Mohon tunggu...
FAUZUL IKFANINDIKA
FAUZUL IKFANINDIKA Mohon Tunggu... Guru - Redaktur

Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

"Same as Ever"

27 Februari 2024   06:26 Diperbarui: 27 Februari 2024   06:28 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika kamu hanya ingin bahagia, maka hal ini dengan mudah bisa kamu capai. Tapi jika kamu berharap lebih bahagia daripada orang lain, ini yang sulit. Karena kita selalu punya anggapan kalau hidup orang lain lebih bahagia. Wajar saja jika kamu merasa tidak bahagia.

Kekayaan dan kebahagiaan adalah dua sisi dalam satu koin. Apa yang kamu miliki dan apa yang kamu harapkan atau butuhkan. Contohnya begini, setiap orang punya kondisi hidup yang berbeda. Berapa banyak uang yang mereka miliki, di mana mereka tinggal, dengan siapa dan sebagainya.

Tapi di luar kondisi hidupmu sekarang, ada yang namanya kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan adalah sesuatu yang kita perlukan untuk menunjang hidup: makanan, tempat tinggal, pakaian dan sebagainya. Keinginan adalah sesuatu yang menjadi aspirasi hidup kita; rumah yang lebih besar, mobil lebih mewah dan sebagainya.

Tentu saja kondisi hidup dan kebutuhanmu mungkin sudah jelas terlihat dalam realita saat ini, tapi keinginan, itu hanya ada di kepalamu. Jadi ketika kamu melihat temanmu lebih sukses atau lebih kaya, jangan habiskan waktu untuk cemburu. Jauh lebih mudah untuk mengontrol ekspektasi hidup yang kamu inginkan daripada mengubah kondisi hidup yang kamu jalani sekarang.

Nah, kali ini saya akan membahas buku "Same as Ever" karya Morgan Housel. Buku ini membahas tentang bagaimana di tengah dunia yang berubah ada beberapa hal yang selalu sama, tidak peduli waktu dan ruang. 

Jika ditanya soal bagaimana dunia 50 tahun lagi, para ahli sekalipun kesulitan menjawab hal ini. Tapi di sisi lain apapun kondisi di masa depan, manusia masih tetap merespon pada keserakahan, ketakutan, peluang, risiko, ketidakpastian, afiliasi sosial dan bujuk rayu yang sama.

Tidak aneh, walaupun tingkat pendidikan semakin tinggi dan informasi semakin mudah diakses, di era sekarang kita masih bisa terjebak dalam penipuan keuangan. Kelakuan manusia yang tidak pernah berubah merupakan pelajaran sejarah yang paling berharga, karena ini merupakan cuplikan singkat soal apa yang mungkin terjadi di masa depan.

Manusia lebih mudah didorong oleh sebuah cerita dari pada fakta statistik. Enggak percaya? Coba lihat pasar saham setiap harinya, harganya yang naik turun seringkali bukan karena fundamental perusahaan yang berubah, tapi cerita apa yang kita baca di internet. Misalnya, kita membaca kalau industri masa depan adalah mobil listrik. Maka tidak aneh apabila kita menjual saham yang kita miliki di perusahaan yang memproduksi energi fosil. Tapi apakah ini artinya perusahaan tersebut langsung merugi atau bahkan tidak bisa bersaing lagi? Belum tentu bukan? 

Saya merangkumnya menjadi tiga hal penting dari buku ini;

Pertama, perilaku yang tidak pernah berubah.

Saat krisis ekonomi melanda dunia pada tahun 2008, banyak orang merasa ini merupakan krisis ekonomi terburuk sepanjang sejarah. Tapi apakah ini yang terakhir? Ternyata tidak. Karena ada pandemi Covid-19 pada tahun 2019.

Kejadian yang mengubah dunia ini datang dan pergi. Mungkin saja ada krisis ekonomi beberapa tahun lagi, tidak ada yang tahu kapan dan bagaimana hal ini terjadi.

Namun yang pasti, kita tahu bagaimana seseorang akan bersikap dalam kondisi tersebut. Akan ada orang yang berinvestasi gila-gilaan saat krisis tapi ada juga yang sangat hati-hati. Karena mereka takut apa yang terjadi di kemudian hari.

Perbedaan keduanya berasal dari pengalaman seseorang ketika mengalami sebuah krisis. Seseorang yang selamat dari krisis mungkin berpikir dua kali soal investasi disaat krisis. Tapi bagi mereka yang belum pernah merasakan krisis, mereka justru lebih mungkin untuk berinvestasi di momen tersebut. Itu sebabnya generasi yang hidup pada masa krisis ekonomi tidak pernah memandang uang dengan cara yang sama setelahnya. 

Mereka menabung lebih banyak, mengurangi hutang dan waspada terhadap resiko sepanjang sisa hidup mereka. Rasanya memang tidak nyaman untuk berpikir bahwa apa yang belum kamu alami mungkin mengubah keyakinan yang kamu miliki, karena hal itu berarti mengakui ketidaktahuan mu sendiri.

