Dengan memahami Tsundoku, kita dapat mengubah cara pandang terhadap membaca: dari kewajiban menjadi pengalaman yang lebih bermakna dan personal.
Membaca sebagai Kebun Pikiran
Dalam salah satu video TikTok dari akun @ekspemikiran.id, muncul metafora menarik yang menggambarkan otak kita sebagai sebuah kebun yang hidup. Tidak seperti ruang penyimpanan data yang statis, kebun ini terus berkembang, berubah, dan menghasilkan sesuatu yang baru. Buku-buku yang kita baca diibaratkan sebagai benih yang ditanam di kebun ini. Tidak semua benih akan tumbuh menjadi pohon besar, tetapi setiap benih memiliki perannya masing-masing dalam memperkaya ekosistem pikiran kita.
"Setiap buku adalah benih. Tidak semua tumbuh menjadi pohon besar, tetapi semuanya memperkaya kebun pikiran kita."
Metafora ini mengubah cara pandang kita terhadap membaca. Membaca tidak lagi hanya soal menyelesaikan buku atau mengingat setiap detailnya, melainkan sebuah proses organik di mana ide-ide yang kita serap berkembang menjadi wawasan baru yang memengaruhi cara kita berpikir, merasakan, dan bertindak. Sama seperti kebun yang memerlukan waktu, perhatian, dan ruang untuk bertumbuh, pikiran kita pun membutuhkan perlakuan serupa.
Sebagai contoh, pernahkah Anda membaca buku yang, meski sudah selesai bertahun-tahun lalu, tetap meninggalkan pengaruh mendalam di kemudian hari? Mungkin pada saat membacanya, pesan buku itu tidak sepenuhnya Anda pahami. Namun, ketika menghadapi situasi tertentu, ide-ide dari buku tersebut muncul kembali, memberikan perspektif baru yang relevan dengan kondisi Anda saat itu.
Dengan memahami otak sebagai kebun pikiran, kita belajar bahwa membaca adalah proses yang berkelanjutan dan tidak selalu linier. Setiap buku yang kita baca---atau bahkan sekadar kita simpan---memiliki potensinya sendiri untuk tumbuh dan memberikan makna di waktu yang tepat. Maka, daripada merasa terbebani dengan target atau tekanan membaca, mengapa tidak menikmati proses ini sebagai bagian dari perjalanan intelektual yang alami?
Relevansi Sosial dan Budaya di Era Digital
Di tengah era digital yang penuh tekanan, budaya hustle dan toxic productivity telah menjadi fenomena global. Konsep ini menekankan pada bekerja tanpa henti dan terus-menerus mengejar produktivitas, sering kali mengorbankan keseimbangan hidup. Bahkan, kebiasaan membaca, yang seharusnya menjadi aktivitas reflektif, kini tidak luput dari tekanan tersebut. Banyak orang merasa bersalah ketika tidak menyelesaikan buku, tidak mengingat detailnya, atau bahkan membeli buku baru sebelum menyelesaikan yang lama.
Tsundoku, dengan pendekatan santainya, menjadi antitesis yang menenangkan terhadap tekanan ini. Filosofi ini mengajarkan bahwa membaca tidak harus menjadi perlombaan, melainkan proses alami yang sesuai dengan kebutuhan dan waktu kita. Buku-buku yang menumpuk di rak bukanlah simbol kegagalan, tetapi peluang intelektual yang menanti saatnya untuk tumbuh. Dalam budaya hustle, Tsundoku mengingatkan kita bahwa mengambil waktu untuk berpikir, merenung, dan menikmati adalah bentuk produktivitas yang tak kalah penting.
Menurut sebuah survei oleh Pew Research Center, sekitar 72% orang dewasa di Amerika membaca setidaknya satu buku dalam setahun, namun banyak yang melaporkan bahwa tekanan waktu menjadi penghalang utama untuk membaca lebih banyak. Sementara itu, di Indonesia, laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat literasi masih rendah meski minat membaca perlahan meningkat, terutama di kalangan generasi muda. Fenomena ini mencerminkan betapa pentingnya mendorong kebiasaan membaca yang lebih organik dan bebas tekanan.