Brunei Darussalam adalah sebuah negara kecil yang terletak di Asia Tenggara dengan populasi sekitar 450.000 jiwa dan memiliki luas wilayah sekitar 5.765 km persegi. Negara ini kaya akan sumber daya alam terutama minyak bumi dan gas alam. Negara ini adalah anggota aktif dari ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) yang merupakan sebuah organisasi politik dan ekonomi yang terdiri dari 10 negara di wilayah Asia Tenggara.
Dalam hal politik luar negeri, Brunei Darussalam menjalin hubungan baik dengan negara-negara tetangganya dan juga negara-negara di luar wilayah Asia Tenggara. Brunei Darussalam juga memiliki hubungan diplomatik dengan sejumlah besar negara di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Asia seperti China dan Jepang. Brunei Darussalam juga menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan berpartisipasi aktif dalam forum-forum internasional seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Namun, seperti negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, Brunei Darussalam juga menghadapi sejumlah isu politik luar negeri yang dihadapinya. Salah satu isu terbesar yang dihadapi Brunei Darussalam adalah isu kesehatan. Brunei Darussalam merupakan salah satu negara yang memiliki perhatian lebih di bidang kesehatan, mengingat banyaknya penyakit-penyakit yang muncul di tengah kehidupan masyarakat sehingga angka kematian cukup tinggi di negara Brunei Darussalam.Â
Selama beberapa dekade terakhir, penyakit yang paling sering dialami masyarakat Brunei Darussalam seperti kanker paru-paru, jantung koroner, kardiovaskular, bronkitis kronis, dan diabetes mellitus. Kanker paru-paru menjadi penyumbang utama kematian di negara Brunei Darussalam. Masalah kesehatan yang terjadi hampir di semua negara tidak lepas dari dampak dan bahaya yang ditimbulkan oleh rokok. Penggunaan tembakau merupakan salah satu dari empat faktor utama sebagai penyebab penyakit tidak menular (Non-Communicable Diseases-NCDs).
Di negara Brunei Darussalam sendiri, rokok menjadi penyebab utama kematian dan dianggap paling berbahaya bagi kehidupan masyarakat. Berdasarkan data WHO, 90% penyakit kanker paru-paru, 75% penyakit bronkitis kronis serta 25% penyakit jantung disebabkan oleh asap rokok. Penyakit-penyakit inilah yang menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas di negara Brunei Darussalam.
Ketika sebagian besar negara di kawasan Asia Tenggara sibuk memperhatikan bidang ekonomi, pemerintah Brunei Darussalam mulai melirik hal lainnya, yakni permasalahan kesehatan yang mulai ditunjukkan Brunei Darussalam sekitar tahun 1990-an melalui pidato-pidato yang dikeluarkan oleh sultan. Di samping untuk memberantas permasalahan kesehatan yang terjadi di negara Brunei Darussalam, hal ini juga dikarenakan jumlah penduduk Brunei Darussalam yang sedikit, jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia Tenggara.
Di sisi lain, minimnya jumlah penduduk Brunei Darussalam secara tidak langsung berdampak terhadap kapasitas sumber daya manusia yang dibutuhkan pemerintah guna mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Selain itu, pemerintah Brunei Darussalam memandang bahwa penyakit tidak menular (NCDs) merupakan ancaman bagi pembangunan sosial ekonomi dan menjadi penghambat terhadap Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals-MDGs).
Pemerintah Brunei Darussalam memiliki caranya sendiri untuk meningkatkan angka harapan hidup rakyatnya. Selain membangun kapasitas medis dan pelayanan profesional, pemerintah Brunei Darussalam juga melakukan tindakan pencegahan melalui program penyadaran. Salah satu caranya adalah dengan memberantas kebiasaan merokok melalui amandemen yang dibuat dalam bea dan cukai rokok, tembakau dan hasil tembakau. Hal ini menyadarkan masyarakat Brunei Darussalam akan bahaya rokok. Brunei Darussalam menganggap rokok sebagai salah satu barang berbahaya dan sumber penyakit.
Oleh karena itu, pada tanggal 3 Juni 2004, Brunei Darussalam menandatangani, meratifikasi, dan menjadi bagian dari WHOÂ Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan perjanjian internasional pertama yang bergerak di bidang kesehatan. Brunei Darussalam menjadi negara ke-18 dari 172 negara yang meratifikasinya.
WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) memberikan kerangka kerja untuk upaya pengendalian tembakau yang dilakukan oleh pemangku kepentingan terkait di tingkat nasional, regional dan internasional untuk mengurangi prevalensi merokok dan paparan asap rokok. Dalam konvensi anti tembakau ini, negara-negara yang meratifikasi terikat dengan hukum internasional berupa dokumen internasional yang mengikat secara hukum.
Tindakan khusus yang diambil oleh pemerintah Brunei Darussalam untuk melindungi penduduknya sejalan dengan WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pada tanggal 1 Juni 2005, pemerintah Brunei Darussalam secara resmi meluncurkan sejumlah peraturan terkait Peraturan Merokok dan Tembakau 2007, salah satunya adalah larangan penjualan produk tembakau kepada anak-anak di bawah usia 18 tahun dan mempublikasikan dari semua iklan rokok. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan penurunan jumlah impor rokok dan tembakau di Brunei Darussalam, mengingat Brunei Darussalam merupakan negara bebas rokok.
Masalah kesehatan di negara Brunei Darussalam, terutama dengan merebaknya wabah tembakau, membuat sultan mendirikan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada tahun 2004 dan menerapkan alat yang telah ditetapkan oleh Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), Tobacco Order 2005, Peraturan-Peraturan 2007 dan Tobacco Regulation Amendments 2012. Kebijakan Sultan Brunei Darussalam tersebut merupakan bentuk jaminan kesehatan bagi masyarakat. Sultan menyatakan bahwa kesehatan adalah prioritas di atas nilai ekonomi industri tembakau di negara Brunei Darussalam.
Referensi:
https://eprints.umm.ac.id/21629/2/jiptummpp-gdl-muhammadri-39188-2-babi.pdf
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H