Jauh lebih mudah, untuk berasumsi orang yang tidak sependapat dengan kamu mungkin saja tidak berpikir sekeras kamu. Jadi lebih baik fokusnya bukan pada khawatir soal berita yang ada di internet, tapi lihat bagaimana kamu dan orang sekitarmu bereaksi. Apa respon yang mereka ambil? Jika kamu bisa mengontrol bagaimana kamu bersikap, maka tidak peduli betapa banyak peristiwa yang muncul dan tenggelam dalam hidupmu, kamu pasti akan selamat.

Kedua, apakah masa lalu lebih baik?

Kenapa orang suka nostalgia dengan masa lalu? Apakah beneran lebih baik daripada masa kini? Mungkin kamu pernah dengar ungkapan "Piye kabare? Isih penak zamanku toh?"

Ada contoh yang menarik di Amerika Serikat, generasi baby boomers yang lahir pertengahan 1940-an hingga pertengahan 1960-an, dan juga orang tuanya barangkali menganggap tahun 1950-an sebagai masa keemasan, di satu sisi keluarga sederhana yang berada di masa itu dengan satu orang pencari nafkah bisa memiliki gaya hidup kelas menengah. Sesuatu yang mungkin sulit dilakukan di kota besar saat ini.

Tapi apakah beneran lebih baik? Faktanya tidak. Di tahun 1950-an tingkat kematian lebih tinggi, banyak orang meninggal di usia muda. Selain itu tingkat pendapatan rata-rata keluarga masa kini jauh lebih makmur, walaupun setelah disesuaikan dengan inflasi. Rata-rata gaji per jam saat ini, 50% lebih tinggi daripada tahun 1950-an setelah disesuaikan dengan inflasi. Kenaikan penghasilan ini bukan karena bekerja lebih panjang atau karena wanita juga ikut dalam bekerja, tapi karena peningkatan signifikan dalam hal produktivitas.

Meskipun begitu, kenapa banyak generasi tua sepertinya masih terjebak dalam nostalgia masa lalu? Mungkin hal ini berakar pada kecemburuan dan hasrat manusia untuk membandingkan dirinya dengan orang lain.

Pada tahun 1950-an, gap ekonomi antara kamu dan kebanyakan orang tidak begitu lebar. Wajar saja, saat itu dunia baru selesai menghadapi Perang Dunia Kedua dan distribusi gaji masih tidak terlalu jomplang. Hanya sedikit kalangan yang hidup dalam kemewahan pada tahun 1950-an. Namun semua berubah pada tahun 1980-an. Amerika Serikat mulai mengubah struktur pajak mereka dan berbagai perubahan lainnya sehingga menciptakan kalangan konglomerat baru. Sebuah gaya hidup yang menjadi acuan banyak orang.

Apa yang masyarakat lakukan? Mereka melihat sekeliling lalu melihat orang lain yang hidupnya jauh lebih baik daripada mereka, hal ini lalu membuat mereka cemburu dan marah. Nah di era sekarang, jurang ekonomi terlihat semakin lebar karena media sosial. Kita bisa melihat orang yang usianya lebih muda tapi hidupnya jauh dalam kemewahan. Alhasil, kita membandingkan hidup biasa aja yang kita jalani sehari-hari dengan kehidupan orang lain yang sudah dipilih sedemikian rupa untuk menggambarkan kesuksesan hidup yang sudah mereka raih. Ada yang masih muda tapi sudah jadi CEO dari Skincare yang dibuatnya, lalu pamer mobil mewah, rumah besar dan sebagainya. Jadi tidak aneh, jika dibilang ekonomi saat ini bagus dalam menciptakan tiga hal; kekayaan, kemampuan untuk memamerkan kekayaan dan kecemburuan besar terhadap kekayaan orang lain.

Ketiga, tips mengelola sebuah risiko.

Resiko terbesar adalah sesuatu yang tidak disangka oleh orang lain, karena tidak ada yang menyangka hal ini terjadi maka tidak ada yang bersiap.

Jika tidak ada yang bersiap, maka kerusakan yang muncul akan jauh lebih besar ketika hal buruk ini terjadi. Ini yang harus kita pahami. Tentu saja bisa dibilang mustahil untuk merencanakan sesuatu yang tidak bisa kamu bayangkan tapi mungkin kita perlu melihatnya dari sudut pandang yang lain.

Penulis mencontohkan bagaimana negara bagian California memandang sebuah gempa bumi. Mereka tahu kalau akan ada gempa bumi yang besar tapi mereka tidak tahu kapan, di mana dan seberapa besar apa.

Jadi apa yang dilakukan? Kita bisa menyiapkan tim cepat tanggap gempa bumi, selain itu kita juga bisa membangun gedung yang mampu bertahan menghadapi gempa yang mungkin saja tidak akan muncul bertahun-tahun kemudian. Pelajarannya adalah kita berinvestasi pada persiapan bukan prediksi.

Si Kutu Buku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun