceng: berupa panggang ayam dan nasi yang dibentuk serupa kerucut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H