Sebuah kesempatan menyenangkan bisa sampai di Wakatobi. Salah satu destinasi wisata yang terkenal dengan keindahan bawah lautnya. Wakatobi pun ikut digadang menjadi salah satu dari Destinasi Super Prioritas oleh Pemerintah. Sebagai orang yang bekerja di instansi pemerintah dan "kunjungan" menjadi salah satu tugasnya, bisa mendaratkan kaki di Wakatobi jadi menyenangkan.Â
Hari Minggu, 19 Desember 2021 kami mendarat di Desa Sama Bahari, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi. Disana, kami dan rombongan lainnya melakukan audiensi dengan masyarakat. Mereka adalah masyarakat Suku Bajo, sebuah suku yang kehidupannya biasa di atas laut. Mereka bahkan diyakini merupakan keturunan langsung dari laut.Â
Begitu menginjakkan kaki disana, aku terkesima dengan rumah masyarakat yang seluruhnya berada di atas laut. Saat turun dari kapal, sebuah jalan dari papan-papan kayu langsung terhampar yang ditopang oleh kayu-kayu yang menancap di dasar lautan. Memang, ada pula yang sudah lebih kuat yaitu dengan jalan beton lengkap dengan pondasi betonnya. Seru juga sambil berjalan sambil melihat ikan-ikan kecil lalu lalang dibawahnya.Â
Ditengah jalannya acara, rasa ingin ke toilet pun muncul. Ah dipikir sekalian saja jalan-jalan melihat perkampungan disana. Tanya demi tanya dimana toilet umum yang bisa dipakai, sampailah di Puskesmas Hoga.Â
Setelah minta izin dengan petugas yang jaga, mampirlah sejenak ke toiletnya. Lepas dari toilet, sekilas dipandang bangunan Puskesmas ini cukup baik, bersih, dan nampak cantik. Terlihat seperti bangunan baru yang masih terjaga. Diluar Puskesmas, berjumpalah dengan seorang petugas yang bernama Rizki. Rupanya, dia adalah seorang relawan yang tergabung kedalam program Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan.Â
Dari Mas Rizki, banyak kisah yang dibagi selama bertugas di sana. Puskesmas Hoga menjadi satu-satunya fasilitas kesehatan yang berada di desa terapung tersebut. Ia berkisah bagaimana seluruh petugas disana harus bersiaga jikalau ada hal-hal darurat yang terjadi.Â
Saat kutanya apa yang mungkin terjadi, dia cerita soal ibu yang melahirkan, anak yang tenggelam, hingga warga yang terjatuh dari papan kayu dan tertancap di karang atau kayu-kayu di dasar lautan.Â
Jarak desa terapung dengan pulau Kaledupa sebagai salah satu pulau terbesar memang tidak begitu jauh. Namun untuk mencapai fasilitas kesehatan yang lebih baik, haruslah menuju pulau Wangi-Wangi yang waktu tempuhnya bisa mencapai 1 hingga 2 jam. Untuk beberapa kasus yang berat, bahkan harus dirujuk ke Kendari yang masih memakan waktu 45 menit dengan pesawat terbang.Â
Ohiya, Mas Rizki juga cerita saat dimana Ia dan seluruh warga desa harus bersiaga saat status Tsunami "menyala" pasca gempa di NTT beberapa bulan sebelumnya. Maklum, Wakatobi berhadapan langsung dengan Laut Banda. Syukur, pada akhirnya Tsunami tidak datang.Â
Ditengah ngobrol, aku tertarik melihat jejeran drum dan gentong berisi air. Dengan iseng, ku berseloroh ternyata disana pun suka mengumpulkan air hujan juga seperti di Jawa ya.Â
Ternyata benar, tapi bukan tanpa alasan. Sebagai perkampungan yang letaknya di tengah laut, air tawar jadi barang yang langka. Untuk mendapatkan air tawar, mereka harus membawa dari pulau Kaledupa dengan pipa yang panjang. Sayangnya, jaringan pipa yang ada rusak akibat dihantam kapal. Opsi lainnya mereka harus membeli dari pedagang yang membawa air dari pulau seberang.Â
Biaya per galonnya memang murah, kalau tidak salah hanya 3.000-5.000 per galon. Tapi, ongkos membawanya yang memberatkan. Jadi, air tawar yang bersih mereka pakai untuk makan dan minum serta kebutuhan medis, sedangkan untuk yang lain memanfaatkan air hujan yang ditampung tadi. Disitu barulah aku merasa betapa berharganya air tawar/air bersih.Â
Cerita lain yang didapat adalah kesulitan para petugas kesehatan untuk mendapatkan aliran listrik. Memang, kabel-kabel listrik dan alirannya sudah masuk ke sana. Tapi, tidak sepenuhnya mereka dapat menikmati pasokan listrik tersebut.Â
Pada saat tertentu, mereka terpaksa harus menunda untuk melakukan tindakan disaat pasokan listrik tiada. Kalau tidak salah, listrik akan optimal menyala pada malam hari, dan terbatas di siang hari. Itulah mengapa, untuk beberapa kasus pasien yang berat, mereka harus merujuk ke pulau besar terdekat.
Kini, setelah setahun berlalu tulisan ini baru dapat ku lengkapi. Semoga apa yang dulu dilihat dan diceritakan, kini sudah berubah dan jauh lebih baik. Semoga Mas Rizki, maupun seluruh petugas atau relawan yang berada di Desa Sama Bahari, ataupun di daerah manapun yang mungkin kondisinya tidak jauh beda, senantiasa diberikan kekuatan dan semangat. Semoga pula suatu saat bisa mampir lagi kesana.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H