Mohon tunggu...
Fawaizzah Watie
Fawaizzah Watie Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan. Duapuluhan. \r\n\r\n\r\nhttp://fawaizzah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Balik Ketegaranku, Aku Rapuh (3)

17 Juli 2010   04:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:48 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hari, bangun! Ibu sudah keluar!" bisikku Tak seperti biasanya yang susah sekali dibangunkan, kini Hari langsung bangun dengan sekali bisikan. Mungkin dia memang belum tidur sedari tadi. Sepertiku juga.

Aku membuka pintu pelan sekali, aku merasa seperti dalam film-film yang ditayangkan di bioskop Tran TV. Keadaan gelap, aku pun tak paham apakah lampu itu memang mati atau sengaja di matikan. Setahuku, lampu belakang tak pernah dimatikan. Aku berjalan ke arah kamar mandi. Dari kamar mandi ke tembok belakang rumah, ada pekarangan yang tak begitu luas. Ada pohon belimbing di sana yang sering sekali berbuah. Aku mendengar samar-samar orang sedang berbincang di belakang sana. Pelan sekali. Seakan mereka tak ingin seorang pun mengetahui apa perbincangan mereka.

Aku membawa sebongkah batu dan adikku membawa sebuah arit di tangannya. Ketika terlihat jelas ada orang asing yang mencoba mendekap tubuh Ibuku, dadaku tiba-tiba saja bergemuruh. Hawa panas dingin menjalar ke seluruh tubuhku. Wajahku terasa terbakar menahan amarah. Bibirku bergetar, mataku nanar. Aku tiba-tiba saja menjerit melengking. Keras sekali. Aku bahkan tak sadar saat menjerit itu. Aku menyumpah serapah. Adiku berlari ke arah dua manusia tak bermoral itu. Mencoba mengalungkan arit ke leher ke duanya. Namun Ibuku dengan tangkas menahan tangan adikku. Pria itu lari menerobos pagar kawat di samping rumah, lalu melintas kali yang ada di belakang.

Aku semakin histeris,  tetangga berdatangan. Ini kali kedua rumahku dilayat orang, namun kali ini tak ada jenazah di dalamnya. Aku menyeret ibuku keluar. Menyumpah serapahinya di depan para tetangga yang ada. Entah setan apa yang merasukiku. Aku sungguh-sungguh merasa tak mengenali diriku sendiri. Aku seperti kesetanan. Seluruh kekecewaanku, kemarahanku kutumpah ruahkan malam dini hari itu.

Tanpa sebuah kesepakatan, kuucapkan satu kalimat yang nantinya justru membuatku menyesalinya. "Aku tak sudi rumah Ayahku dijadikan tempat kebejatan, silahkan melakukannya! Tapi jangan di rumah Ayahku. Pergi dari sini! Dan jangan anggap aku sebagai anakmu lagi!!" Sedetik setelah kata-kataku meluncur, tak seorang pun yang berkata-kata. Bahkan mungkin diantara mereka ada yang menahan nafasnya. Menunggu apa yang terjadi selanjutnya.

Nanar mataku yang tak setetes pun keluar air mata menambah kesunyian malam itu. Tak kulihat pula air mata menetes dari mata Ibuku. Dia tampak tenang, bahkan masih tersungging senyum dari bbirnya yang tak lagi perawan itu. Dia masuk kembali ke dalam rumah, aku semakin menceracau. Ibuku keluar lagi dengan sebendel kain. Entah berisi apa. Kemudian dia pergi meninggalkan rumah ini dengan sepeda mini yang di belikan Ayah beberapa tahun lalu. Saat melewati orang yang berjubel di depan rumahku pun, dia masih sanggup tersenyum.

Isi dalam dadaku serasa meledak, perutku serasa semburat. Penyesalan seketika datang, namun kemarahan masih bercokol di puncak keangkuhanku. Aku tak rela melihatnya pergi, tapi aku juga tak mau melihat Ayahku kecewa dengan ini. Aku yang masih berdiri di teras rumah, tiba-tiba merasa kakiku tak berasa. Lemas. Gelap.

Saat aku tersadar dari pingsanku, aku melihat masih ada beberapa orang yang mengerumuniku. Ada yang mengompresku dengan botol berisi air panas. Ada yang menyuapiku teh hangat, ada juga yang terus berceloteh untuk aku bersabar.

Kulihat sekelilingku, berharap masih ada sosok Ibuku. Namun dia sudah tak ada. Dia sudah pergi karena aku telah mengusirnya. Aku gamang. Aku galau. Aku takut. Aku meraih ponselku dan mencoba menghubungi kakakku yang bekerja di luar kota. Tapi saat mendengar suaranya, tangisku pun meledak. Aku tak mampu berkata-kata. Tapi sepertinya kakakku sudah tahu kejadian malam ini, entah siapa yang menceritakannya.

"Apa yang kamu lakukan benar Dek, sudah jangan menangis!" ucapan kakakku justru semakin membuat tangisku menjadi.

Kenapa mesti seorang pria, ayah dari sahabatku, yang jelas-jelas mempunyai banyak anak yang masih kecil yang menjadi pilihannya? Aku tak habis pikir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun