Tiba-tiba saja Melenial menjadi bahasan dalam ranah politik praktis hari ini. Terutama menjelang Pilpres 2019 mendatang. Lalu pertanyaannya pun muncul, kenapa sebegitu fenomenalnya istilah milenial di tahun politik ini?
Faktor Sandiaga Uno, diskursus teks milenial ini muncul dan resonansi semakin deras. Saat, Partai pengusung Prabowo menentukan pilihan Sandiaga Uno sebagai pendamping.
Sosok Sandi diprediksikan akan menarik sentimen suara milenial. Dengan sosok yang dimiliki Sandi. Yaitu, calon paling muda. Performa fashionnya yang kekinian didukung tentu saja memiliki raut wajah yang tergolong tampan.
Faktor paling kuat persepsi Sandi sebagai representasi suara milenial. Adalah, sandi adalah figur sukses ekonominya. Dengan usia yang masih 50-an, kekayaan Sandi mencapai angka 4 Trilliaun.
Apabila disimplikasikan, Sosok Sandi adalah. Tampan, masih muda dan sukses. Jelas, konstruksi citra Sandi. Menjadi impian para generasi Milenial.
Lalu sejauh manakah Monster Suara Milenial itu menakutkan diperhelatan politik kali ini?
Untuk mengetahui hal tersebut. Harus kita jelaskan definisi milenial itu sendiri. Dikutip dari Wikipedia. Yang disebut Milenial itu, Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X yang tua.
Dijelaskan lebih lanjut, Generasi ini umumnya ditandai dengan peningkatan pengunaan dan keakraban dengan komunikasi, media dan teknologi Digital.
Lebih Jauh Borton Liew CEO CIAYO COMIC. Dalam sebuah diskusi terbatas dengan beberapa pelaku bisnis e-commerce. Borton pendiri Comic Ciayo, industri komik yang berbasis digital. Melihat perilaku generasi milenial yaitu.
Pertama, Generasi milenial memiliki target oriented. Tidak suka janji-janji surga, tidak terpengaruh lobby-lobby atasannya. Kedua , Apolitis. Generasi Milenial tidak mau masuk politik namun lebih banyak beraspirasi dan 'berpolitik' lewat dunia maya (incognito) dan pesan-pesan subliminal. Ketiga, Tidak suka dengan komitmen.
Kemudian secara kuantitas, jumlah pemilih milenial mencapai angka 40 persen atau sekitar 70 juta-an suara. Data tersebut dirilis Saiful Mujani Research Center.
Apakah Sandi Diuntungkan?
Memang apabila kita lihat konstruk kefiguran dan relasi karakteristik milenial. Sandi diatas kertas akan diuntungkan dengan suara milenial tersebut. Ini terbukti dengan hasil survey yang dilakukan oleh LSI Danny JA. Elektabilitas Prabowo mengalami kenaikan dari 28 persen. Setelah dipasangkan dengan Sandi menjadi 29 persen. Survey tersebut dilakukan bulan Agustus 2018 lalu.
Sebagai asumsi hasil tersebut pasti menggembirakan bagi timses Prabowo-Sandi. Mereka masih punya waktu hingga 7 bulan ke depan untuk meningkatkan elektoral elektabilatas mereka. Terutama menarik simpati dikalangan milenial.
Tentunya, modal kedekatan antara relasi konstruksi figur dan karakteristik pemilih milenal. Menjadi bahan untuk formulasi kampanye ini melawan petahana.
Bahkan, dikalangan pengamat. Pertarungan Pilpres ini sejatinya. Bukan Prabowo melawan Jokowi. Melainkan Sandi versus Jokowi. Prabowo dinilai tidak mampu lagi didongkrak. Elelatabilitasnya hanya mentok di angka 25 persen saja.
Frame suara milenial dalam menetukan hasil pilpres tersebut. Akan jadi ajang garapan tim sukses Prabowo dan Sandi. Diharapkan patahan suara Milenial melimpah ke Prabowo dan Sandi.
Secara fenomenologis, Sandi memang sangat diuntungkan dengan suara milenial yang sangat cair tersebut. Tentunya, petahana juga mengetahui potensi kelebihaan kompetitornya. Upaya membendung pun dilakukan.
Apabila melihat karekteristik dan perilaku milenial. Masih banyak lubang yang bisa dimasuki kubu petahana. Kendati pasangan Jokowi dan Kiai Ma'ruf secara fisik. Simbolilasi mereka jauh dari imajinasi kaum milenial.
Apabila kita menggunakan 3 karekteristik diatas, target oriented, apolitis, tidak suka komitmen. Maka sangat besar upaya untuk membendungnya.
Tentunya, tidak dengan tampilan. Melainkan dengan kebijakan dan pola kampanye yang mendekatkan pada kaum milenial. Petahana akan dengan mudah melahirkan kebjikan yang menawarkan langsung kepada milenial. Kebjikan yang efeknya dirasakan langsung. Ketimbang janji-janji yang tentu saja jauh dari keinginan milenial.
Tidak boleh dinaifkan. Petahana yang didukung dengan figur-figur yang memilili airtime tinggi di medsos. Akan jadi penjembataan petahana dengan pemilih milenial. Mendesign sedimikian rupa uploud an di medsosnya. Tentu saja dengan visual atau verbal yang identik dengan milenial.
Misalnya, para pendukung petahana yang dengan masif mem-posting seremoni Asian Games. Dengan objek utama Jokowi. Yang diasumsikan sebagai cara menarik pendukung milenial.Berbagai variasi tampilan membanjiri media sosial.
Sementara, Kiai Ma'ruf ditampilkan sebagai sosok lain dalam pertarungan milenial ini. Pasalnya, secara demografis kelompok milenial ini masih memiliki ruang ke-indonesia-an. Yaitu, religius dan masih mengedepankan tata krama. Kiai Ma'ruf pun diperankan sebagai figur panutan yang harus dihormati.
Pertarungan merebut suara milenial ini. Sebenarnya menarik. Bagaimana kandidat akan menyajikan arus baru tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara generasi berikut.
Kampanye pun sedimikian kreatif dengan sajian kekuataan teknologi digital. Dan kekuataan daya empaty para kandidat kepada masyarakat bawah.
Penulis adalah Konsolidator Jawa Timur Barisan Milenial Kiai Ma'ruf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H