Hmm..
Sebelum lebih jauh membahas tentang politik, kita harus tau arti atau definisi dari politik itu sendiri. karena Ibnu Sina pernah berkata,"Tanpa definisi, kita tidak akan pernah sampai pada konsep." Secara etimologi, politik berasal dari kata Belanda politiek, dan dari Inggris politics, yang semuanya bersumber dari bahasa Yunani politika yang berhubungan dengan negara dan warga negara. Politik tidak akan bisa dilepaskan dari negara, dan politik sangat berkaitan dengan kebijakan.
Politik adalah suatu alat atau cara yang digunakan untuk memperoleh kekuasaan, menerapkan kebijakan dan mempertahankan kekuasaan. Politik juga bisa diartikan sebagai  cara cara atau arah kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan. Atau bisa diartikan sebagai pengaturan urusan masyarakat dalam segela aspek kehidupan. Berbicara politik, tidak akan bisa dilepaskan dari ideologi, karena politik dijalankan berdasarkan ideologi yang dianut tiap tiap negara. Ideologi adalah pemikiran atau gagasan yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan, dan bagaimana untuk merasionalkan dan menerapkan gagasan tersebut dalam bentuk ril.
Sederhananya, politik adalah salahsatu cara untuk menerapkan ideologi ke sistem kehidupan kita, Sangat banyak ideologi yang kita ketahui di era modern ini. Dua ideologi besar yang mengusai dan sempat menguasai dunia adalah Liberalisme dan Komunisme. Liberalisme dipimpim oleh negara adidaya Amerika Serikat sedangkan Komunisme yang sempat menunjukan taringnya dipimpin oleh Uni Soviet. Dengan ilmu yang seadanya kita akan fokuskan pada sistem politik liberalisme yaitu, Demokrasi. Khususnya di Indonesia.
Secara umum liberalisme mencita citakan kebebasan individu dalam berpikir dan mengemukakan pendapat, liberalisme menolak adanya pembatasan dari pemerintah maupun agama. Dalam masayarakat modern, liberalisme akan tumbuh dalam sistem demokrasi mengingat demokrasi begitu mendewakan kebebasan berpikir dan suara mayoritas.
Demokrasi
"dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat."
Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Namun apakah benar dalam penerapannya akan seperti itu? Bagaimana jika aku mengakatan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari pengusaha, untuk pengusaha, dan oleh pengusaha? Kenapa aku bisa berkata seperti itu, karena dalam kenyataannya, seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau kepala daerah membutuhkan uang yang tidak bisa dibilang sedikit untuk mempublikasikan dirinya dihadapan rakyat.
Menurut mantan mendagri Gamawan Fauzi yang menjabat dari 2009-2014, untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah membutuhkan minimal sekitar 20 miliar, kalau untuk daerah kaya raya bisa 100 miliar sampai 150 miliar. Apakah bisa seorang rakyat jelata mencalonkan diri sebagai kepala daerah dengan cost sebesar itu? jawabannya sangat sulit, sampai di sini kita bisa lihat sendiri bahwa demokrasi hanya bisa diikuti oleh orang orang kaya atau pengusaha, masihkah bisa dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat?
Okee, sebenarnya ada jalan bagi rakyat jelata untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau kepala daerah, iyaa melalui kerjasama dengan pemilik modal, bahkan orang kaya pun tidak akan mau mengeluarkan uang sebanyak itu untuk sekedar mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil rakyat. Tentunya pemilik modal tidak akan begitu saja mengluarkan modalnya tanpa imbalan, "mana ada di dunia ini yang gratis?'
Dengan bekerjasama dengan pemilik modal, sebenarnya calon kepala daerah atau wakil rakyat hanya menjadi boneka yang akan menguntungkan pemilik modal. Pemilik modal bisa dengan leluasa mencabut dan menerapkan peraturan sesuai keinginan mereka. Apakah ini bisa disebut pemerintahan untuk rakyat? Sedangkan kebijakan kebijakan yang diambil kepala daerah dan wakil rakyat hanya menguntungkan pemilik modal?
"Kan bisa mencalonkan dari parpol", okee. Partai politik atau gabungan parpol bisa mengajukan bakal calon kepala daerah dengan syarat, memperoleh 15% kursi DPRD tahun pemilu sebelumnya . Mungkin dibenak kita akan timbul pertanyaan, "darimana dana operasional parpol?" Banyak cara yang dilakukan oleh partai politik untuk mendapatkan dana operasional, bisa dari iuran rutin anggota atau dari APBN yang dialokasikan khusus untuk kegiatan parpol, perhitungannya adalah partai yang memperoleh kursi pada DPR RI akan mendapatkan Rp108 per suara setiap tahunnya.
Berpatokan pada pemilu tahun 2014, PDIP berhasil mengumpulkan suara sekitar 23,7 juta. Jika dikalikan berarti PDIP mendapatkan dana operasional sebesar 2,6 miliar per tahun hingga tahun 2019 dari dana APBN. Dengan dana sekecil itu tentulah tidak cukup untuk partai sebesar PDIP melakukan operasionalnya, karena dalam hitungan kasar, kurang lebih parpol membutuhkan sekitar 50 miliar sampai 75 miliar untuk operasional setahun.
Lantas darimana parpol menutupi kekurangannya? Nah, di sini pemilik modal mulai bermain lagi. Jika kita amati partai partai politik di Indonesia, kebanyakan dipimpin oleh pengusaha kaya yang mungkin tidak mengerti tentang politik, namun karena memiliki "saham" yang besar di parpol tertentu, dia bisa merangsek naik jadi pemimpin parpol dan mempunyai pengaruh besar terhadap parpol itu."Pemerintahan oleh rakyat?". Hmm...
"Demokrasi dalam pandangan Islam"
Banyak orang yang mengatakan bahwa demokrasi sejalan dan tidak bertentangan dengan politik Islam, karena demokrasi memiliki esensi yang sama dengan Islam yaitu, musyawarah (syura), toleransi (tasamuh), keadilan (al-adl), dan persamaan (musawah). Padahal bukan itu inti dari demokrasi, inti dari demokrasi adalah bahwa (1) kedaulatan berada di tangan rakyat, (2) rakyat adalah sumber kekusasaan, dengannya rakyat bebas membuat hukum atau UU sesuai kehendak mayoritas. Jelas ini bertentangan dengan Islam, Allah berfirman:
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik". (Qs. Al-An'am: 57)
"Hak hukum (putusan) hanyalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Itulah agama yang lurus". (Qs. Yusuf: 40)
(lihat An-nisa: 60 dan 65)
Dalam ayat ini kita simpulkan bahwa hanya Allah-lah yang berhak membuat hukum, artinya hanya syariat-Nya yang berhak dijadikan hukum, jika tidak ditemukan suatu peraturan yang mengatur suatu masalah, maka dibolehkannya untuk menentukan sendiri kebijakannya, asal tidak melenceng dari syariat-Nya.
Dengan segala kekuarangan ilmuku, aku sangat menghargai pejuang pejuang Islam yang ingin menegakan syariat Islam dalam demokrasi, namun jika kita melihat pejuang pejuang Islam yang berjuang melalui demokrasi maka akan ditemukan bahwa mereka akan terjerumus dalam budaya kotor demokrasi tersebut, seperti yang sudah kita ketahui bahwa partai-partai Islam yang ada di Indonesia tidak membawa perubahan sedikit pun, justru mereka terjebak dalam budaya korupsi yang sudah menjadi identitas di negeri ini.
Karena seseorang yang baik, jika masuk ke sistem yang rusak, dia tidak akan bisa merubah sistem itu justru sistem yang akan merubahnya, contohnya, jika ada seseorang yang jujur namun masuk ke kantor dengan budaya yang korup. Dia hanya punya dua pilihan jika ingin mempertahankan prinsipnya, keluar dari kantor tersebut atau dikucilkan. Inilah yang terjadi jika muslim memperjuangkan Islam melalui sistem yang rusak.
Maka dari itu, sudah saatnya kita  mulai memperjuangkan syariat Islam dengan mengikuti cara cara yang rasul lakukan ketika menegakan syariat Islam hingga bisa mendirikan kota Madinah. Ayoo pelajari sejarah rasulullah secara mendalam, dan ikuti sunnahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H