Hari ini tepat 2 tahun setelah kepergian ayah. Aku tidak akan pernah melupakan tanggal ini. 1 Januari 2015, hari dimana orang yang paling aku sayangi pergi. Bukan pergi untuk sementara waktu saja, tetapi pergi untuk selamanya, meninggalkan aku, ibu, dan adikku Saka.
Aku sangat menyayangi ayah. Orang yang selama ini telah memanjakanku. Selalu memberi perhatian lebih kepadaku. Sampai saat ini aku masih belum bisa menerima kepergian ayah. Aku sudah mencoba untuk mengikhlaskannya, namun hati ini masih resah, kesedihan mendalam masih tersisa.
Begitu pula dengan ibu, aku tau ibu pasti merasakan kesedihan yang sangat mendalam. Sekarang tidak ada lagi sosok ayah yang selalu menyapa ibu dengan senyuman indah di pagi hari dan disambut ibu dengan secangkir kopi. Tidak ada lagi sosok yang menemani ibu ketika harus begadang sampai tengah malam untuk membuatkan pesanan kue dari orang-orang.
Saka yang dulu sekarang tak lagi ada. Dia lebih sering mengunci diri di kamar, sambil memainkan gitarnya. Berbeda dengan Saka yang dulu yang sering bermain keluar dengan teman temannya sampai lupa waktu. Saka memang orang yang tidak suka menunjukkan kesedihannya kepada siapapun, mungkin karena ia merasa laki-laki tidak pantas untuk menunjukkan hal itu, termasuk kepadaku kakaknya.
Sekarang ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga. Ibu harus menafkahi aku dan Saka. Terkadang aku kasihan melihat ibu harus bekerja sendirian. Tidak pernah sekalipun aku melihat ibu mengeluh. Aku tahu bahwa sebenarnya ibu sudah lelah bekerja ditambah lagi harus mengurus aku dan Saka.
Seperti biasa, setiap minggu pagi kita selalu pergi berziarah ke makam ayah, sosok terhebat yang pernah ada. Tak lupa kami haturkan doa untuk ayah, agar ayah tenang di alam sana. Namun, air mata kembali berjatuhan membasahi pipiku. Seakan-akan menceritakan perasaanku.
“Ayo kakak, adik kita pulang,” ujar ibu kepadaku dan Saka.
“Sebentar lagi ya bu, Saka masih ingin disini,” jawab Saka.
“Baiklah, 5 menit lagi ya, ibu dan kakak akan menunggu di mobil.”
Dari kejauhan kulihat Saka menundukkan kepala, sekali-kali ia mengusap pipinya. Aku tahu ia sedang menangis meluapkan perasaannya.
Sepulangnya dari makam ayah kami singgah sebentar di sebuah rumah makan, tempat kesukaan ayah. Ayah suka makan disini karena di belakang rumah makan ini terdapat sebuah kolam pancing dengan pemandangan yang sangat indah. Ayah juga pernah bilang bahwa dengan melihat pemandangan yang indah seperti ini bisa menghilangkan beban pikiran kita.