Desa Batuah gempar. Marhamah, anak gadis Mariyam satu-satunya, dikabarkan hilang sejak jam pulang sekolah. Hanya tas gendong dan sepatu bututnya yang ditemukan temannya teronggok di lahan kosong belakang sekolah. Temannya tak ada yang tahu persis peristiwa raibnya Marhamah, gadis hitam manis berlesung pipit yang dikenal berbudi bahasa baik. Sangat tidak mungkin ia mempunyai musuh. Tapi, kabar kehilangan itu membuat warga sekitar saling lempar pertanyaan. Apa yang terjadi?
Ditunggunya Marhamah oleh emaknya hingga larut malam. Tapi tak jua batang hidungnya kelihatan. Di atas sajadah Mariyam mencurahkan derita kehilangan gadis semata wayanganya kepada Tuhan. Linangan air mata pun membanjiri tempat bersujudnya menghantarkannya pada Subuh yang penuh keluh.
Paginya, Desa Batuah bak nona yang sedang berkembang, menggoda orang-orang untuk berkumpul dan membicarakan raibnya Marhamah. Beberapa ibu menghampiri Mariyam dengan segala kata yang diuraikan untuk menghibur hatinya yang gundah gulana. Bah air matanya pun tumpah tak terkendali, tak kuasa menerima cobaan yang menimpa diri. Mariyam rubuh kehilangan tongkat bagi hidupnya.
Di balik kerumuman warga, terlihat seorang tua renta tergopoh-gopoh menghampiri Mariyam. Secarik kertas kecil pun ia berikan dengan tangan bergetar.
“Jangan risau, calon ibu mertuaku. Aku akan membawa Marhamah ke surga dengan bergelimangan harta. Akan kubangunkan istana yang megah. Hanya restu yang kupinta. Salam. Calon menantumu.”
Diremasknya surat kaleng itu. Rasa tercabik-cabik hatinya. Siapa yang berani menculik anak gadisnya? “Siapa yang mengirimkan ini?” Tanya Mariyam pada si kurir.
“Bos Harso, Yam.” Jawabnya singkat.
Harso, laki-laki beristri tiga yang tak pernah puas dengan jumlah istrinya. Jika istrinya berjumlah ganjil maka ia akan memburu gadis-gadis di desanya, bahkan di desa lain untuk diperistri. Ia bergelimang harta dan dikelilingi wanita.
Pipinya tak lagi merimis. Tapi air mukanya menandakan murka. Ia bergegas menuju kediaman Harso untuk menjemput anak gadisnya. Ia tak sudi dan tak akan rela melepaskan Marhamah kepada laki-laki amoral itu.
***
“Mak .... Emak .... Tolongin Hamah. Hamah takut.” Jerit lirih keluar dari mulutnya. Isak tangisnya pun menggema di ruangan berukuran dua kali dua meter persegi. Udaranya pengap. Hanya ada satu jendela bertelaris besi. Ia disekap oleh anak buah Harso. Tubuhnya lunglai karena sejak diculik belum ada satu sendok nasi pun yang melewati kerongkongannya. Ia tak memakan nasi jatah yang disodorkan oleh anak buah Harso. Ia takkan sudi mengisi perutnya dengan makanan dari laki-laki yang berhati picik.