Setelah itu bau kecut rumput, harum marijuana, pelan-pelan meninggalkan kita.
Goenawan Mohamad mengawali puisinya dengan tidak menggunakan teori sajak. Lantas, apa itu adalah kesalahan?
Tentu saja tidak. Dalam seni berpuisi populer atau modern, sudah tidak perlu lagi memakai aturan puisi klasik seperti bersajak, berima, dan harus panjang lebar.
Coba kita analisis sedikit puisi karya Goenawan Mohamad di atas.
Puisi GM (Goenawan Mohamad) bertemakan kehidupan sehari-hari. Menceritakan kisah pasangan yang tengah berusaha dalam meraih mimpinya. Gaya yang dibawakan santai, pemilihan diksinya yang sederhana menjadikan puisi ini tidak terlalu rumit, melainkan unik. Terkesan lebih mirip prosa, dan tidak berima, tetapi tetap mempertahankan estetikanya sebagai puisi bergaya prosa. Ceritanya tergolong ringan, dan relevan dengan kehidupan saat ini.
Dalam pandangan generasi muda, sastra populer merupakan sarana untuk dapat menyampaikan aspirasi, pemikiran, juga uneg-uneg mereka. Menilik data dari LSI terhadap pembaca karya sastra di Indonesia pada tahun 2017, dari 1.200 responden di 34 provinsi di Indonesia, dengan usia di atas 17 tahun, persentase pembaca sastra hanya mencapai 6,2 persen (LSI, Desember 2017).
Sedangkan pada tahun 2019, hasil survei Perpustakaan Nasional mencatat data bahwa minat baca masyarakat Indonesia (buku universal, bukan hanya buku sastra) mengalami peningkatan dari 36,48% pada tahun 2017, menjadi 53,84%. Dalam survei yang sama juga, kategori buku sastra menjadi yang terfavorit sebanyak 58%, mengalahkan kategori keagamaan sebanyak 29% serta kategori lainnya. Generasi muda yang gemar membaca karya sastra populer cenderung lebih aktif dalam bersosial. Banyak dari mereka yang memiliki banyak pengalaman kemudian mengarang sebuah buku sastra populer yang berlandaskan dari pengalaman pribadi atau komunitas. Tidak jarang juga generasi muda yang tidak terlalu suka dalam bersosial (Introvert), dapat membuat karya mereka sendiri. Hal ini tentu tidak dapat dijadikan tolak ukur dalam kamus generasi muda. Sebaliknya, generasi muda yang tidak gemar dalam membaca, membaca apa saja, bukan hanya sastra populer, sampai saat ini  mereka masih tidak dapat menghasilkan apapun.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak dari kalangan generasi muda yang berhasil mengenalkan karya sastra populer mereka. Baik dalam bentuk fisik seperti buku dan pameran, atau dalam platform online media sosial.
Dalam perkembangan sastra populer, tentu tidak lepas dari pengaruh media sosial dengan segala kecanggihannya. Banyak platform online di luar sana yang menyediakan tempat untuk membaca dan menulis karya sastra populer. Sebut saja Wattpad, blog, dan website-website lainnya yang telah banyak melahirkan para penulis muda yang berbakat.
Indonesia sudah tidak lagi kekurangan media untuk generasi mudanya dalam menghasilkan sebuah karya, terlebih karya sastra populer. Tinggal generasi mudanya saja yang mau atau tidak untuk membaca, menulis, dan berkonstribusi dalam karya sastra populer yang ada di Indonesia.
Sejak pertama kali ditemukan sekitar abad 17-19, sastra populer sudah banyak mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu, termasuk dalam tren-trennya yang sering berubah-ubah. Mulai dari cerita para nyai, roman Melayu-Tionghoa, puisi zaman penjajahan, cerpen koboi, hingga novel roman yang masing -masing pernah populer pada masanya, sebelum menjadi seimbang seperti sekarang ini.