Gogom mengendarai motor Supra modifnya ke rumah Tatam. Bunyi knalpotnya jika dijadikan kata maka seperti prompopopopo. Tatam menyambut kawannya dengan melambaikan tangan sambil mengajaknya duduk di teras rumah bersamanya. Tatam melihat raut muka Gogom dengan seksama saat Gogom mendekat ke teras rumah. Sekali-dua kali, terbaca dan terkira-kira oleh Tatam bahwa Gogom baru saja habis perang dengan ayahnya yang pemberang, atau dengan ibunya yang cerewet. Demi menghibur perasaan Gogom, Tatam meneriaki istrinya yang di dalam rumah untuk membawakan dua gelas kopi pahit. Istrinya yang sedang duduk di sofa sambil mengelus kandungannya yang tujuh bulan, dengan enggan berjalan juga ke dapur.
Gogom lalu turun dari motornya, menuju bangku panjang di teras rumah Tatam. "Tak usahlah buatkan kopi," sahut Gogom sambil duduk di sebelah Tatam.
"Siapa bilang kopinya itu untukmu," balas Tatam sambil tertawa.
"Sialan kau. Eh, kau ada rokok ndak? Sudah gatal mulutku ini minta rokok."
"Orang kaya minta rokok ke rakyat jelata, bukan main."
"Ayah ibuku yang kaya, aku melarat, sialan!"
"Oh, begitu." Tatam terbahak-bahak. "Ambillah rokok di saku kemejaku ini."
Gogom menoleh, bersiap mengambil rokok.
"Eits, cerita dulu lah. Masalah apa yang terjadi, baru dapat rokok ini."
"Ya, kau tahulah." Gogom mengambil nafas, lalu melanjutkan, "aku minta jajan dikiranya buat beli rokok. Aku mau keluar rumah, dikiranya main judi sabung ayam. Curiga betul sama anaknya ini."
"Kau tahu sendirilah. Orangtua memang begitu. Coba saja kau jadi orangtua nanti." Tatam menoleh dari jendela rumahnya, melihat istri yang sedang sibuk dengan kopi.