Aku miris sekali disaat kota kelahiranku disebut sebagai biang dari terpecahnya persatuan di negeri ini. Padahal, ini merupakan tanggung jawab kita bersama. Sekolah, perguruan tinggi, ormas Islam, ahli bisnis, sosialis dan lain sebagainya yang berbasis Islam seharusnya bisa menciptakan kader-kader unggul agar kejadian seperti ini tidak terjadi lagi.
Tak bisa kita menyalahkan BTP tatkala ia dinaikkan menjadi gubernur setelah Jokowi naik menjadi presiden. Hal itu sudah sah sesuai hukum dan merupakan hal bodoh apabila kita teriak-teriak menurunkannya tanpa sesuai dengan hukum. Tak akan mampu kita melawan ketetapan yang telah kita sepakati sendiri.
Pada akhirnya, 212 memberikan makna yang sesungguhnya untuk menyadarkan bagaimana kegaduhan yang akan ditimbulkan apabila orang-orang kafir naik menjadi pemimpin di lingkungan orang-orang mukmin.
Tak perlu menyalahkan siapa-siapa atas kejadian ini semua. Segala macam nyawa sudah melayang, luka masih terasa perih, caci maki, fitnah, dan sebagainya sudah tak perlu lagi disebarkan. Sungguh indah apabila berbagai warna bergabung menjadi satu dan saling mendoakan satu sama lain. Menciptakan Indonesia dengan keberagaman yang agamis merupakan cita-cita bersama.
Pihak-pihak yang ingin menghancurkan Indonesia dan menjadikan Indonesia sebagai negara khayalannya sendiri hanyalah beberapa golongan kecil yang akan mampu diredam tatkala organisasi-organisasi Islam di Indonesia bisa bergabung dalam menciptakan toleransi. Ciptakan kader-kader handal yang mampu melayani semua pihak untuk menjadi pemimpin Indonesia di masa depan.
Hanya itu cara sebaik-baiknya dalam menjalankan pemerintahan dalam baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Mari maknai 212 ini dengan segelas kopi yang mampu menenangkan hati. Perbedaan hanyalah warna yang senantiasa memperindah satu sama lain. NKRI HARGA MATI, KAMU KAPAN MAMPIR KE HATI?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H