Pernahkah menduga menggigil di hujan malam?
Saat kau sama sekali tak pernah bisa menduga, isi kepala, hati dan airmata..
Waktu itu, semua tak sesuai rencana
Pernah bahagia, namun semua terpecah sirna
Pernah kecewa, namun semua terbelah airmata
Dan semua sempat tertutup kabut gelap, aku dibawa
Tiba-tiba semua tak percaya
Kalau aku biasa saja
Tak perlu urusan bermacam banyaknya
Sempat melawan
Tapi semua seperti sudah gila saja, lebih dari sekedar kesyetanan
"Mungkin kau yg merasa enggak, tapi fisik merasa iya. Yaudah ayo ikut aja, lagian jg ada askes"
Kata teman yang waktu siang duduk di sebelah menemani satu meja
Ketika sampai
Aku merasa gedung ini tidak bersahabat
Dari susunan bangsalnya sepertinya aku ingat
Aku pernah ada di sini saat fisik terasa hebat
Ahh, tapi ini apa?
Dan di mana?
Berusaha mengalihkan pikiran
Aku mengikut saja pasang badan
Sambil didorong sepanjang lorong jalan
Aku merasa senang memainkan hape yang bernyawa 6%
dengan sesekali memotret anak-anak bermain di lorong-lorong bangsal kegirangan
Ini menyenangkan
Ini apa?
Dan di mana?
Sekali lagi aku bertanya-tanya sendiri
Seperti pernah ke sini
Masih asyik memotret
Dorongan pun berhenti tak lagi diseret
Serentak semua sok sibuk seperti tak mau meladeni waktu yang terpencet
"Advent ini, bodoh"
Terdengar bisikan dari kuping kiri saat aku sibuk memutar putarkan kepala melihat seisi ruangan
Aku balas senyum dan diam bukan berarti kesenangan
Serentak para manusia peniru malaikat dengan jubahnya menghampiri
Ini konyol, jemari-jemari mereka berusaha mencari
Mencari apa yang sedang dialami tubuh ini
Dok, bukankah matahari akan datang pagi nanti?
Aku merasa tak apa dan biasa saja
Tapi mereka menilai dirawat saja
Ini konyol kedengarannya
Aku menurut saja
Aku meminta semua dengan segera
Tak perlu menunda-nunda
Apalagi berlama-lama
Tak ada guna
Tapi ya dapat perlawanan
Masih belum diizinkan
Aku diminta bertahan
Alhasil, kunikmati saja prosesnya..
Dengan catatan, tidak untuk berlama-lama!
Bukankah matahari akan datang pagi nanti?
Merasa bosan dengan tayangan tv di depan
Aku melepaskan pandang ke arah kaca kamar sebelah kanan
Ada perawat pria yang terlihat masih sangat muda
Asyik menyapu ruangan luar dan membersih-bersihkan
Dia membalas pandang ke arah kamar
Dia tersenyum seperti ada kata-kata yang keluar dari mulutnya
Perlahan aku buka daun jendela untuk menyapa
"Pak kok di sini, kapan masuk?"
Lah, udah kayak maling aja aku dibuat, tamu masuk tak diundang
Sambil mencoba-coba mengingat, aku menjawab "tadi kok, baru"
"Hehehe, pasti bapak tak ingat saya kan?"
Aku tersenyum
"Deli Tua Pak, Columbia Asia. Yang masuk kuliah Kewarganegaraan"
"Ohhhiyaiya, kok di sini?" Tanyaku
"Sebentar Pak, nanti saya ke dalam."
Deli Tua datang sambil membawa teh manis hangat
"Ini Pak diminum, selagi hangat bagus langsung diminum"
"Terimakasih banyak ya" jawabku.
"Saya pindah Pak, makanya di sini. Kebetulan saudara ada yang bertugas di sini"
"Waah asyik dong di sini, langsung kerja ya"
"Hehehe iya Pak, syukur. Pak maaf saya gak bisa lama. Ohiya, pasti bapak gak sempat bawa buku kan. Ini ada buku, lumayan untuk mengusir bosan. Aku tau bapak suka baca."
"Wahh ada-ada saja, sekali lagi makasih banyak ya."
"Iya Pak sama-sama" Deli Tua lalu berlalu keluar ruangan.
Benar, untuk mengusir bosan kubuka-buka saja bukunya
Buku bersampul biru tua ini bagus sepertinya
Aku mulai membacanya
Semakin terhanyut dalam ceritanya
Seperti kejadian nyata saja
"Wanita yang keruh hatinya, akan cepat berlalu dan menelantarkan kau begitu saja"
Aku menjumpai kalimat ini di halaman 22, baris ketiga dari baris terakhir.
Aku sempat membayangkan dan berspekulasi
Cuma sebentar, lalu aku lanjut membaca
Di halaman 57 aku berhenti membaca dan menutup rapat
Kuletakkan buku di atas meja tanpa sudut yang berlipat
Aku mencoba beristirahat
Karena lelah seakan mulai tahu kenapa
Ternyata aku tak bisa
Masih belum bisa melanjutkan untuk biasa saja
Efek obat bekerja keras mengganggu telinga
Begitu perih
Sakit begitu hebat
Aku kembali membayangkannya
Aku mengingat senyumnya yang begitu merekah
Aku pernah menyapanya
"Anak siapa sih, kok manis sangat senyumnya"
Dia menjawab dengan senyum manisnya lebih lebar
Aku kembali berspekulasi saja
Aku yang telah menyia-nyiakannya, kurasa ini benar adanya
Kembali aku meraih buku bersampul biru tua tadi
Perlahan aku membaca
Berharap selesai membacanya satu malam ini
"Wanita tak semua mampu menyebut rasa dengan kata. Tapi, dia pasti mampu menunjukkan rasa dengan lakunya"
Kutemukan kalimat ini di halaman 72 baris kedua di paragraf pertama.
Aku kembali melanjutkan membacanya
"...tak ada yang mampu mencegah lakunya, bila ia benar sudah mencinta"
"...tak ada alasan baginya untuk dapat mencintai yang lainnya bila ia benar mengatakan cinta"
"Wanita dengan hati yang jernih yang mampu menerima rasa, dan memilih untuk bertahan."
Kalimat-kalimat ini yang mulai kutemukan dari tiap bait perbait, dari halaman ke halaman lain di dalamnya.
Aku mulai memikirkan
Bahwa apa-apa yang dituliskan di buku biru hanya sekedar karangan saja
Apakah mungkin benar itu kebenaran?
Aku tak yakin
Aku hanya ingin jujur mengungkapkan
Bahwa aku masih memeluknya
Aku masih mencumbunya
Aku masih mencintainya
Dari segenap apa yang pernah aku lakukan padanya
Aku berniat menjaganya, bersamanya
Meskipun semua yang diharapkan sirna
Berbeda dengan apa yang nyata
Yang ada, dengan mudahnya ia melayangkan cinta
Aku selalu merindukan cintanya ..
"Kau mau pulang cepatkan?!"
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara dari arah pintu
"Eh iya la boy, cem?"
"Yaudah, ko istirahat lah dulu. Nti biar diurus"jawabnya langsung pergi meninggalkan kamar.
Selesai subuh, aku mulai merasa begitu lelah
Aku coba beristirahat memejamkan mata
Tak lama, sekitar jam setengah delapan
Aku coba bangun
Eh, ternyata aku lupa
Aku pikir aku di kamar yang biasa
Ya sudah aku kembali merebah
Meminta tolong pada teman
Aku minta ambilkan sedikit air dari kamar mandi
Aku ingin mencuci muka biar terlihat segar
Detik, menit dan jam yang berlalu di sini begitu sangat membosankan
Tapi setidaknya, disini aku kembali mulai jujur pada diri sendiri
Ternyata aku tidak biasa saja
Benar kata teman, bahwa fisik ini berhubungan dengan apa yang dipikirkan
Tubuh tak bisa ditipu, walau berusaha keras membohongi pikiran melulu
Aku tak biasa saja
Aku merindukannya..
"Woiii, yok! Dah bisa pulang katanya. Dah beres kok, dah tinggal cabut lah. Senang ko kan? Hahaha"
"Ya dah jelas" jawabku.
Selepas maghrib aku tak lagi melihat dinding-dinding yang awalnya begitu membosankan..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H