Gogom menimbang nimbang lagi keputusannya pensiun merokok. Saat aayik ngobrol, dari dalam rumah, keluarlah istri Tatam membawa dua gelas kopi. Ia sepertinya mendengar obrolan dua sekawan itu, ia pun mencoba nimbrung. "Iya, itu lebih baik. Sebaiknya lekaslah berhenti merokok. Biar badanmu sehat. Sebenarnya aku benci orang yang merokok."
"Jadi kau benci denganku, Marlina?" tanya Tatam seketika sambil meraih segelas kopi.
"Aku cinta sama kamu. Akan makin cinta jika berhenti merokok sehingga kau tidak meracuni anak kita ini," jawab Marlina dengan anggun.
"Ya, akan kupikirkan," Tatam ketawa, lalu meniup kopinya yang panas dan menyeruputnya agak sedikit. "Aaah."
"Nah, kan. Memang gampang menyuruh orang," kata Gogom bersemangat, seolah membalikkan perkataan Tatam ke wajahnya sendiri.
"Kenapa kita tidak sama-sama berhenti menghisap rokok saja, untuk hari ini dan hari selanjutnya. Kau setuju?" Tatam seperti mendapat inspirasi sehabis meminum kopinya.
"Demi anakmu dan diri kita?" tanya Gogom.
"Ya, siapa lagi yang akan menyayanginya kalau bukan diri sendiri," ujar Tatam mantap.
Gogom dan Tatam bersalaman tanda kesepakatan telah tercapai. Tapi, Gogom kemudian mengambil rokok terselip di kemeja Tatam secepat kilat. "Eh, kenapa. Katanya mau berhenti."
"Setelah yang satu ini."
"Okelah. Kau saja yang menghisapnya. Jauh-jauh dari sini. Sebaiknya ke halaman rumah saja, dekat pohon rambutan itu," pinta Tatam.