Mohon tunggu...
Favian Hanif
Favian Hanif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPNVY

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menghadapi Terorisme Modern: Karakteristik Mengerikan dan Dilema Pencegahannya, Bisakah Ancaman ini Dihentikan?

4 Juni 2023   23:24 Diperbarui: 4 Juni 2023   23:25 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN 

Setelah abad ke-21, aksi terorisme menjadi salah satu ancaman yang menjadi perhatian banyak negara-negara di dunia. Banyaknya fenomena terorisme di seluruh dunia menjadikan masyarakat internasional secara serius memperhatikan isu terorisme, walaupun aksi terorisme ini pada kenyataanya sudah ada sejak lama. Peristiwa teror di Amerika Serikat pada 11 September 2001, dimana saat itu gedung World Trade Center (WTC) yang menjadi sasaran teror adalah salah satu yang menyebabkan penilaian ulang menyeluruh dari sifat dan makna terorisme. Bagi sebagian orang, inilah yang disebut sebagai terorisme "baru", terorisme "global", atau terorisme "bencana". 

Terorisme, dalam arti kata yang paling luas adalah suatu upaya untuk mencapai tujuan politik melalui penggunaan kekerasan untuk menciptakan suasana ketakutan, teror, dan kekhawatiran (Goodin 2006). Dengan demikian, terorisme menggunakan kekerasan dengan cara yang sangat khusus, bukan terutama untuk menyebabkan kematian dan kehancuran, akan tetapi untuk menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran akan kemungkinan kematian dan kehancuran di masa depan. Oleh karena itu, aksi terorisme bersifat rahasia dan mengandung unsur kejutan dengan tujuan menciptakan ketidakamanan serta meningkatkan kekhawatiran. 

Terorisme seringkali menggunakan bentuk-bentuk serangan yang tampaknya membabi buta atau tidak memandang bulu terhadap sasaran sipil, walaupun serangan terhadap simbol kekuasaan serta penculikan atau pembunuhan para tokoh pengusaha, pejabat senior pemerintah, dan pemimpin politik juga sering dianggap sebagai aksi terorisme. Bentuk terorisme yang paling umum adalah pembunuhan, pengeboman, penyanderaan, dan pembajakan. Kemudian dengan munculnya terorisme dalam jangkauan global, sebagaimana ditunjukkan dengan adanya peristiwa 11 September, telah memberikan ancaman untuk mendefinisikan ulang fenomena tersebut.

Terorisme dapat didefinisikan berdasarkan sifatnya sebagai berikut : 

  • Tindakannya : kekerasan yang dilakukan secara diam-diam dan mempunyai karakter yang tampaknya tidak pandang bulu. Namun, sifat dari terorisme tidak melekat pada tindakan kekerasan itu sendiri, tetapi sangat tergantung pada niat, terutama keinginan untuk mengintimidasi atau menakut-nakuti (Schmid dan Jongman 1988).

  • Korbannya : warga sipil tak berdosa. Terlebih lagi, beberapa teroris menganggap warga sipil "bersalah" dan mengklaim bahwa mereka berpartisipasi dan mendapat manfaat dari penindasan struktural dalam skala nasional atau bahkan global.

  • Pelakunya : badan-badan non-negara yang berniat untuk mempengaruhi kegiatan pemerintah atau organisasi internasional. Akan tetapi, berfokus pada apa yang disebut Laquer (1977) sebagai "terorisme dari bawah" dapat mengabaikan pembunuhan yang jauh lebih luas terhadap warga sipil tak bersenjata melalui "terorisme dari atas", yang terkadang dikelompokan sebagai terorisme negara atau terorisme yang 'disponsori oleh negara'. 

Pembahasan lebih lanjut mengenai terorisme didorong oleh anggapan bahwa terorisme datang dalam berbagai bentuk dan bahwa terorisme dapat, atau telah, berubah. Kecenderungan ini sangat ditingkatkan dengan peristiwa 11 September, yang menurut beberapa orang menandai lahirnya bentuk terorisme baru. Misalnya, Ignatieff (2004) yang membedakan empat jenis terorisme sebagai berikut: 

  • Insurrectionary terrorism : tujuan dari terorisme ini adalah penggulingan negara secara revolusioner (contohnya adalah terorisme anarkis dan revolusioner komunis).

  • Loner or issue terrorism : terorisme ini mengarah pada satu tujuan (contohnya adalah pengeboman klinik aborsi di Amerika Serikat dan serangan gas sarin di kereta bawah tanah Tokyo oleh sekte agama Aum Shinryko).

  • Nationalist terrorism : terorisme ini memiliki tujuan untuk menggulingkan pemerintahan atau pendudukan kolonial, biasanya dengan maksud untuk memperoleh kemerdekaan suatu kelompok etnis, agama, atau bangsa (contohnya adalah FLN di Aljazair dan Hamas dan Hizbullah di Israel dan wilayah-wilayah pendudukan).

  • Global terrorism : tujuan dari terorisme ini adalah untuk membuat kerusakan dan penghinaan terhadap kekuatan global atau mengubah hubungan peradaban global (contohnya adalah Al-Qaeda dan bentuk terorisme Islam yang lain).

Dalam pendekatan terorisme, pandangan realis menganggap jika terorisme adalah sebuah tantangan kekerasan terhadap tatanan mapan oleh kelompok atau gerakan non-negara, seringkali sebagai bagian dari perebutan kekuasaan. Ciri penting dari pendekatan realis terhadap terorisme adalah bahwa sebagai suatu upaya untuk menggoyahkan tatanan sosial dan menggulingkan sistem politik, tanggapan negara terhadap terorisme haruslah tanpa kompromi. Menurut perspektif ini, motivasi terorisme sebagian besar bersifat strategis. Kelompok-kelompok tersebut memakai kekerasan klandestin dan berfokus terutama pada sasaran sipil, karena mereka terlalu lemah untuk menentang negara secara terbuka melalui konflik bersenjata konvensional.

TERORISME MODERN

Terorisme sejak pertama kali tercatat dalam sejarah dipraktekan dengan kemunculan ahli pedang Sicarri yang merupakan kelompok pendukung ekstrimis dari masyarakat yahudi faksi Zelot pada abad 1 Masehi. Kelompok ini disandingkan dengan bandit-bandit yang melakukan kampanye pembunuhan, penculikan dan perampokan terhadap kelompok Roman di Provinsi Yudea dan kelompok yahudi yang bersekutu dengan Roma. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, pada masa post-war 1945 terorisme secara umum disandingkan dengan gerakan yang berorientasikan kepada rasa nasionalisme suatu kelompok dan lebih diasosiasikan kepada negara-negara berkembang di Afrika, Asia dan Timur Tengah dengan gerakan-gerakan anti kolonialisme.

Tujuan dari terorisme yang awalnya hanya sebatas pada politik: untuk menggulingkan kekuasaan asing dan menjalankan pemerintahan yang berasas pada self-determination. mengalami pergeseran faktor penggerak yang pada awalnya bersumber dari rasa nasionalisme, menjadi agama dan kepercayaan pada 1980-an. Setelah 1995, hampir setengah dari 56 kelompok teroris diklasifikasikan sebagai kelompok teroris yang menjadikan poltitiko-agama. salah satunya adalah kelompok besutan Osama bin Laden, Al Qaeda, yang dimotivasi oleh pandangan ideologi keagamaan yang radikal dalam bentuk Islamisme (Hoffman, 2006). Terdapat sebuah gagasan baru tentang bentuk dari new terrorism ini yang mengatakan bahwa terorisme sendiri telah menjadi sebuah kewajiban agama, bahkan tugas yang mulia, daripada hanya sekedar sebuah gerakan politik yang sifatnya pragmatis, hal ini tentu secara krusial telah mengubah fungsi secara fundamental dari terorisme lama. Terorisme dengan basis kepercayaan atas kebenaran agama yang mereka anggap mutlak juga telah meng-alterasi konteks moral, yang pada awalnya memiliki esensi kepada karakter yang penempatanya strategis, menjadi sarana untuk mencapai tujuan dari suatu gerakan, alih-alih kelompok terorisme menggunakan kekerasan secara drastis dan kekerasan tersebut bersifat simbolik dan diterima sebagai manifestasi dari paradigma 'Perang Total'

AL QAEDA: KATALIS TERORISME BERBASIS POLITIK-AGAMA

Al-Qaeda adalah kelompok teroris yang didirikan oleh Osama bin Laden pada tahun 1988 di Afghanistan. Kelompok ini memiliki tujuan utama untuk melancarkan jihad global melawan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, dan mendirikan negara Islam yang berdasarkan interpretasi ekstremis dari Islam. Saat ini, Al-Qaeda umumnya dianggap sebagai organisasi teroris paling berbahaya di dunia. Apakah ini benar atau tidak, banyak serangan teroris 'spektakuler' dan paling mematikan dalam beberapa tahun terakhir yang dikaitkan dengan Al-Qaeda. 

Terdapat beberapa serangan teroris Al-Qaeda yang paling terkenal termasuk pemboman kedutaan Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania (1998), serangkaian serangan terhadap target Barat di Arab Saudi (1996-2005), dan tentu saja, serangan teroris paling mematikan dalam sejarah, yaitu serangan pada 11 September 2001. Selain itu, ada puluhan serangan lain yang telah diklasifikasikan sebagai tindakan teroris Al-Qaeda dan dilakukan oleh afiliasi Al-Qaeda atau kelompok yang terinspirasi oleh Al-Qaeda. 'Afiliasi' ini dianggap bertanggung jawab atas serangan seperti pemboman klub malam di Bali (2002), serangan di sebuah hotel dekat Mombasa (2002), penargetan situs-situs Yahudi di Casablanca (2003), serangan bom mobil bunuh diri di Istanbul (2003), pemboman di Madrid (2004), serangan bom bunuh diri mematikan di London dan Amman (2005), serta banyak serangan bom mobil dan pembunuhan di Irak (2003-2007).

Menurut dataset MIPT Terrorism Knowledge Base, serangan yang terkait dengan Al-Qaeda dan afiliasinya yang diakui di Semenanjung Arab, Irak, dan Maghreb telah menyebabkan lebih dari 12.000 korban terluka dan lebih dari 5.000 korban jiwa.

WAR ON TERROR: SECERCAH HARAPAN MELAWAN TERORISME GLOBAL?

Sejak dilayangkan oleh Bush setelah serangan 9 September, War on Terror  menjadi  sebuah gagasan tentang bagaimana Amerika Serikat ingin aktor-aktor global berperang melawan 'setan' yang mengkorupsi dalam dunia. Pengertian tentang War on terror menciptakan kebingungan tentang sifat musuh (teror adalah kata benda abstrak, dan terorisme adalah taktik militer, bukan kelompok, ideologi, atau institusi). Ini memperkenalkan elemen sembarangan dalam pemilihan musuh, sementara pada saat yang sama, mengaitkan mereka dengan kejahatan, ketidakmoralan, dan kekerasan yang sembrono dengan mewakili mereka sebagai 'teror'. Dengan menggambarkan kampanye melawan teror sebagai 'perang', itu mengimplikasikan bahwa terorisme harus, dan mungkin hanya bisa, ditangani melalui sarana militer. Pendekatan seperti ini sepenuhnya berfokus pada manifestasi terorisme dan, bisa dikatakan, mengabaikan penyebabnya.

 Dengan demikian, hal itu sudah menentukan pilihan strategi penanggulangan terorisme. Secara umum, keamanan negara diperkuat dengan memperluas kekuatan hukum pemerintah. Misalnya, negara-negara menguatkan kendali atas aliran keuangan global; pengaturan imigrasi telah diperketat, terutama selama periode kewaspadaan tinggi; pengawasan dan pengendalian terhadap populasi domestik, terutama anggota kelompok-kelompok 'ekstremis' atau simpatisan teroris, telah diperketat secara signifikan; dan, dalam banyak kasus, kekuasaan untuk menahan tersangka teroris telah diperkuat. Misalnya,di Amerika Serikat, Undang-Undang Patriot (2001) memperbolehkan penahanan tak terbatas bagi imigran. Namun, dalam beberapa kasus, tindakan keamanan negara memiliki karakter di luar hukum atau setidaknya semi-hukum.

 Pada periode pasca-11 September, pemerintahan Bush di Amerika Serikat menerapkan pendekatan ini lebih jauh, terutama dengan mendirikan kamp penahanan di Teluk Guantanamo di Kuba, dan dengan praktik seperti 'extraordinary rendition'  dimana teroris ditahan di Teluk Guantanamo tunduk pada otoritas pengadilan militer, yang, hingga tahun 2008, berada di luar yurisdiksi Mahkamah Agung Amerika Serikat, dan dengan menolak mengklasifikasikan mereka sebagai 'kombatan musuh', pemerintahan Bush menolak memberikan perlindungan yang diatur oleh Konvensi Jenewa kepada para tahanan.  

Meskipun demikian, gagasan untuk mengatasi terorisme dengan membuat kesepakatan politik dengan teroris, atau dengan memenuhi tuntutan mereka, juga menarik kritik. Pertama-tama, hal ini terkadang dianggap sebagai contoh pemenuhan tuntutan (appeasement), sebuah penarikan moral di hadapan intimidasi dan kekerasan, bahkan ketidakmampuan untuk membela keyakinan seseorang. Sementara pendekatan militer untuk mengendalikan terorisme berjanji untuk melemahkan dan mungkin menghancurkan kelompok teroris, pendekatan politik dapat memperkuat atau memberi keberanian pada mereka, dengan memperlakukan kelompok dan tujuan yang mereka kejar sebagai sakral.

Selain itu, pendekatan politik kemungkinan paling efektif dalam kasus terorisme nasionalis, di mana kesepakatan dapat dicapai mengenai masalah seperti pembagian kekuasaan, otonomi politik, dan bahkan kedaulatan. Namun, terorisme dengan motivasi Islamis mungkin berada di luar kemampuan "solusi" politik. Sebuah pertanyaan timbul, apa yang akan menjadi solusi politik untuk bentuk terorisme yang bertujuan untuk menegakkan pemerintahan teokratis di masyarakat barat dan menggulingkan institusi-institusi dan prinsip-prinsip liberal-demokratis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun