Adanya pandangan perihal sastra populer yang kurang bernilai ketimbang sastra adiluhung juga menjadi salah satu faktornya. Walaupun dalam kenyataannya hierarki itu adalah benar adanya. Sastra adiluhung suah tentu memiliki nilai yang lebih mendalam dari pada sastra populer yang tujuannya seperti hanya untuk hiburan saja.
Tapi apa benar sastra populer hanya bertujuan untuk menghibur saja?
Tentu saja tidak. Kendati lebih dominan aspek hiburannya, sebuah karya sastra populer tentu memiliki nilai-nilai dan pesan tersurat maupun tersirat yang ingin disampaikan.
Beberapa nilai yang dapat diambil dalam karya sastra populer adalah nilai keagamaan, sosial, dan kehidupan seperti dalam novel karya Tere Liye yang berjudul Hafalan Solat Delisa (Republika,2005). Bercerita tentang kehidupan seorang gadis cilik bernama Delisa yang hidup sederhana bersama ibu dan ketiga kakaknya, sedang sang ayah bekerja sebagai pelaut yang berbulan-bulan berlayar di samudera, dan hanya pulang setahun sekali.
Dalam novel Karya Tere Liye tersebut, nilai kehidupan, sosial, dan keagamaannya sangat kental. Dapat dilihat dari Delisa yang sangat gigih dalam menghafal 'penyempurna' salah satu rukun islam, yaitu solat.
Kesabaran Delisa dalam menghadapi musibah juga patut diacungi jempol. Karena kendati dirinya masih anak-anak, Delisa mampu membendung kesedihannya atas bencana yang menewaskan ibu dan ketiga kakaknya agar tidak semakin larut dalam duka, dan supaya dirinya mampu melangkah ke depan, dan memulai lagi kehidupannya yang baru bersama sang ayah.
Dari penjelasan singkat tentang salah satu karya sastra populer di atas, menjadi jelas sudah bahwa karya sastra populer juga memiliki pesan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yang tidak melulu soal hiburan,
Kendati masih kalah dengan karya sastra adiluhung.
Meski telah banyak platform online di internet dan media sosial, kenyataannya, para penulis muda di Indonesia masih saja kesulitan dalam menerbitkan dan mempublikasikan karyanya kepada khalayak umum. Mulai dari tidak mendapatkan pengakuan dari berbagai pihak, atau respon yang tidak mendukung. Para pembaca karya sastra juga seiring berjalannya waktu menjadi kian menghilang, hanya ada segelintir saja yang masih sanggup  bertahan.
Dengan adanya, bahkan maraknya perkembangan teknologi zaman sekarang ini, generasi muda seolah-olah telah kehilangan minat mereka dalam membaca karya sastra yang membutuhkan waktu untuk berpikir sejenak, menganalisis, mengimajinasikan, dan mencoba menemukan makna yang terkandung di dalamnya.
Mereka lebih menyukai untuk menatap layar ponsel mereka selama berjam-jam ketimbang membaca dan menulis. Hal ini tentu akan menjadi boomerang bagi mereka di masa mendatang, karena mereka kelak akan kekurangan wawasan dan pengetahuan mengenai sesuatu.