Mohon tunggu...
Sri Wahyuni Saraswati
Sri Wahyuni Saraswati Mohon Tunggu... Dosen - Freelance Writer

Menulis itu Mengobati. Membaca itu menghidupkan.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Dunia Asing dan Sihir Kata-kata

17 Februari 2020   22:21 Diperbarui: 19 Februari 2020   03:17 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menulis. (sumber: 9to5Mac via kompas.com)

Menulis sesungguhnya bukanlah kesukaanku. Ia serupa dunia kecil yang tidak memberikan kontribusi apapun bagi kehidupan ini. Ia adalah dunia asing bagiku. Ruang sempit yang hanya diisi oleh mereka, yang ingin menentang semua hal tak sepaham. 

Namun, pertemuan dengan Bapak Sutejo, --seorang pakar literasi dari Ponorogo-- yang juga sekaligus Ayah kulturalku, mampu meruntuhkan pikiran picik itu. Ia mampu menumbuhkan dogma baru tentang dunia asing itu. Ia memaksaku untuk mengenal, bersahabat, dan mencintai dunia menulis.

Sejak kecil aku tak pernah membayangkan menjadi penulis. Sejak sekolah dasar, menulis diary memang kegiatan rutin yang aku lakukan. Tapi, sama sekali bukan karena aku mengerti apalagi mencintai dunia menulis, melainan sebuah upaya untuk lari dari kemerdekaan tanpa kebahagiaan. 

Sebuah usaha untuk melepaskan pikiran bawah sadar sebelum ia tenggelam lagi dalam ketaksadaran yang dungu. 

Hal utama dari buku harian itu adalah pemandangan ambigu: di mana aku sering berselisih dengan keraguan diri yang luar biasa bertubi terkadang penderitaan dan juga kesepian---. Catatan-catatan yang cenderung ekspresif sentimentalis itu, bolehlah dipandang sebagai tulisan pengecut yang beringsut-ingsut kengerian menyaksikan kegagalan.

Kebodohanku kembali berlanjut dalam wujud berbeda. Lulus SMP, lewat jalan yang unik Tuhan menempatkan aku di salah satu pondok pesantren di Ponorogo. 

Mau tak mau aku harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang bisa dikatakan --banyak aturan---. Tiga tahun di pondok cukup memberi aku kejenuhan yang luar biasa. 

"Menulis ibarat kencing dan membaca laksana minum. Jika ingin kencing banyak ya minum yang banyak. Bapak selalu punya cara unik untuk memaksa anak didiknya supaya membaca."

Salah satu cara untuk menghilangkan kejenuhan itu adalah membaca, namun sayangnya hanya novel dan buku kajian yang cenderung beraroma Islam.

Sebuah kebiasaan yang menurutku sekarang cukup keliru. Kala itu membaca hanya sekadar membaca, sebatas hiburan, dan hanya sepintas lalu. Buku yang dibaca pun tak jelas. Belum tahu bagaimana cara membaca dan cara memilih buku bacaan.

Lima tahun silam, lagi-lagi Tuhan menuntunku ke jalan unik selanjutnya, hidup bersama keluarga Bapak. Ketika aku masuk ke rumah Bapak Sutejo ini, syarat utamanya adalah harus suka dan mau menulis, padahal menulis bukan kesukaanku.

Sebuah pemaksaanyang tidak mengenakkan. Anehnya Bapak Sutejo, yang juga ahli hipnosis itu benar-benar menghipnotisku. Kata-katanya serupa sihir. Lewat diskusi-diskusi kecil nan santai, beliau bercerita indah dan nikmatnya dunia menulis.

Sebuah ruang luas tanpa batas dengan aneka pernak-pernik kenikmatan yang tak terkira. Cerita itu terus diulang, yang dalam bahasa terapi disebut afirmasisebuah pengulangan untuk menanamkan dogma baru tentang menulis. Berawal dari sinilah aku mulai menyukai dunia menulis. Kata-katanya menyihirku, membuat aku jatuh cinta.

Hal pertama yang diajarkan oleh Bapak, jika mau menulis maka membaca adalah syarat mutlak. Membaca adalah bahan dan menulis adalah produk. Menulis ibarat kencing dan membaca laksana minum. Jika ingin kencing banyak ya minum yang banyak. Bapak selalu punya cara unik untuk memaksa anak didiknya supaya membaca.

Masih belum lekang dalam ingatan, kala itu Robohnya Surau Kami adalah cerpen pertama yang di suruh membaca. Aku membacanya sekadarnya. Rupanya menghapus kebiasaan bawah sadar itu susah. Keesokan harinya, ditanya bagaimana cerita dan apa pelajaran yang bisa diambil. Aku diam seribu bahasa. Bukan main beliau marahnya.

Karena tragedi inilah aku mulai mengubah pola membacaku. Membaca bukan hanya sekadar membunyikan kata tapi sebuah perjalan yang harus dinikmati, dihayati, dan dimaknai.

Satu lagi kebiasaan konyol beliau. Di rumah, bapak berlangganan 6 koran. Setiap pagi kami pasti menyentuhnya, entah benar-benar ingin membaca atau sekadar melihat-lihat judul berita. 

Sorenya bapak pasti bertanya dengan kalimat sederhana enek opo,  yang sebenarnya ingin mengecek apakah kami membaca koran atau tidak. Dan ia tak pernah bosan, kebiasaan ini masih beliau lakukan hingga sekarang.

"Membaca bukan hanya sekadar membunyikan kata tapi sebuah perjalan yang harus dinikmati, dihayati, dan dimaknai."

Membaca koran akan memberi wawasan tentang hal-hal baru. Hal ini akan sangat bermanfaat dalam menulis artikel. Secarik kertas tidak tertinggal tiap membaca koran. 

Menulis informasi penting dan kata-kata yang menarik. Informasi penting biasanya berkaitan dengan peristiwa up date dan kata-kata menarik biasanya berupa quote dan kalimat-kalimat indah yang bisa digunakan untuk mengawali artikel.  Karena kebiasaan kecil ini, aku semakin tahu bagaimana pentingnya membaca.

Membaca menjadi bekal penting dalam menulis. Apapun yang dibaca pasti akan berguna. Sebelum menulis haruslah membaca. Seperti pesan Bapak, Jika ingin menulis artikel bacalah artikel. Jika ingin menulis cerpen bacalah cerpen. Jika ingin menulis puisi bacalah puisi.  

Ajaran kedua, sebelum menulis harus tahu bagaimana karakteristik media. Bahasa sederhananya mengetahui gaya media. Mengetahui karakteristik sama artinya kita menyelami  kejiwaan media.

Hal ini tentu tak bisa lepas dari kebiasaan membaca. Mengenal karakteristik media dapat diperoleh melalui kebiasan membaca. Misalnya jika ingin mengirim tulisan di Jawa Pos, maka kita harus tahu bagaimana karakteristik tulisan-tulisan yang dimuat di Jawa Pos, baik cerpen, puisi, artikel, maupun esai.

Kebiasaan mengenal karakteristik media ini erat kaitannya dengan ajaran bapak tentang teknik N3, yakni niteni, nerokne, dan nambahi.  Dalam bahasa kami disebut mencari model tulisan. Niteni atau mengamati bagaimana gaya tulisan lalu menandai dan mengingat-ingat point pentingnya.

Nerokne, berarti menirukan bagaimana gaya tulisan yang akan kita modeli. Dan nambahi, berarti kita menambahkan hal baru, buah pikiran kita yang pastinya berbeda dengan tulisan itu.

Selain membaca dan menerapkan teknik N3, kami juga memiliki kebiasaan melakukan diskusi kecil di mana pun, kapan pun, dan apapun topiknya. Entah saat masak, makan, jagongan malam, bahkan sambil menata buku pun kadang kami berdiskusi. Setiap tulisan yang lahir pasti diiringi diskusi kecil. 

Kadang sebelum dikirim ke media kadang juga setelah termuat di media. Artikelku yang pertama, dikirim ke Radar Ponorogo dibahas sebelum tulisan itu dimuat.

Artikel satu setengah halaman itu dibahas sejak habis Magrib hingga menjelang tengah malam. Mulai dari ide tulisan hingga kalimat penutup. Jika satu kalimat saja cukup mengapa harus lebih? 

Kalimat Bapak itu  masih terngiang-ngiang hingga saat ini. Dan dengan sendirinya kalimat ini selalu membuntutiku ketika menulis. Sederhana tapi bermakna.

Lewat diskusi-diskusi kecil baik yang disengaja atau tidakinilah kemampuan menulisku semakin terasah.

Selain itu diskusi bersama komunitas dapat memberi informasi baru yang dapat dijadikan bahan menulis, dan yang terpenting adalah  menjaga semangat menulis tetap menyala. Inilah pentingnya komunitas. Tanpa komunitas Sutejo Spectrum Center aku bukanlah apa-apa.

Dunia menulis bagiku adalah dunia asing yang membahagiakan. Menulis memberi warna baru. Berkat menulis, aku mampu menaklukan rasa kurang percaya diriku.

Dulu berbicara di depan umum aku tak berani tapi berkat menulis semua itu mampu aku patahkan. Ia adalah pembersih jiwaku. Ketika menulis aku seperti mengalami semacam katarsis, semacam pembersihan jiwa yang meredakan kegelisahan. Ya, menulis memang berawal dari kegelisahan. 

Semakin sering Anda gelisah maka semakin besar pula kesempatan untuk menjadi penulis.  Gelisah, susah, dan derita, bisa menjadi inspirasi tulisan tanpa henti. 

Mereka adalah kekayaan yang terpendam. Semuanya bisa diolah menjadi tulisan yang menggoda, karena menulis adalah obat segala obat. Menulis itu mengobati.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun