Mohon tunggu...
Muhammad Fauzil Adzhim
Muhammad Fauzil Adzhim Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Siswa MTsN Padang Panjang

jangan tinggalkan sholat mu sebelum engkau di sholat kan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hati yang Valiant: Cinta dan Sakit Perang

17 April 2024   13:51 Diperbarui: 17 April 2024   13:56 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

    Tidak ada yang tahu bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Di pagi hari yang cerah pada tanggal 28 Juni 1914 Pangeran Austro Hongaria sedang melakukan lawatan kerja di Bosnia, tepatnya ia berada di Kota Sarajevo. Pemandangan Kota yang indah dan hiruk pikuk kota membuat suasana menjadi damai. Mobil yang ditumpangi Pangeran Franz Ferdinand berbelok ke kiri. Disitulah seorang Mahasiswa Serbia menembak Sang Pangeran. Dalam dua tembakan, ia jatuh tak sadarkan diri di bangku belakang mobilnya

Setidaknya itu yang kuingat saat aku bersama keluargaku hidup di peternakan di kota Saint Mihiel, Prancis. Jerman menyatakan perang terhadap Rusia, namun karena kesepakatan militer Prancis ikut tergabung dalam perang besar ini. Aku harus merelakan menantu anak perempuanku, Karl untuk ikut kembali ke Jerman untuk mengabdi pada negaranya. Melihatnya pergi, sebagai seorang ayah mertua hatiku sakit dan hancur sekali. Mengingat perang adalah medan pertumpahan darah yang tak mengenal belas kasih dan ampunan,

"Ayah, aku pergi dahulu. Tolong jaga Marry baik-baik. Aku pasti akan sangat merindukan dirinya selama aku berperang di pihak Jerman" Ucap Karl sambil mengemas barangnya dan mengusap air matanya. Aku hanya bisa menahan perasaanku dan tetap tegar memberi semangat padanya dan berdoa semoga in tetap selamat.

"Nak, pergilah. Aku akan menjaga Marry untukmu. Lagipula ia adalah anakku sendiri. Kau tidak perlu khawatir. Pulanglah dengan selamat."

"Baiklah, terima kasih telah pengertian sekali padaku. Aku bangga mempunyai mertua sepertimu, ayah."

Beberapa hari berselang, aku bersama anakku Marry menjalani hari-hari kami seperti hiasa di peternakan Saint Mihiel. Dari kejauhan nampak beberapa orang berseragam militer lengkap dengan menunggang sepeda datang menghampiri kami. Ada dua orang, satu orang dengan tas penuh surat dengan tubuh besar gemuk agak berisi. Sedangkan yang satunya memegang senjata dengan tubuh kurus tinggi. Dengan wajah tegas dan kumis tebalnya, Si Gendut mengeluarkan kertas dari tas nya. Setelah menyerahkannya padaku ia langsung bergegas pergi. Nampak dari raut wajah, hau badannya yang menyengat dan langkahnya mereka yang tergesa gesa, ada sesuatu yang sangat penting dan tak beres terjadi.

Membawa masuk kertas yang aku ambil dari dua orang tentara tadi, aku berusaha berpikir baik bahwa apa yang ada dalam kertas lusuh ini adalah sesuatu yang baik. Aku melempar tubuhku pada sofa tua di ruang tamu, menarik napas untuk mengumpulkan keberanian membaca kertas itu. Sesuatu terjadi diluar dugaanku, itu adalah surat pendaftaran pelatihan militer. Ini artinya aku diwajibkan mengabdi pada negara dengan berperang dengan militer melawan faksi Jerman.

"Marry, ayah harus pergi untuk menjalani pelatihan militer di Kamp Tentara Jaga dirimu dan cucu ayahmu ini dengan baik. Perang pasti tidak akan terjadi begitu lama. Tunggulah, ayah akan pulang kembali."

"Ayah, bagaimana jika kau tidak kembali?, aku takut sekali. Perang ini adalah perang besar Resiko terbunuh sangat tinggi. Musuh ayah tidak segan menembak bahkan menghabisimo Kumohon berhati-hatilah"

"Iya aku akan selalu berhati-hati anakku. Ayah harus cepat bergegas, Waktu tidak akan menunggi. Sementara matahari tetap terbit itu artinya masih ada harapan. Simpan narmaku dalam doamu"

Menaiki kereta api besi di Stasiun dan meninggalkan kampung halamanku adalah beban terberat hidupku. Sesak dan sakit rasanya aku meninggalkan keluargaku di rumah. Namun aku tak dapat mengelak. Sesampainya di Stasiun, ku lihat orang penuh sesak berlalu-lalang, ada anggota militer bersiap dan adapula rakyat sipil biasa. Hiruk pikuk ini membuat sakit kepalaku Tak jauh mataku memandangi peron, seorang tentara terlihat di ganggu oleh beberapa rekannya. Dengan secepat kilat aku datang dan membubarkan kerumunan tersebut.

"Hey, hentikan perbuatan konyol kalian. Dia bukan seorang tentara Jerman. Kalian pengecut, tikus kotor yang suka bergumul dengan sampah Lantangku dengan wajah merah.

"Siapa kau, Lagipula kami hanya bermain sejenak dengan orang ini. Kita tak akan bisa melakukan ini jika telah sampai di medan perang."

"Sudahlah, biarkan saja mereka. Lagipula aku tidak apa-apa diganggu oleh mereka. Jangan mudah terpancing emosi, kita semua kawan disini. Kita akan melawan Jerman bersama." Jawab pria yang kutolong tadi sambil menarik tanganku keluar kerumunan.

Pria itu terlihat sangat jantan. Kulitnya yang berwarna sawo matang, kumis tebal, tubuh besar tinggi dan agak berisi. Serta tidak lupa pula aku memperhatikan otot di tangannya yang agak besar. la adalah pria sejati. Aku mengulurkan lenganku untuk berjabat tangan tanda persahabatan dan melempar senyum hangat padanya.

"Halo, namaku Emil. Aku berasal dari Saint Mihiel. Aku datang kesani untuk pergi ke tempat pelatihan militer di luar kota. Senang bertemu denganmu."

"Namamu Emil? Itu bagus. Perkenalkan namaku Fredy. Aku adalah seorang tentara prancis yang akan berangkat ke garis depan. Kurasa cukup disini kita berterni. Aku sangat sibuk."

Setelah berkenalan dan berjabat tangan tanda persahabatan, pria itu dengan langkah mantap meninggalkan diriku. Aku hanya mematung untuk beberapa saat karena ia akan langsung bertaruh nyawa di medan perang. Peluit kereta api berbunyi memecah lamunanku, bergegas kakiku mempercepat langkah dan masuk ke salah satu gerbong penumpang. Sempit, sesak dan berdesakan adalah sahabatku selama perjalanan yang membosankan ini. Selama dalam perjalanan menuju kota, aku hanya terdiam dan melihat ke jendela gerbong di sampingku Setidaknya hamparan hijaunya peternakan Saint Mihiel membuat kepalaku sedikit tenang Melihat awan membayangi bumi dan semburat cahaya matahari membuat diriku yakin bahwa perjalanan tidak akan terlalu berisiko bagiku.

Peluit kereta api berbunyi panjang. Asap tebal hasil pembakaran batu bara pada mesin usp kereta mengepul di sekitar pemberhentian kereta. Pintu gerbong mulai terbuka serentak para

penumpang berebut keluar gerbong. Aku yang tidak tahu apa-apa akhirnya ikut terseret dalam lautan manusia tu. Setidaknya dalam beberapa menit ke depan aku akan terus berimpitan dengan manusia disini. Melanjutkan perjalanan setelah keramaian di Stasion, aku melibat sebuah kompleks bangunan dan benteng tua yang berdiri kejauhan dari pandangan mataku Bangunan terbuat dari ribuan batu bata dan berwarna kecokelatan, puluhan daun jendela yang menempel di dinding membuat indah bangunan disana. Betul sekali, sesuai dengan tebakanrku terupat ini adalah Kamp pelatihan militer. Aku akan menghabiskan waktu dan berkutat dengan senjata, berlari dan merunduk di lumpur dan belajar tiarap jika diperlukan.

Suara peluit kencang membangunkan diriku dari sebuah ranjang. Kulihat banyak orang yang nampak tergesa-gesa bersiap untuk berbaris di tengah lapang. Hiruk pikuk ini membuatku merasa tidak nyaman. Dengan mengumpulkan tenaga pagi itu, aku bersiap secepat mungkin Suara derap langkah kaki mendekati ruangan ku dan para tentara lain. Pintu ruanganku di dobrak. Seorang perwira militer meneriaki kami. Kaget tersentak, aku langsung memakai seragamku, mengikatkan sabuk dan mengangkat ransel milikku.

"Kalian semua adalah warga sipil yang terpilih. Kalian telah diberi tugas oleh negara untuk ikut dalam perang ini. Tugas kalian adalah membasmi pasukan Jerman keparat itu. Kita bebaskan Verdun, kita bebaskan Somme, dan kita bebaskan kota lainnya"

"Siap, laksanakan pak !!" Sahut kami secara serempak.

Pelatihan yang ku jalani selama beberapa bulan ini sangat menguras tenaga. Kami diajarkan cara menembak dan merakit senjata kami. Bagaimana cara menikam musuh dan memberikan serangan pada parit musuh. Setidaknya itu cukup pikirku untuk memenangkan perang ini. Enam bulan setelah pelatihan ini kami mendapatkan tugas pertama kami. Aku ditugasi

memimpin pasukan untuk melawan Divisi V Jerman pimpinan Baron Von Dorf. 5 September 1914 aku dan pasukanku berangkat menuju Kota Marne. Hamparan kota yang hancur, tanah yang gersang dipenuhi mayat, kepulan asap dimana-mana dan dentuman senjata musuh adalah teman kami sepanjang perjalanan. Diriku telah tiba di bagian parit terdepan

pasukan Prancis. Parit yang panjang, kotor berlumpur dan ditambah sesak manusia adalah

kesan pertama yang kudapati.

Peluit panjang berbunyi bersahutan, seluruh pasukan membuka pisau bayonet dan memasangkannya pada senjata masing-masing. Sebelum diriku mencerna apa yang sedang terjadi, teriakan terdengar dimana-mana. Penyerbuan ke parit Tentara Jerman dimulai. Aku memerintahkan pasukan untuk lari sekuat tenaga menerjang lini terdepan Jerman, Serangan kami dibalas oleh rentetan senapan serbu dan dentuman artileri Jerman. Serempak kami merunduk dan tiarap mencium tanah, berjaga jaga agar hujan peluru tidak membunuh kami. Aku merunduk dan merangkak mendekati parit lawan. Dengan sigap aku melompat dan menancapkan bayonet untuk membunuh tentara itu. Rentetan senapan serbu terhenti, pasukan kembali berjalan menyerbu.

Terus menerjang dibawah hujan peluru dan dekapan kematian tidak menyurutkan tekadku. Tiba-tiba Jerman mengerahkan artileri dalam jumlah besar. Secara mendadak kami dihujani peluru besar artileri. Para tentara Prancis berjatuhan, Saling berteriak meraung kesakitan.

Kehilangan fokus dan lengah, sebuah peluru artileri menghantam parit tempatku sembunyi.

Sontak tubuhku terlempar tinggi ke angkasa dan mendapatkan luka parah. Kepalaku sakit dan

telinga berdengung keras, napasku tersengal sengal, mataku nanar menatap langit. Penglihatan

terakhirku adalah pasukanku sendiri. Satu persatu dari mereka habis terbantai dihujani artileri Jerman. Pasrah bahwa ajal akan menjemput, penglihatanku menjadi buram. Setelah itu aku Jatuh tak sadarkan diri. Tidak tahu apa yang akan terjadi. "Beve. Hrrrr. Dingin sekali. Apa yang sebenarnya terjadi. Kepalaku sakit sekali." Ucapku sambil menatap sekeliling ruangan dari batu bata tempatku berada. Aku melihat tangan dan

kakiku dirantai dengan borgol dan diikat dengan ranjangku, membuat diriku tidak bisa kabur, Pintu diketuk dan tiga orang tentara Jerman datang menghampiri. Seorang Jerman dengan kumis tebal menghampiri diriku dan berdiri di dekatku. Diikuti dengan Si Gemuk dan St Ranting sebagai suruhannya. Dengan wajah merah dan mendengus marah ia membisikkan sesuatu pada Si Gemuk. Aku merasa tidak enak dengan ini.

"Cepat, kau jawab saja pertanyaanku. Jika tidak maka aku tidak akan segan untuk

melakukan apa saja asal informasi Prancis dapat dibocorkan pada pihak Jerman." Ucap seorang tentara dengan kumis tebal itu. Ia memegang sebuah tongkat kayu berukuran satu meter di tangannya. Belum sempat mulutku bicara, ia menghantamkan tongkat itu sekuat tenaga pada

kedua paha di kakiku. Aku meraung kesakitan.

"Aaaa, Aaaa. Aku tidak akan membocorkan apapun pada Pihak Jerman. Aku akan tetap setia pada negaraku."

"Kau yakin dengan itu? Baiklah aku tidak akan segan melakukan cara apapun untuk mengorek informasi darimu. Kalian berdua bawa tahanan ini ke Ruang Penjara untuk interogasi."

Borgol di kedua kaki dan tanganku dilepas. Tangan Si Gemuk meremas kedua tanganku, memegangiku agar tidak kabur. Si Ranting menatap punggungku sekilas. Sebelum aku digiring ke Ruang Interogasi, sebuah botol kaca dipecahkan Si Ranting. Pecahan botol itu ia ambil dan

menusuk punggungku dengan serpihan tajam beberapa kali. "Rasakan ini Bajingan. Kau bermain main dengan orang yang salah. Aku tidak segan membantu Komandan ku mengorek informasi apapun. Rasakan pecahan botol ini." la

menancapkan pecahan sebesar setengah jempol padaku.

"Aaaaa, Aaaaa. Aku tidak akan menyerah. Aku akan tetap berdiri diatas sakit dan penderitaanku. Aku memilih bertahan." Sambil merintih dan meraung aku menahan pedihnya pecahan botol kaca yang memenuhi punggungku. Aku merasakan darah terus mengalir keluar, tidak peduli akan itu. Aku berjalan tertatih tatih dikawal Si Gemuk dan Si Rantung menuju Ruang Interogasi. Sampai disana, tubuhku dilempar dan diinjak Si Gemuk. Sekali lagi aku meraung memecah keheningan.

"Sekarang Kau jawab saja pertanyaanku. Bocorkan saja informasi mengenai pasukanmu padaku. Aku akan melepaskanmu dari sini dengan selamat. Kau boleh pergi setelah ini." Pria berkumis itu menjadi interogator diriku. Ia menghisap cerut dan asapnya memenuhi wajahku.

"Cih, bajingan Jerman seperti kalian tidak layak untuk diberikan informasi berharga." Jawabku dengan lantang sambil menahan perih luka di tubuhku. Sontak Si Gemuk mengambil sebuah ember di dekatku yang berisi air es. Ember besar itu ditumpahkan padaku. Membuatkas menggigil kedinginan. Rasanya tulangku seperti beku dan hancur karena suhu ekstrens tersebut. St Kurus datang dan menyundut kedua pahaku dengan kertas yang dibakar sedikit minyak. Aku kembali menjerit dan meraung kesakitan.

"Ayo katakan jagoan. Seberapa kuat dirimu berada dalam Kamp Tahanan ini. Apa kau ingin jadi pahlawan dan mati disini. Tentu tidak. Sekarang katakan sesuatu."

"Kalian tidak akan mendapat apa-apa, Sakiti saja aku, tapi aku bersumpah mati atas nama negaraku."

Si Ranting membuka kotak perkakas dan mengeluarkan sebuah tang pemotong kawat. Dengan sigap Si Gemuk mendongakkan kepalaku dan membuka paksa mulutku. Si Ranting mencabut beberapa gigiku dengan paksa. Kehilangan tenaga, aku langsung pingsan dengan pandangan berkunang-kunang. Satu hal yang ku ingat, seorang Perwira Jerman mendatangi diriku yang sedang disiksa habis-habisan oleh Interogator. la menendang S Ranting dan meludahi muka Pria berkumis itu. Setelah itu aku tak ingat apa-apa.

Setelah sadar dari pingsan, aku mendapati diriku dalam Rumah Sakit militer. Tubuhku dibalut penuh dengan perban bak mumi Mesir. Tepat di sampingku seorang Perwira Jerman duduk dan menatapku dalam-dalar. Aku perlahan mulai mengenali wajahnya.

"Ayah, ini aku Karl menantumu. Aku sekarang menjabat sebagai Perwira Muda Jerman. Aku berhasil membawa ayah kesini dari Ruang Interogasi. Luka yang sangat parah, beruntung ayah masih dapat bertahan. Kudengar ayah tertembak artileri dan terpelanting menghantam tanah. Itu akibat pertahanan yang Jerman buat. Setidaknya aku memberi informasi bahwa Prancis akan mustahil menembus parit kami."

"Terima kasih banyak atas pertolonganmu Karl. Ayah jadi selamat. Memang benar, terakhir kali ayah memimpin pasukan ayah menyerang parit Jerman. Kami tidak mendapat informasi bahwa itu jebakan. Sekarang ayah ingin bertanya bagaimana kabar Marry?"

"Marry baik-baik saja. Kota Saint Mihiel di duduki Jerman dengan kekuatan seribu pasukan. Mereka menjadikan Saint Mihiel sebagai basis pertahanan mereka. Tapi aku tidak yakin apakah mereka akan selamat dari bahaya mengingat perang besar sedang bergejolak."

Secara tiba-tiba peluit panjang dan sirene peringatan berbunyi kencang. Prancis kembali menyerang dengan menghujani Kamp Jerman dengan serangan udara dan artileri secara membabi buta. Karl bergegas dan berlari melesat meninggalkanku sendiri. Melihat kesempatan ini, aku berjalan tertatih-tatih keluar rumah sakit dan terus bersembunyi dari Tentara Jerman yang sodang lari kalang kabut. Serangan mendadak ini kesempatanku. Secara mendadak sebuah bom pesawat meledak di dekatku. Membuat tubuhku terlempar ke parit. Aku kembali tak sadarkan diri.

Kembali terbangun, aku sudah berada di tenda Pasukan Prancis. Aku melihat Fredy sodamg mengobati luka di kaki ku. Sambil menahan sakit aku mempersilahkan Fredy mencuci dan

membasuh luka ku. Sakit sekali rasanya namun aku tetap bersyukur aku tidak tewas di tempat mengerikan seperti itu.

"Sudah kuduga Jerman mendirikan Kamp di Utara Kota Marne. Ternyata kau juga ditahan dan disiksa disana. Bukan hanya kau, ada sekitar seratus lima puluh orang ditahan disana. Para keparat Jerman itu harus membayar."

"Terima kasih Fredy. Aku hanya meminta agar anak ku yang bertugas sebagai Perwira Muda Jerman tidak kalian bunuh. Aku tahu ini ganjil, tapi ia adalah suami anak ku satu-satunya."

"Kau tidak perlu risau. Lagipula mengenali Perwira Muda Jerman adalah hal yang mudah. Itu dapat terlihat dari seragamnya. Tapi aku harus tetap membunuh Baron Von Dorf. Orang itu adalah dalang dibalik kehancuran Front pertempuran ini."

"Emil, sekarang kau harus istirahat. Kau harusnya sudah mati saat itu. Namun kekuatan tubuhmu luar biasa. Jika kau terus memaksakan diri kau bisa celaka."

Pada 19 Oktober 1914 Fredy dan diriku mendapat perintah untuk memobilisasi pasukan menuju Kota Ypres untuk menekan pergerakan Pasukan Jerman. Setidaknya kami harus menghadapi gempuran artileri Jerman di Ypres. Hal itu tentu sangat berbahaya. Sesampainya di Ypres suasana sangat mencekam. Kubu Prancis mendapat pukulan telak. Banyak sekali mayat di parit dan luar parit. Sungguh menyeramkan. Aku dan Fredy ditugasi untuk memimpin pasukan kami untuk menyerang parit Tentara Jerman. Kali ini Prancis mendapat bantuan Inggris. Aku merasa optimis akan hal ini.

Gunakan Air Seni kalian untuk membasahi sebuah lap dan gunakan untuk menutupi hidung kalian. Jerman menggunakan Gas Klorin yang bisa membunuh dalam sekejap." Teriak salah satu Perwira Prancis sebelum memulai serangan.

"Pasang Bayonet kalian. Kita lakukan persiapan untuk menyerang. Perhatikan titik kekuatan musuh dan periksa setiap senti parit. Rebut bungker pertahanan mereka"

Peluit panjang dibunyikan dengan serempak kami berlari menerjang hujan peluru milik Tentara Jerman. Aku mengambil sebuah parit dengan kedalaman satu meter untuk sembunyi dan mengokang senjata. Senjata ku isi dan sebuah granat tongkat kulempar menuju penembak senapan serbu Jerman. Ledakan hebat terjadi dan itu membuka celah bagiku dan pasukan Prancis masuk. Di sisi lain Jerman menyediakan Tank kelas berat untuk bertahan. Dari jauh sebuah Tank besar menembak dengan gencar pasukan Fredy. Aku mengalihkan pandangan dan kembali melihat ke arah Fredy dari kejauhan, ia dan pasukannya sudah terdesak serangan Tank Jerman. Ku lihat Fredy terluka parah dan pingsan tak sadarkan diri.

Pilihanku hanya satu, aku harus menyelinap ke bungker Tentara Jerman untuk mencuri pasokan obat mereka untuk menyembuhkan Fredy. Berjalan dan berlari di antara tumpukan mayat dan parit kulakukan demi nyawa sahabatku. Sebuah lorong beratap kayu, gelap dan berlumpur ada di depanku. Kuharap ruangan ini menyimpan suplai obat. Ku memberanikan diri masuk sambil mengokang senjata. Untuk saja tidak ada Tentara Jerman didalam. Ku bergegas mengambil kotak obat dan berlari keluar. Tentara Jerman yang melihatku langsung memberondongku dengan senapan. Membuat beberapa peluru menggores kulitku dan

melubangi topi bajaku. Sebuah ledakan granat melempar diriku hingga jatuh dekat parit perbatasan. Membuatku selamat dari cengkeraman maut

"Apapun yang terjadi, kau harus hidup. Kumohon bertahanlah!!" Ucapku sambil mengikat perban pada luka Fredy.

"Aku akan bertahan. Luka ini sangat menyiksa. Darah keluar dalam jumlah banyak membuatku lemas."

Dengan sigap aku menarik kaki Fredy dan menggendongnya ke garis belakang dan menyerahkannya pada pasukan medis, Kekuatan Jerman semakin kuat. Pesawat tempur mereka meraung-raung di udara. Hamparan tanah lapang pertempuran berubah jadi lautan Gas Klorin yang membunuh ratusan tentara. Misi penyerbuan telah gagal.

Di kala rintik hujan mulai jatuh sebuah surat kecil datang diantar Kurir untuk beberapa pasukan. Namaku disebut oleh Kurir. Aku berjalan terpincang-pincang karena luka setelah penyerbuan. Menyambut kertas itu dengan tanganku. Surat itu ditulis oleh anakku, Mary. la menuliskannya dengan rasa khawatir dan waswas.

"Viktor, cucumu sudah besar Ayah, la sudah berumur tiga tahun semenjak engkau pergi berperang. Ia bahkan sudah bisa membaca beberapa kata dan sudah mahir berjalan. Sekarang ia sedang menderita sakit kolera. Keadaan Saint Mihiel memburuk. Jumlah kematian warga sipil meningkat, penyakit juga semakin tersebar ke kota. Jumlah makanan juga menipis. Jangan khawatir, aku pasti bisa bertahan."

Hatiku sesak dan tertegun sejenak melihat betapa buruknya kondisi Saint Mihiel. Namun aku hanya bisa membalas surat tersebut dengan sekilas dan berdoa pada Tuhan agar 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun