Mohon tunggu...
Fatwa Azmi
Fatwa Azmi Mohon Tunggu... Novelis - Hi, I am, Azmi.

Anak ingusan yang mengetik dengan jari kecilnya, memandang dengan dua bola mata indahnya, dan mempunyai hati sebagaimana hati manusia. Read more at https://www.indonesiana.id/profil/1223/fatwazmi@gmail.com#kbDjWqS1PpfLmjOW.99

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menikmati Posisi Insanun Adilun

19 September 2019   00:34 Diperbarui: 19 September 2019   00:41 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malang, 18 September 2019. 23:59

Oleh: Fatwa Azmi Syahriza (@fatwazmi)

Ketika Tuhan menciptakan manusia dengan 'mantra' Kun Fayakunnya, manusia telah didaulat menjadi khalifah yang bertugas dengan khilafahnya di muka bumi ini. 

Manusia telah dihukumkan Tuhan untuk mengemban beban yang makhluk lain mengundurkan diri untuk menunaikannya. Dengan alasan diciptakan Tuhan menjadi makhluk yang paling sempurna, manusia dianggap lebih mulia dibanding makhluk lainnya. 

Bahkan, seperti yang terdapat dalam kisah di zaman Nabi Sulaiman AS tatkala meminta rakyatnya memindahkan singgasana Ratu Bilqis, seorang manusia sepuh berhasil mengalahkan jin dan mengukuhkan kehebatannya dibanding jin tersebut.

Sudah semestinya dalam diri khalifah terdapat berbagai elemen akhlakul karimah yang lebih. Jika ditanyakan tentangnya, tentunya sifat-sifat seperti Adil, Jujur, dan Taqwa akan menjadi jawaban yang tepat.

Berbagai kisah tentang para pemimpin adil sudah bertebaran dan menjadi kisah yang klasik di dengar. Kembali ke zaman Nabi Sulaiman AS dimana terdapat kisah perselisihan antara dua orang ibu yang mengakui satu bayi sebagai anaknya. Mereka saling berdebat hingga muncullah keadilan Nabi Sulaiman AS sampai singkat waktu beliau dapat menentukan sang ibu yang sebenarnya.

Adil tak hanya semata-mata sama berbagi rata, karena pada hakikatnya adil lebih jauh diartikan sebagai menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Kata 'sesuai' menjadi kunci utama dalam pengertian tersebut. Menyesuaikan penempatan sesuatu.

Dalam berbagai garis waktu perjalanan hidup, akan ada yang namanya Utara dan Selatan yang senantiasa tak bisa disatukan. Mulai dari perbedaan yang bersifat umum seperti pandangan politik hingga lingkup terkecil berupa diaduknya bubur atau dibiarkan sesuai dengan penyajiannya.

Bukan hanya itu, dalam dunia pendidikan pun yang namanya perbedaan marak adanya. Seperti contoh adanya Bashrah dan Kuffah menjadi ujian bagi para peserta didik yang menggeluti ilmu agama khususnya dalam bidang Nahwu.

Berlembar-lembar halaman dalam Syarh Alfiyah Ibn Aqil seringkali membahas perbedaan yang ada di antara mereka. Perdebatan antara Fiil Madhi dan Mashdar menjadi salah satu contoh yang hingga kini masih dibahas di berbagai kajian. Tak hanya perbedaan dari 2 arah, terkadang ada pendapat as-Shanhaji dan al-Farra' serta imam nahwu lainnya yang menambah warna dalam disiplin ilmu pan nahwu.

Diteliti berabad-abad lamanya dengan ribuan ulama ahli hanya menghasilkan jawaban berupa semua pendapat dan dalil yang diungkapkan beliau-beliau itu tepat serta masuk akal semua. Illat mereka sangat kuat bahkan hingga seorang santri harus berulang kali melepas kopiah dan mengipas-ngipasi kepalanya sebagai bukti kebingungan mereka dalam mendalaminya itu.

Namun, perbedaan dalam ilmu nahwu seperti itu bersifat hasanah. Mana ada santri yang fanatik terhadap Bashrah kemudian mencaci maki santri Kuffah dengan radikal. Mereka berbeda namun mereka berbuat adil. Itu kuncinya.

Kembali ke dunia pendidikan dimana menjadi asal mula dari perbedaan pandangan terhadap sesuatu. Semakin zaman berkembang, berbagai teori-teori juga semakin melebarkan sayapnya. Hal itu akan sangat dirasakan terutama ketika duduk di bangku perkuliahan.

Menjadi mahasiswa baru bak menjadi daging panggang di kandang singa atau seperti sepotong ikan goreng yang diperebutkan kucing-kucing kampung. Tak peduli bahwa ia sedang bersaing dengan istri atau bahkan anaknya sendiri yang penting ia berhasil mendapatkan mangsanya tersebut. Daging panggang dan ikan goreng itu mengalami 'shock' sehingga tak bisa bergerak kemana-mana. Yang terlihat hanya pemandangan bahwa keduanya sedang diperebutkan oleh berbagai macam dan jenis singa serta kucing yang berbeda. Adanya 'shock' itu seakan-akan menjadi bom waktu bagi mahasiswa untuk memilih dengan tepat kepada siapa ia harus menyerahkan diri. Memilah, memilih, dan menyerahkan.

Dengan waktu yang cukup singkat, seorang mahasiswa dituntut untuk menyerahkan diri dengan cepat. Kemana jalan langkahnya? Kemana lantang suaranya? Kemana arah pandangannya? Untuk kubu Merah? Kuning? Atau Hijau?

Seorang mahasiswa baru dengan semangat baru berkata, "Aku masuk kubu Merah. Di sana aku bisa menjadi orang yang sukses."

Mahasiswa baru idealis berkata, "Aku masuk kubu Kuning saja, mereka satu pemikiran denganku."

Berbeda lagi dengan mahasiswa baru santuyis, "Aku masuk kubu Hijau deh, sepertinya mereka lebih jelas dan tidak macam-macam."

Ketiganya bersuara lantang membanggakan suaranya masing-masing. Bagiku tak apalah. Toh mereka tak saling merendahkan dan saling bersaing dengan sehat. Berbeda pandangan bagiku jika ada mahasiswa baru yang tak bisa aku kategorikan berjenis apa yang tiba-tiba saja bersuara lantang tanpa pengalaman apa-apa kemudian mengatakan bahwa kubunya adalah kubu yang terbaik dan menafikan kubu lainnya.

Bagiku, ranah seperti itu sudah melampui batas. Kamu belum memiliki pengalaman apa-apa, hidupmu pun masih seumur jagung. Jangan hanya karena satu pandanganmu yang sama membuatmu fanatisme buta. Masih adanya ribuan pandanganmu di luar sana yang berpotensi beradu dengan pemikiranmu.

Aku tahu, semua tak sama dan tak bisa disamakan. Tapi setidaknya berbuatlah adil atas dirimu sendiri. Tempatkan dan sesuaikan dirimu. Menyeburkan dirimu yang masih benih ke dalam tanah hanya karena tanahnya empuk akan membahayakanmu. Apa kamu sudah pastikan bahwa tanah itu bebas dari cacing-cacing radikalis yang siap menggerogoti perkembanganmu?

Masyarakat Indonesia memang sudah terjebak dalam mudahnya akses informasi. Kasus Audrey dan Ratna Sarumpaet tentang perundungan pada awalnya sangatlah manis untuk dibahas. Orang-orang langsung menyatakan simpatinya karena merasa pandangannya terhadap kasus itu sudah sejalan. Namun akhirnya, orang-orang yang terjebak itu malu sendiri.

Ada lagi kasus yang berbeda. Entah karena pandangan mereka atau hanya karena ikut-ikutan, masyarakat yang terjebak itu mengampanyekan isu #EdyOut dengan tujuan memecat Edy Rahmayadi dari kursi PSSI. Berbagai pandangan mereka beberkan dari mulai korupsi massal, dualism jabatan, dan sebagainya. Namun ternyata, lagi-lagi isu itu mentah. Edy pun mengundurkan diri dan ternyata semua opininya terlempar bahkan faktanya kini orang-orang merindukan kepemimpinannya.

Kasus terbaru yang hadir ialah tentang isu Pertentangan KPAI, Pelemahan KPK, hingga pemindahan Ibu Kota. Bagaimana tanggapannya? Patut kita tunggu bola panasnya yang masih menggelinding.

Hanya karena satu pandangan yang dianggap sejalan tidak semestinya membuat seseorang fanatisme buta. Aku katakan masih ada ribuan pandangan yang mesti diperhatikan lebih lanjut. Hanya karena seorang teman mengajak unjuk rasa, dengan mudahnya langkah kaki menyetujuinya.

Hanya karena presiden melakukan satu kesalahan, mulut langsung mengeluarkan cacian dan makian. Menurutku, bukan itu cara dan jawabannya.

Lalu bagaimana? Menjadi Apatis?

800 lebih kata-kata dalam tulisanku ini tidak serta merta menghukumiku bahwa aku menyetujui posisi apatis. Apatis menunjukkan ketidakberdayaan seseorang dalam berpandangan hingga akhirnya ia acuh tak acuh terhadap pandangannya.

Untuk menyikapi hal ini, aku lebih asik menggunakan diksi Adil yang berkesinambungan dengan jabatan utama Insan di dunia ini sebagai seorang khalifah. 

Adil terhadap diri sendiri dengan tidak gegabah menyetujui berbagai doktrin yang disuntikkan terus menerus dalam menjalani hidup ini. Adil terhadap orang lain dengan tetap menghormati pandangannya terhadap sesuatu. Memperselisihkan pandangan di muka umum tanpa adanya tujuan yang jelas adalah hal bodoh. Para akademisi tentu sudah mengerti tentang hal ini.

Insan Adilun berbeda dengan apatis. Di saat apatis acuh tak acuh terhadap keadaan, Insanun Adilun akan berkerja mencari kebaikan di antara keduanya serta menimbang dengan baik apa yang harus dilakukannya. Meski tak sepenuhnya pandangan itu adil, tapi setidaknya terdapat usaha untuk memperoleh keadilan tersebut.

Berbagai pandangan tentang sesuatu akan terus berkembang seiring liberalnya pemikiran yang ada. Liberal pemikiran untuk diri sendiri tak bisa disalahkan dengan syarat bertanggung jawab, berdalil kuat, dan tidak membebaskannya di muka umum. Pandangan diri sendiri merupakan pandangan terbaik yang kita miliki, tetapi mungkin saja bukan terbaik untuk khalayak umum.

Pada akhirnya, memang tidak ada khalifah yang sempurna. Insan hanyalah hewan yang berakal. Insan adalah makhluk yang Dhaif. Insan adalah tempatnya salah dan lupa. Yang membedakan insan dengan hewan hanyalah akal yang merupakan alat untuk bisa menata khilafah dengan benar di bumi-Nya. Selamat bekerja, Khalifah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun