Mohon tunggu...
P.Aulia Rochman
P.Aulia Rochman Mohon Tunggu... Penulis - Petualang Kehidupan Dimensi Manusia yang diabadikan dalam https://theopenlearner333.blogspot.com/

I can't do anything, I don't know anything, and I am nobody.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dunia yang Menawan, Jiwa yang Tertawan: Mencari Kebebasan Hakiki

17 Januari 2025   09:07 Diperbarui: 17 Januari 2025   09:07 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: daaruttauhiid.org

Pendahuluan

Dunia ini penuh dengan daya tarik yang memikat. Harta, tahta, dan pujian seolah berlomba-lomba menawarkan kebahagiaan instan. Namun, seperti serigala berbulu domba, daya tarik itu sering kali menyembunyikan jebakan yang menawan hati dan mengikat jiwa. Ketika segala hal yang bersifat duniawi menjadi tujuan utama, hati perlahan tenggelam dalam pusaran ambisi yang tak berujung.

Pertanyaannya, apakah kita hidup untuk dunia ini, atau dunia justru diciptakan untuk mendukung perjalanan kita menuju tujuan yang lebih mulia? Pemahaman tentang peran duniawi dalam hidup sering kali menjadi kabur di tengah kesibukan dan hiruk-pikuk kehidupan modern. Kita terpikat, terjebak, lalu kehilangan arah. Lalu, bagaimana menemukan kebebasan hakiki di tengah keterikatan yang membelenggu ini?

Sebagaimana Al-Ghazali pernah menjelaskan, keterikatan pada dunia bisa menggelapkan hati, mengaburkan pandangan manusia dari kebenaran ilahi. Hati yang terlalu mencintai dunia menjadi sulit menerima cahaya Tuhan. Dalam tulisan ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana dunia yang menawan bisa menjadi jebakan, bagaimana jiwa tertawan, dan langkah apa yang dapat diambil untuk mencapai kebebasan sejati. Sebuah kebebasan yang tidak hanya membebaskan hati, tetapi juga membawa kita lebih dekat pada Tuhan.

"Keterikatan pada dunia dapat menggelapkan hati, menjauhkan manusia dari kebenaran ilahi." - Al-Ghazali 

Duniawi yang Menawan

Dunia ini, dengan segala kemegahannya, sering kali menjadi daya tarik yang sulit untuk diabaikan. Harta melambangkan kemapanan, kekuasaan menawarkan kendali, dan status sosial memberikan pengakuan. Ketiganya membentuk ilusi kebahagiaan yang terus dikejar manusia sepanjang hidupnya. Namun, dalam pengejaran itu, tidak jarang manusia terjebak dalam lingkaran yang melelahkan dan tak berujung.

Di era modern, daya tarik duniawi semakin diperkuat oleh budaya konsumtif dan kehadiran media sosial. Platform seperti Instagram dan TikTok, misalnya, kerap memamerkan kemewahan hidup yang menciptakan standar kebahagiaan semu. Orang berlomba-lomba menunjukkan pencapaian, membangun citra, dan mendapatkan validasi melalui jumlah "like" atau komentar. Sayangnya, ilusi ini sering kali memicu rasa iri dan kecemasan, alih-alih memberikan kepuasan sejati.

Dalam kehidupan sehari-hari, daya tarik duniawi terlihat jelas. Seseorang yang baru membeli kendaraan mewah mungkin merasakan kebahagiaan sementara, tetapi tak lama kemudian merasa ada yang kurang karena tetangganya membeli kendaraan yang lebih mahal. Di tempat kerja, ambisi untuk mendapatkan promosi sering kali mengorbankan hubungan dengan keluarga atau waktu untuk diri sendiri. Dalam perlombaan tanpa akhir ini, manusia sering kali lupa untuk bertanya: apakah semua ini benar-benar membahagiakan?

Sebagaimana Ibn Qayyim Al-Jawziyyah mengatakan, "Dunia itu ibarat bayangan, jika engkau mengejarnya, ia akan lari darimu." Bayangan duniawi akan selalu menjauh setiap kali kita berusaha mendekat, meninggalkan perasaan kosong yang sulit diisi. Daya tarik dunia ini, jika tidak dikendalikan, dapat menjadi penghalang terbesar untuk meraih kebebasan jiwa.

Menyadari bahwa dunia hanyalah sementara adalah langkah pertama untuk tidak terjebak dalam daya tariknya. Dengan begitu, kita dapat mengarahkan perhatian pada hal-hal yang lebih esensial dan mendalam, seperti kebahagiaan batin dan kedamaian jiwa.

"Dunia itu ibarat bayangan, jika engkau mengejarnya, ia akan lari darimu." -- Ibn Qayyim Al-Jawziyyah

Jiwa yang Tertawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun