Kita seringkali salah kaprah soal bahagia. Kita berpikir untuk bahagia maka kita perlu sukses dulu. Kenyataan justru sebaliknya, kita perlu bahagia dulu untuk sukses.
Halo semuanya, kali ini saya akan membahas buku The Happiness Advantage: The Seven Principles of Positive Psychology That Fuel Success and Performance at Work karya Shawn Achor. Buku ini membahas kalau orang yang bahagia hidupnya akan lebih sukses.
Kebahagiaan itu bukan soal kepercayaan kalau kita tidak perlu berubah, justru itu merupakan sebuah kesadaran kalau kita bisa berubah. Pemahaman umum soal kebahagiaan seringkali tidak tepat. Kita seringkali menganggap ketika kita sukses, maka kita akan bahagia. Ketika kita mendapatkan pekerjaan yang kita impikan, mendapatkan promosi jabatan, turun berat badan 5kg, maka kebahagiaan akan mengikuti.
Tapi ilmu pengetahuan justru membuktikan sebaliknya. Kebahagiaan yang menciptakan kesuksesan, bukan sebaliknya. Riset menunjukkan karyawan yang bahagia merupakan karyawan yang lebih produktif, lebih kreatif dan lebih baik dalam menyelesaikan masalah daripada rekannya yang tidak bahagia.
Orang yang positif secara signifikan lebih sehat, memiliki tingkat stres yang lebih rendah dan menikmati hubungan sosial yang lebih dalam. Saya merangkumnya menjadi 3 hal penting dari buku ini.
Pertama, miskonsepsi soal kebahagiaan.
Pernah enggak kamu dengar ini ketika kecil, "Belajar yang rajin ya, lulus sekolah atau kuliah, lanjut kerja keras agar sukses, lalu bahagia".
Ini boleh dibilang formula yang kacau, seakan-akan kebahagiaan hanya bisa diraih ketika kita sukses. Oke, apa sih kebahagiaan? Secara formal kita mendefinisikan kebahagiaan sebagai sebuah pengalaman dari perasaan yang positif. Tapi kenyataannya kebahagiaan itu sangat subjektif, relatif kepada individu yang mengalaminya.
Psikologi positif menunjukkan ketika kita merasa senang dan punya mindset positif, maka kita cenderung lebih cerdas, lebih termotivasi dan pada akhirnya menikmati banyak kesuksesan. Sebaliknya, perasaan negatif justru menghambat keahlian kita dalam berpikir dan bertindak.
Mungkin saja kamu pernah mengalami hal ini, di mana kamu merasa sedang down sampai kamu tidak ingin keluar rumah. Ketika kita mengalami perasaan positif otak kita dibanjiri dopamin dan serotonin, reaksi kimia yang membuat kita merasa senang dan mendorong bagian otak yang berhubungan dengan pembelajaran, dengan cara menyusun informasi baru, menyimpannya, dan lebih mudah untuk mengingatnya di lain waktu. Sederhananya, ketika kamu berada dalam mood yang baik, kamu akan punya nilai matematika yang lebih tinggi.
Menariknya lagi, ratusan studi ilmiah soal kebahagiaan menemukan kalau kebahagiaan justru yang mengantarkan kita untuk sukses hampir di setiap aspek dalam hidup, mulai dari hubungan percintaan, pekerjaan, kesehatan, hingga kreativitas. Tidak aneh, banyak perusahaan besar justru mulai mengintegrasikan aspek fun atau kesenangan ke dalam kantor mereka dengan harapan membuat karyawannya bahagia.
Ada sebuah studi yang menarik. Studi ini mengukur tingkat dasar perasaan positif dari 272 karyawan yang ada di sebuah perusahaan, lalu mengukurnya dan membandingkannya dengan kinerja mereka selama periode 18 bulan. Peneliti menemukan, karyawan yang dasarnya bahagia berakhir dengan laporan evaluasi kinerja yang lebih baik dan gaji yang lebih tinggi.
Menariknya, orang yang sukses ini tidak melihat kebahagiaan sebagai hadiah atas kerja keras dan pencapaian mereka. Melainkan mereka sukses karena mindset positif yang membuat mereka bisa menjalani hidup dengan maksimal. Ini adalah keunggulan bagi orang yang punya mindset positif.
Mungkin bagi beberapa orang mereka merasa dirinya bukanlah orang yang selalu happy. Beda dengan rekan kerjanya yang terlihat begitu ceria. Tapi kenyataannya semua orang bisa mencapai keuntungan ini karena hanya soal perilaku dan konsistensi.
Kedua, pandangan kita soal dunia mengubah segalanya.
Jika kamu punya anak atau punya saudara, pasti ada masanya ketika kalian sedang bercanda hingga akhirnya anak kecilnya menangis. Lalu biasanya kamu berusaha sebisa mungkin untuk membuat si kecil berhenti menangis agar tidak mengadu kepada orang tua. Biasanya dengan cara buat lelucon atau memuji anak kecil itu.
Nah, kenapa hal ini berhasil? Kenapa kata-kata yang diucapkan bisa mengubah pengalaman kita dalam hal rasa sakit dan penderitaan? Otak kita harus memutuskan apakah harus menggunakan energinya untuk pengalaman rasa sakit negatif dan stres atau menggunakan energi yang sama namun ke arah pengharapan, optimisme dan penuh makna. Inilah kenapa ketika kita membujuk anak kecil untuk berhenti menangis itu bisa berhasil karena anak kecil itu harus memilih antara 2 hal, entah merasakan sakit atau tertawa di waktu bersamaan. Sudut pandang ini yang harus kita pahami dalam menjalani kehidupan sehari-haru.
Sebagai contoh, pada tahun 1979 sekelompok laki-laki tua berusia 75 tahunan menjalani sebuah eksperimen di mana mereka diminta untuk tinggal di sebuah lokasi yang dibuat sedemikian rupa menyerupai tahun 1959 dan mereka diminta untuk menyesuaikan diri di sana. Mulai dari gaya busana, koran dan sebagainya. Ibaratnya mereka sedang kembali ke masa lalu dan melihat dunia dalam kacamata seorang yang berusia 55 tahun.
Menariknya ketika mereka menjalani tes yang berhubungan dengan kekuatan fisik, postur tubuh kognisi dan ingatan jangka pendek, mayoritas peserta justru mencetak nilai yang bagus. Uniknya dengan mengubah persepsi, maka aspek lain dalam hidup mereka meningkat.
Ketiga, bahagia itu manfaatnya, bukan cuma untuk diri sendiri.
Oke bagaimana caranya untuk jadi orang yang lebih positif?
Pertama, memahami kalau otak kita menggunakan pola untuk melihat dunia.
Contohnya sebuah studi yang dilakukan oleh universitas Harvard, di mana sih peneliti membayar 27 orang untuk bermain tetris selama beberapa jam sehari selama 3 hari berturut-turut. Setelah beberapa hari, para responden mulai merasakan ada perubahan.
Misalnya, mereka membetulkan posisi kotak sereal yang miring di supermarket hingga menjadi garis lurus dan bahkan membayangkan untuk membalik bangunan agar lebih pas di jalan. Obsesi ini dikenal sebagai the tetris effect. Efek ini muncul dengan 2 variasi yang berbeda, pertama, negatif tetris effect di mana otak kamu terjebak dalam sebuah pola yang menghambat kamu untuk sukses. Misalnya jika kamu bekerja sebagai auditor, mungkin saja kamu punya kecenderungan untuk melihat kekurangan dari orang lain.
Sedangkan yang kedua adalah positif tetris effect. Di mana otak kamu terlatih untuk melihat peluang yang bisa meningkatkan kesuksesan. Nah, cobalah untuk terus mencari pengalaman yang positif. Mungkin salah satu latihannya adalah dengan secara rutin menuliskan 3 hal baik yang terjadi di hari itu.
Isinya bisa apa saja, yang penting positif, tidak perlu hal besar, yang penting harus spesifik. Misalnya bisa saja soal lelucon yang kamu berikan untuk menghibur temanmu yang lagi sedih, dipuji oleh atasan dan sebagainya.
Yang paling penting, kamu perlu melakukan ini secara konsisten agar efektif. Jika kamu bisa membuat hal ini menjadi sebuah kebiasaan, maka kamu akan secara terus menerus terbiasa untuk mencari pengalaman positif yang pada akhirnya bisa meningkatkan kualitas harimu. Nah, menariknya, orang yang bahagia itu punya kekuatan untuk membaginya kepada dunia. Ibaratnya kamu seperti sebuah lilin dengan api yang menyala, api yang kamu miliki bisa kamu bagikan ke orang lain, misalnya bisa ke keluarga kamu, teman kamu, rekan kerja hingga lingkungan sekitarmu.
Perubahan kecil ini apabila dijalankan terus menerus bisa membuat dampak yang signifikan atau bahkan mengubah hidup seorang.
Editor : Fauzul Ikfanindika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H