Mohon tunggu...
Fawaizzah Watie
Fawaizzah Watie Mohon Tunggu... wiraswasta -

Perempuan. Duapuluhan. \r\n\r\n\r\nhttp://fawaizzah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Balik Ketegaranku, Aku Rapuh (3)

17 Juli 2010   04:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:48 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

~Sebelumnya~

Namun kebahagiaanku tak berlangsung lama dan bergantikan nestapa yang tak kunjung usai. Dan itu semua disebabkan oleh Ibuku, dia menghancurkan semua yang kupunya. Harapanku, keluargaku, masa depanku, cita-citaku dan menghancurkan persahabatanku dengan mereka. Ibuku menjadi pengkhianat. Aku tak sudi punya Ibu seperti dia!!

Semua itu berawal dari ocehan para tetangga di setiap teras mereka. Dimana para ibu-ibu itu berkumpul, disana cerita yang membuat kuping panas itu pun diangkat sebagai temanya. Bahkan di warung-warung kopi pun, para bapak-bapak tak kalah hangat memperbincangkannya. Aku tak ingin mendengarnya, tapi aku punya telinga. Aku tak ingin sakit hati atau pun marah pada mereka, tapi aku punya hati.

Awalnya aku tak percaya dengan segala angin busuk yang menyeruak ke penjuru desa. Aku tak percaya dan aku tak terima. Bagaimana mungkin mereka berkata Ibuku bermain cinta dengan lelaki yang bukan mukhrimnya? Sungguh aku tak pernah melarang Ibuku untuk mencari pengganti Ayah. Aku tahu setiap wanita butuh belaian dan cinta dari pasangan. Dan Ibu tahu itu. Jadi jika ia memang mengingkan untuk menikah lagi, pasti dia akan membicarakannya dengan kami, anak-anaknya.

Hingga suatu petang, kami berkumpul di ruang keluarga. Mencoba menjalin komunikasi yang belakangan ini agak tersendat karena aku sedikit tak ramah. Marah. Tapi aku harus tahu yang sebenarnya. Aku tak ingin tersiksa batin karena melihat tatapan berbeda dari para tetangga atau dari sahabat-sahabatku sekali pun. Aku tak tahan lagi, dan aku ingin mengakhiri. Membuktikan pada mereka bahwa mereka semua salah. Mereka semua hanya memfitnah.

Suasana hening, dingin, dan hampa. "San,.. Ndak usah mendengarkan perkataan orang di luar sana!" "Bagaimana aku tak mendengar, jika di toko, di warung, di arisan-arisan mereka tak  henti membicarakan itu semua?" "Tak usah pergi kemana-mana, biar nanti Ibu saja yang pergi jika memang ada keperluan untuk ke luar." "Tapi apa yang mereka katakan semua bohong kan Bu?" "Kamu harus percaya pada Ibumu ini, meski Ayahmu telah tiada, aku masih tetap mencintai dan setia padanya."

Aku tersenyum bahagia mendengarnya, jelas perkataan itu bagai ombak yang meleburkan karang kemarahanku. Aku lega, bagai sebuah batu hitam besar nan kokoh di hatiku lenyam mendengar itu. Aku memeluknya dan menangis dalam pelukannya. Dalam hatiku aku tersenyum kecut mengingat para tetanggaku itu. Mereka mungkin hanya ingin menjatuhkan kami, meluruhkan keluarga kami yang tak lagi utuh.

"Apakah mereka melakukan itu karena aku tak lagi punya Ayah, Bu?" Ibuku tak menjawab, hanya tersenyum.

Semenjak itu, aku menjalani hariku seperti biasa. Aku menganggap angin tak sedap itu sebagai angin lalu. Namun itu tak berlangsung lama. Tatapan curiga dan penuh kebencian semakin nyata adanya. Hari-hari semakin sulit kuterjemahkan, tatapan mereka tak lagi sama, tak lagi ramah. Sapaan mereka gamang. Sekedar pura-pura. Senyuman mereka ada, tapi guratan air mukanya tak menandakan kesejukan di sana.

[caption id="attachment_196554" align="alignleft" width="225" caption="http://citizenimages.kompas.com"][/caption]

Aku mulai curiga. Ibuku sering sekali terjaga dari tidurnya setiap malam dia mengendap-endap pergi ke belakang. Awalnya aku mengira kalau dia pergi untuk ke kamar mandi, namun ternyata aku salah. Hingga suatu malam, saat aku melihatnya terjaga dan pergi menuju pintu belakang aku diam, pura-pura tidur. Saat Ibuku melewati pintu dan menutupnya kembali, aku bangunkan adikku. Kami memang sudah menyusun rencana sehari sebelum malam itu. Jika kami temui seorang pria asing di dalam pekarangan rumahku, bersama Ibuku. Kami -aku dan adikku- akan membunuhnya.

"Hari, bangun! Ibu sudah keluar!" bisikku Tak seperti biasanya yang susah sekali dibangunkan, kini Hari langsung bangun dengan sekali bisikan. Mungkin dia memang belum tidur sedari tadi. Sepertiku juga.

Aku membuka pintu pelan sekali, aku merasa seperti dalam film-film yang ditayangkan di bioskop Tran TV. Keadaan gelap, aku pun tak paham apakah lampu itu memang mati atau sengaja di matikan. Setahuku, lampu belakang tak pernah dimatikan. Aku berjalan ke arah kamar mandi. Dari kamar mandi ke tembok belakang rumah, ada pekarangan yang tak begitu luas. Ada pohon belimbing di sana yang sering sekali berbuah. Aku mendengar samar-samar orang sedang berbincang di belakang sana. Pelan sekali. Seakan mereka tak ingin seorang pun mengetahui apa perbincangan mereka.

Aku membawa sebongkah batu dan adikku membawa sebuah arit di tangannya. Ketika terlihat jelas ada orang asing yang mencoba mendekap tubuh Ibuku, dadaku tiba-tiba saja bergemuruh. Hawa panas dingin menjalar ke seluruh tubuhku. Wajahku terasa terbakar menahan amarah. Bibirku bergetar, mataku nanar. Aku tiba-tiba saja menjerit melengking. Keras sekali. Aku bahkan tak sadar saat menjerit itu. Aku menyumpah serapah. Adiku berlari ke arah dua manusia tak bermoral itu. Mencoba mengalungkan arit ke leher ke duanya. Namun Ibuku dengan tangkas menahan tangan adikku. Pria itu lari menerobos pagar kawat di samping rumah, lalu melintas kali yang ada di belakang.

Aku semakin histeris,  tetangga berdatangan. Ini kali kedua rumahku dilayat orang, namun kali ini tak ada jenazah di dalamnya. Aku menyeret ibuku keluar. Menyumpah serapahinya di depan para tetangga yang ada. Entah setan apa yang merasukiku. Aku sungguh-sungguh merasa tak mengenali diriku sendiri. Aku seperti kesetanan. Seluruh kekecewaanku, kemarahanku kutumpah ruahkan malam dini hari itu.

Tanpa sebuah kesepakatan, kuucapkan satu kalimat yang nantinya justru membuatku menyesalinya. "Aku tak sudi rumah Ayahku dijadikan tempat kebejatan, silahkan melakukannya! Tapi jangan di rumah Ayahku. Pergi dari sini! Dan jangan anggap aku sebagai anakmu lagi!!" Sedetik setelah kata-kataku meluncur, tak seorang pun yang berkata-kata. Bahkan mungkin diantara mereka ada yang menahan nafasnya. Menunggu apa yang terjadi selanjutnya.

Nanar mataku yang tak setetes pun keluar air mata menambah kesunyian malam itu. Tak kulihat pula air mata menetes dari mata Ibuku. Dia tampak tenang, bahkan masih tersungging senyum dari bbirnya yang tak lagi perawan itu. Dia masuk kembali ke dalam rumah, aku semakin menceracau. Ibuku keluar lagi dengan sebendel kain. Entah berisi apa. Kemudian dia pergi meninggalkan rumah ini dengan sepeda mini yang di belikan Ayah beberapa tahun lalu. Saat melewati orang yang berjubel di depan rumahku pun, dia masih sanggup tersenyum.

Isi dalam dadaku serasa meledak, perutku serasa semburat. Penyesalan seketika datang, namun kemarahan masih bercokol di puncak keangkuhanku. Aku tak rela melihatnya pergi, tapi aku juga tak mau melihat Ayahku kecewa dengan ini. Aku yang masih berdiri di teras rumah, tiba-tiba merasa kakiku tak berasa. Lemas. Gelap.

Saat aku tersadar dari pingsanku, aku melihat masih ada beberapa orang yang mengerumuniku. Ada yang mengompresku dengan botol berisi air panas. Ada yang menyuapiku teh hangat, ada juga yang terus berceloteh untuk aku bersabar.

Kulihat sekelilingku, berharap masih ada sosok Ibuku. Namun dia sudah tak ada. Dia sudah pergi karena aku telah mengusirnya. Aku gamang. Aku galau. Aku takut. Aku meraih ponselku dan mencoba menghubungi kakakku yang bekerja di luar kota. Tapi saat mendengar suaranya, tangisku pun meledak. Aku tak mampu berkata-kata. Tapi sepertinya kakakku sudah tahu kejadian malam ini, entah siapa yang menceritakannya.

"Apa yang kamu lakukan benar Dek, sudah jangan menangis!" ucapan kakakku justru semakin membuat tangisku menjadi.

Kenapa mesti seorang pria, ayah dari sahabatku, yang jelas-jelas mempunyai banyak anak yang masih kecil yang menjadi pilihannya? Aku tak habis pikir.

~to be continue~

Catatan:

  • Coretan ini ditulis sebagai cerbung untuk kado pernikahan salah seorang sahabat,
  • Benang merah cerita diambil dari sebagian lembar kisahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun