Pendahuluan
Suatu hari, saya sedang santai membuka Kompasiana sambil menyeruput kopi. Niatnya sih mau cari inspirasi, tapi malah kena mental. Di hadapan saya terpampang profil seorang Kompasianer yang baru mulai menulis dari November 2022, tapi sudah punya 147 tulisan, 139 jadi pilihan, dan 89 di antaranya masuk headline. Itu lebih banyak dari jumlah mie instan yang saya makan sepanjang tahun lalu!
Sebagai seorang yang juga menulis, saya mendadak merasa seperti kura-kura yang lagi lomba lari sama kelinci. Kok dia bisa seproduktif itu, sementara saya masih berkutat satu-dua-artikel yang headline dalam sebulan? Pikiran ini pun menggelayut, mulai dari rasa kagum, sedikit kagok, hingga akhirnya muncul rasa iri yang tak terbendung. Waduh, jangan-jangan saya selama ini kurang usaha?
Tapi di sinilah titik refleksi penting terjadi. Saya sadar, rasa iri bukan sesuatu yang harus dihindari, tapi sesuatu yang harus dikelola. Alih-alih membiarkannya merusak gaya tulisan saya sendiri, saya mencoba memahami bagaimana perasaan ini bisa berubah menjadi motivasi. Bukankah lebih baik kalau kita tetap bisa berkembang tanpa kehilangan jati diri?
Tulisan ini akan membahas bagaimana rasa iri bisa muncul dalam dunia kepenulisan, bahayanya kalau kita mulai meniru orang lain tanpa mempertahankan keunikan sendiri, dan bagaimana menjadikannya sebagai bahan bakar kreativitas. Jadi, kalau kamu pernah merasa ciut saat melihat penulis lain lebih produktif, jangan khawatir---kamu nggak sendirian. Kita bahas sama-sama!
Kenapa Rasa Iri Itu Muncul?
Rasa iri bukan hal yang muncul begitu saja tanpa sebab. Biasanya, ia berakar dari kebiasaan manusia untuk membandingkan diri dengan orang lain. Ketika kita melihat seseorang sukses dalam bidang yang sama dengan kita, otak otomatis berbisik, Kenapa dia bisa? Kenapa saya belum? Nah, bisikan inilah yang sering kali menjadi pemantik rasa iri.
Di era digital, perbandingan semakin tak terelakkan. Media sosial dan platform kepenulisan seperti Kompasiana memberi kita akses instan untuk melihat pencapaian orang lain. Masalahnya, kita jarang melihat perjuangan di balik kesuksesan itu---yang kita lihat hanya hasil akhirnya. Kita tidak tahu berapa banyak jam begadang yang mereka lalui, berapa banyak tulisan yang ditolak, atau seberapa sering mereka juga merasa tidak cukup baik.
Selain itu, rasa iri juga bisa muncul dari ekspektasi pribadi yang terlalu tinggi. Kita ingin sukses dalam waktu singkat, padahal setiap orang memiliki timeline masing-masing. Ada yang cepat viral, ada yang butuh bertahun-tahun membangun nama. Mengharapkan hasil instan sering kali malah membuat kita frustrasi sendiri.
Jadi, wajar kalau rasa iri muncul. Itu bagian dari perjalanan kreatif. Yang terpenting adalah bagaimana kita meresponsnya. Apakah kita akan membiarkannya menghambat kita, atau justru menjadikannya motivasi untuk berkembang?
Bahaya Meniru Gaya Orang Lain
Dalam dunia kepenulisan, menemukan gaya sendiri itu ibarat mencari warteg favorit. Kalau sudah cocok, ya bakal balik lagi dan lagi. Tapi ada kalanya, kita tergoda buat nyobain tempat lain, alias meniru gaya orang lain. Ini bisa jadi masalah besar.
Meniru gaya orang lain mungkin terasa seperti jalan pintas menuju kesuksesan, tapi kenyataannya justru bisa bikin tulisan kita kehilangan nyawa. Setiap penulis punya suara unik yang membuatnya berbeda dari yang lain. Kalau kita terus-menerus mengadaptasi gaya orang lain, lama-lama kita sendiri bingung, "Ini tulisan saya atau hasil copy-paste mental dari orang lain?"
Percaya atau tidak, pembaca itu bisa mengenali ketulusan dalam tulisan. Kalau tiba-tiba gaya kita berubah drastis---misalnya yang biasanya santai dan humoris mendadak jadi serius dan kaku---mereka bakal merasa ada yang janggal. Ibarat teman yang biasanya suka bercanda, tiba-tiba ngomong dengan nada resmi kayak pejabat. Pasti bingung, kan?
Coba bayangkan kalau kita terus-terusan meniru gaya orang lain, pasti ada rasa tertekan untuk terus menjaga "persona" baru ini. Padahal, menulis harusnya jadi proses yang menyenangkan, bukan malah beban karena harus menyesuaikan dengan gaya yang bukan milik kita. Lama-lama, ini bisa bikin kita kehilangan motivasi buat menulis sama sekali.
Kalau kita selalu meniru gaya orang lain, kita nggak bakal pernah tahu potensi asli kita sebagai penulis. Membangun ciri khas sendiri memang butuh waktu dan eksplorasi, tapi hasilnya jauh lebih berharga daripada sekadar menjadi versi kedua dari orang lain.
Meniru untuk belajar itu wajar, tapi jangan sampai kehilangan diri sendiri dalam prosesnya. Daripada sibuk mengikuti jejak orang lain, lebih baik fokus memperkuat karakter tulisan sendiri. Pembaca akan lebih menghargai tulisan yang jujur dan autentik dibandingkan yang hanya sekadar meniru tren. Jadi, tetaplah menulis dengan gaya yang paling nyaman dan sesuai dengan kepribadian kita!
"Jangan tiru gaya orang lain, nanti malah kayak aktor yang lupa naskahnya sendiri." Â
Mengubah Iri Jadi Motivasi
Iri itu seperti sambal, kalau kebanyakan bisa bikin sakit perut, tapi kalau pas porsinya justru bikin makanan makin sedap. Begitu juga dalam kepenulisan. Rasa iri bisa jadi racun yang membuat kita malas berkarya, atau bisa juga jadi bensin buat mempercepat langkah kita.
Pertama-tama, nggak usah denial. Semua orang pasti pernah iri, bahkan penulis hebat sekalipun. Yang membedakan adalah cara mereka mengelola perasaan itu. Daripada sibuk merasa nggak cukup baik, lebih baik kita gunakan iri sebagai sinyal bahwa ada sesuatu yang bisa kita tingkatkan.
Ketika kita terlalu sibuk melihat kesuksesan orang lain, kita lupa melihat progres kita sendiri. Iri bisa diubah jadi motivasi dengan cara membuat target pribadi. Fokus pada peningkatan kualitas tulisan, bukan hanya kuantitas atau angka yang dicapai orang lain.
Alih-alih hanya terpukau dengan prestasi orang lain, kenapa nggak coba belajar dari mereka? Amati pola kerja, cara riset, atau gaya menulis mereka, lalu adaptasikan dengan gaya kita sendiri. Inspirasi boleh, tapi jangan sampai jadi tiruan.
Menulis bukan sprint, tapi maraton. Daripada hanya iri sesaat, gunakan energi itu untuk tetap konsisten menulis dan berkembang. Setiap tulisan yang kita hasilkan adalah langkah kecil menuju pencapaian yang lebih besar.
Iri bisa jadi beban atau jadi dorongan, tergantung bagaimana kita mengelolanya. Dengan menyadari bahwa iri itu normal, fokus ke perjalanan sendiri, belajar dari orang lain, dan menjadikannya bahan bakar untuk konsistensi, kita bisa mengubah rasa iri menjadi motivasi yang sehat. Jadi, daripada hanya mengagumi, kenapa nggak mulai menulis dan membuktikan bahwa kita juga bisa?
"Menulis itu seperti kopi---ada yang suka pahit, ada yang suka manis. Jangan memaksakan semua orang minum yang sama."
Menemukan dan Mempertahankan Gaya Tulisan Sendiri
Gaya tulisan itu ibarat tanda tangan---unik, otentik, dan susah ditiru orang lain. Tapi menemukan gaya sendiri bukan perkara semudah memilih menu di warteg. Kadang butuh waktu, eksperimen, dan tentu saja, keberanian untuk tetap menjadi diri sendiri.
Setiap penulis punya ciri khas. Ada yang humoris, reflektif, akademis, atau meledak-ledak kayak sambal level 10. Coba evaluasi tulisan-tulisanmu yang sudah ada: apa yang paling sering muncul? Sentuhan humor? Analisis mendalam? Atau narasi personal yang mengalir? Dari sini, kamu bisa mulai mengenali pola dan karakter tulisanmu sendiri.
Filsuf Ralph Waldo Emerson pernah menekankan bahwa pencapaian terbesar dalam hidup adalah menjadi diri sendiri di tengah tekanan untuk menyesuaikan diri dengan standar orang lain. Ini relevan dalam dunia kepenulisan, di mana keunikan setiap individu harus dipertahankan agar tulisan memiliki daya tarik yang otentik.
Jangan paksakan diri untuk menulis dengan gaya yang bukan kamu banget. Kalau suka santai dan penuh komedi, ya teruskan. Kalau suka serius dan penuh data, nggak masalah. Yang penting, tulis dengan flow yang paling nyaman buatmu, karena pembaca bisa merasakan ketulusan dari gaya yang alami.
Psikolog Jordan Peterson menekankan pentingnya membandingkan diri kita dengan versi diri kita di masa lalu, bukan dengan orang lain. Dalam menulis, hal ini berarti bahwa perkembangan harus diukur berdasarkan peningkatan pribadi, bukan sekadar membandingkan jumlah tulisan atau popularitas dengan penulis lain.
Menemukan gaya tulisan bukan berarti harus kaku. Jangan takut bereksperimen dengan gaya baru, tapi tetap dalam koridor keunikanmu. Kadang, variasi dalam menulis bisa bikin kamu semakin berkembang tanpa kehilangan esensi asli.
Menulis mengikuti tren itu sah-sah saja, tapi jangan sampai kehilangan identitas hanya demi viral. Pembaca setia datang karena keunikanmu, bukan karena kamu ikut-ikutan. Ingat, yang bertahan lama bukan yang sekadar mengikuti tren, tapi yang bisa tetap relevan dengan gayanya sendiri.
Kesimpulan
Menulis adalah perjalanan panjang. Selalu ada ruang untuk belajar dari penulis lain tanpa harus kehilangan jati diri. Membaca lebih banyak, bereksperimen dengan format baru, dan menerima kritik dengan terbuka bisa membantu kamu semakin tajam dalam menemukan gaya yang benar-benar kamu banget.
Menemukan dan mempertahankan gaya tulisan sendiri adalah perjalanan, bukan tujuan instan. Dengan mengenali ciri khas, menulis dengan nyaman, menjaga keseimbangan antara konsistensi dan fleksibilitas, serta tidak terjebak tren, kita bisa terus berkembang tanpa kehilangan jati diri. Jadi, tetaplah menulis dengan gaya yang paling kamu banget!Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI