PENULIS ARTIKEL : Ima Karimah, Fathin Aulia, Fauzan Fadillah, Tenny Sudjatmika, M.ag
Manusia tidak bisa lepas dari agama. Sebab agamalah yang mengatur tata kelola kehidupan manusia, hingga terjadi kedamaian dan ritme hidup sebagaimana mestinya. Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Dalam mengatur kehidupan manusia setiap agama memiliki pedoman acuannya masing masing yang biasa kita sebut dengan Kitab Suci. dalam agama islam kita memiliki pedoman hidup atau hukum yang mengatur kehidupan umatnya yakni mengacu pada kitab suci nya yaitu Al-Quran. Pengertian Al Quran sesuai bahasa adalah bacaan atau yang dibaca. Menurut istilah, pengertian Al Quran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Al Quran diturunkan melalui malaikat Jibril yang dihimpun dalam mushaf yang merupakan mukjizat Nabi Muhammad.Â
Kitab suci merupakan hal yang sakral dan membacanya pun memiliki aturan-aturan yang sudah ditetapkan dan tak jarang muncul pertanyaan yang menjawabnya harus dengan disertai hadist-hadist pendukung yang shahih dan tentunya berdasarkan diskusi juga persetujuan para ulama.Â
Sebagai umat islam tentu kita sudah tidak asing lagi dengan salah satu pertanyaan yang sering kita temui dan banyak kita dengar adalah tentang bagaimana hukum membaca Al-Quran tanpa memiliki wudhu dan bagaimana hukum membaca Alquran tanpa menutup aurat. Maka dari itu dalam penelitian ini kami berfokus untuk mengulik lebih dalam tentang bagaimana sebenarnya hukum dari pertanyaan-pertanyaan di atas.
Dalam Islam kita diajarkan untuk selalu memperhatikan kebersihan dalam segala aspeknya, baik kebersihan jasmani dan rohani serta kebersihan lingkungan. Salah satu bentuk menjaga kebersihan diri yaitu dengan cara berwudh. Dalam ilmu bahasa, wudhu dipahami sebagai nama tempat dilakukannya wudhu, yang asal usulnya adalah al-wadha'ah yang artinya bersih, indah, bagus. Menurut syara', wudhu ialah membasuh, mengalirkan dan membersihkan dengan menggunakan air pada setiap bagian dari anggota- anggota wudhu untuk menghilangkan hadast kecil (Akrom, Terapi Wudhu : Sempurna Shalat, Bersihkan Penyakit, 2010). Adapun menurut syara', wudhu adalah membersihkan anggota tubuh tertentu melalui suatu rangkaian aktivitas yang dimulai dengan niat, membasuh wajah, kedua tangan dan kaki serta menyapu kepala (Hasanuddin O. , 2007). Menurut Sayyid Sabiq, definisi wudhu adalah kegiatan bersuci dengan menggunakan air. Anggota badan yang disucikan di dalam wudhu adalah wajah, kedua tangan, kepala dan kedua kaki (Abdullah). Sedangkan menurut Abu Sangkan, wudhu adalah ibadah zikir yang merupakan sarana pembersihan jiwa, yang dimulai dari sisi paling luar (fisik) sampai ke dalam rohaninya. Dalam Risalatul Mu'awamah dijelaskan, seharusnya kamu selalu memperbaiki wudhumu di setiap sholat fardhu dan usahakan dengan sungguh-sungguh untuk selalu suci (tidak mengandung hadast). Abu Sangkan menjelaskan bahwa wudhu merupakan prosesi ibadah yang dipersiapkan untuk membersihkan jiwa agar mampu melakukan hubungan komunikasi dengan Allah yaitu shalat. Secara praktis, Â wudhu merupakan wujud dari gerakan-gerakan membasuh dan atau mengusap anggota tubuh. Wudhu adalah praktik melemaskan otot-otot tertentu dari kontraksi atau ketegangan. Gerakan-gerakan wudhu mengajarkan harmonisasi dan kelenturan, dua hal yang sangat menyehatkan tubuh fisik kita (Muhyidin, 2007). Oleh karena itu dalam melakukan gerakan-gerakan dan basuhan-basuhan wudhu upayakan untuk menjaga kesadaran agar jiwa tetap hadir kepada Allah agar tujuan penyucian jiwa melalui wudhu tersebut dapat tercapai sehingga dapat memberikan terapi bagi jiwa agar menjadi bersih dan tenang (Sangkan, 2013). Wudhu atau bersuci dari hadas (kotoran batin) wajib dilakukan ketika hendak melakukan shalat, thawaf (mengelilingi Ka'bah) dan menyentuh kitab suci Al-Qur'an. Selain waktu-waktu yang wajib untuk berwudhu, dianjurkan juga berwudhu sebelum berdzikir, sebelum tidur (juga pada saat junub atau haid pada wanita) dan sebelum mandi wajib.Â
Berikut adalah dalil dan hadist yang menunjukan persyariatan wudhu :
Dalil dari al-Qur'an adalah firman Allah SWT QS. Al-Maidah (5) : 6,Â
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.
Dalil dari as-Sunnah: "Abu Hurairah berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah diterima shalat orang yang berhadats sehingga ia berwudhu". Seorang laki-laki dari Hadramaut bertanya, "Apakah hadats itu wahai Abu Hurairah?" Ia menjawab, "Kentut yang tidak berbunyi atau kentut yang berbunyi". (HR. Bukhari)Â
 Dalam hadits yang lain, Rasulullah SAW bersabda,
 "Dari Mush'ab bin Sa'ad, dia berkata, Abdullah bin Umar r.a pernah masuk ke rumah Ibnu Amir untuk menjenguknya ketika ia sakit, lalu ia bertanya, "Hai Ibnu Umar! Mengapa ketika kamu berada di Bashrah tidak berdo'a kepada Allah untuk saya?" Abdullah bin Umar menjawab, "Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, "Allah tidak menerima shalat tanpa bersuci (wudhu) dan tidak menerima sedekah dari hasil penipuan". (HR. Muslim)
 Dalam riwayat yang lain,
 "Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Maukah aku tunjukkan sesuatu yang dengannya Allah menghapus kesalahan- kesalahan dan meninggikan derajat?" Mereka (para sahabat) berkata, "Ya, wahai Rasulullah". Beliau bersabda, "Menyempurnakan wudhu atas hal-hal yang tidak disukai, memperbanyak langkah ke masjid-masjid dan menunggu shalat setelah shalat. Itulah ribath". (HR. Tirmidzi).
Di dalam kitab al-Mubadda', Abu Ishaq menyatakan:Â
"Aurat laki-laki dan budak perempuan adalah antara pusat dan lutut. Hanya saja, jika warna kulitnya yang putih dan merah masih kelihatan, maka tidak disebut menutup aurat. Namun, jika warna kulitnya tertutup, walaupun bentuk tubuhnya masih kelihatan, maka sholatnya sah. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuh, hingga kukunya. Ibnu Hubairah menyatakan, bahwa inilah pendapat yang masyhur. Al-Qadliy berkata, ini adalah pendapat Imam Ahmad; berdasarkan sabda Rasulullah, "Seluruh badan wanita adalah aurat. Dalam madzhab ini tidak ada perselisihan bolehnya wanita membuka wajahnya di dalam sholat, seperti yang telah disebutkan di dalam kitab al-Mughniy, dan lain-lainnya.
 Di dalam kitab al-Mughniy, Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa "Sesungguhnya, apa yang ada di bawah pusat hingga lutut adalah aurat. Dengan unggapan lain. Yang ada diantara pusat dan lututnya adalah auratnya. Ketentuan ini berlaku untuk laki-laki merdeka maupun budak. Sebab, telah mencakup untuk keduanya. Sedangkan pusat dan lutut bukanlah termasuk aurat, seperti yang dituturkan oleh Imam Ahmad. Pendapat semacam ini dipegang oleh Imam Syafi'iy dan Malik.Â
Abu Hanifah berpendapat, bahwa lutut termasuk aurat.Para ulama sepakat, bahwa wanita boleh membuka wajahnya di dalam sholat, dan dia tidak boleh membuka selain muka dan kedua telapak tangannya. Sedangkan untuk kedua telapak tangan ada dua riwayat, dimana para ulama berbeda pendapat, apakah dia termasuk aurat atau bukan. Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang wanita boleh membuka wajah dan mereka juga sepakat; seorang wanita mesti mengenakan kerudung yang menutupi kepalanya. Jika seorang wanita sholat, sedangkan kepalanya terbuka, dia wajib mengulangi sholatnya. Abu Hanifah berpendapat, bahwa kedua mata kaki bukanlah termasuk aurat. Imam Malik, Auza'iy, dan Syafi'iy berpendirian; seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Selain keduanya (muka dan telapak tangan) wajib untuk ditutup ketika hendak mengerjakan sholat.Â
Berikut adalah opini serta tanggapan para ulama terhadap membaca al qur'an tanpa menutup aurat :
Perkara membaca Al-Qur'an tidak memakai jilbab ini dibolehkan oleh Mufti dari Arab Saudi Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin. Seperti yang dikutip dari laman Islam Q & A, perempuan muslim tidak dikenakan kewajiban mengenakan jilbab saat membaca Al-Qur'an karena tidak ada dalil yang menunjukkan kewajibannya. Syekh Muhammad kemudian mengutip pernyataan dari Ibnu Utsaimin dalam Fataawa Ibn Utsaimin. Ibnu Utsaimin berkata, "Membaca Al-Qur'an tidak diharuskan menutupi kepala,"Senada dengan itu, permasalahan ini sebetulnya juga sudah pernah dijawab oleh anggota Lembaga Fatwa Mesir Dr Nur Ali Salman. Menurutnya, hal itu merupakan suatu kebolehan karena menggunakan jilbab disebut bukan termasuk dalam salah satu syarat membaca Al-Qur'an. "Ya, itu diperbolehkan. Karena bukan salah satu syarat membaca Al-Qur'an bagi wanita yang bercadar, akan tetapi hendaknya dia bersiap-siap untuk sujud tajwid saat membaca. Allah Maha Tahu," demikian penjelasannya yang dilansir dari laman General Iftaa' Department, The Hashemite Kingdom of Jordan.Â
Syekh Mahmud menjelaskan, membaca Alquran itu ada syarat dan tata kramanya. Sebagian besar ulama fiqih berpendapat, bahwa syaratmembaca Alquranbagi seorang Muslim adalah berwudhu terlebih dulu. Syarat lain ialah membaca Alquran di tempat yang tidak ada najis dan tidak membacanya dalam keadaan najis. Untuk wanita, tidak boleh membaca Alquran ketika sedang menstruasi atau setelah melahirkan (nifas).Â
Syekh Mahmud juga mengulas soal adab atau etika dalam membaca Alquran. Adab membaca Alquran di antaranya menggunakan hijab untuk perempuan dan menutup aurat untuk laki-laki. Selain itu, juga harus menghadap kiblat dan membacanya dengan cermat.Â
Syekh Mahmud juga menyampaikan bahwa boleh membaca Alquran tanpa mengenakan hijab bagi perempuan. Namun, dia menekankan, penggunaan hijab adalah etika saat membaca Alquran sehingga ini lebih diutamakan daripada tanpa mengenakan hijab.Â
Dari pendapat para ulama tersebut dapat disimpulkan bahwa:Â
hukum berwudhu sebelum membaca Al-Quran dan boleh tidaknya mengenakan pakaian yang memperlihatkan aurat ketika membacanya memiliki banyak sekali pendapat berbeda-beda dari berbagai ahli ada yang melarang dan ada yang memperbolehkan. Oleh karena itu maka membaca Al-Quran tanpa mempunyai wudhu dan tanpa mengenakan pakaian yang menutupi aurat diperbolehkan selama yang membaca terlepas dari najis dan untuk perempuan yang mengenakan hijab diperbolehkan tidak mengenakan hijab saat membaca Al-Quran namun penggunaan hijab saat membaca Al-Quran adalah etika dan oleh karena itu penggunaan hijab lebih diutamakan.Â
Sekian dan terimakasih wassalamualaikum warahmatullahiwabarokatu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H