Matahari telah condong ke barat ketika saya bertemu dengan Plipus, lelaki tua penjaga gereja. Gereja dengan lonceng yang tak pernah berdentang lagi. Matahari tepat di atas patung Bunda Marian yang bersahaja. Ke utara, dermaga kecil menunggu. Di timur, pantai membisikkan rayuan pulau kelapa. “Saya ingin meneguk air kelapa,” pikir saya. Menenteng kelapa muda, beristirahat dalam gereja kayu yang tua, tidakkah eksotik?
Di sisi lain, pemandangan truk yang sudah uzur dimakan karat, juga mesin-mesin yang tak terawat, tergeletak begitu saja di samping gudang yang dikelilingi kawat berkarat. Tak jauh dari gereja dan gudang, barak-barak pengungsian terhampar panjang tak terurus. Ilalang telah tinggi dan akar-akar pohon telah melilit barak-barak itu. Ribuan pengungsi memempati barak itu dulu. Betapa depresi mereka yang bertahun-tahun menghuni tempat itu, hidup dalam ketakpastian. Tidur bergerombol berdesak-desakan. Di antara barak-barak yang ditinggal pengungsi ini, saya bermenung membayangkan bahwa Nguyen adalah satu dari gadis yang tertidur lelap di dalamnya.
Tak jauh dari barak, saya berkeliling lagi. Saya berhadapan dengan jeruji penjara, yang ternyata masih di dekat perahu pengungsi, tadi luput dari pandangan mata saya. “Kenapa mesti ada penjara di sini, Pak?” tanya saya kembali pada Saruddin yang masih melayani pengunjung. “Penjara, ya, gunanya buat narapidana. Lihat tulisan itu,” kata Saruddin tersenyum sambil menunjuk satu plakat. Ah, kenapa dari tadi tidak saya baca. Saya kelihatan semakin bodoh di depan Saruddin.
Di plakat itu tertulis: “Bangunan ini selain menjadi markas satuan Brimob Polri yang bertugas di ex-camp pengungsi Vietnam, juga berfungsi sebagai tempat tahanan para pengungsi. Pengungsi yang ditahan di tempat ini adalah mereka yang mencoba untuk melarikan diri dari camp pengungsian dan yang bertindak kriminal seperti mencuri, memperkosa, dan membunuh sesama pengungsi.”
Ah, apa sebenarnya yang terjadi, Nguyen? Seberapa parah perjuangan hidup di pulau ini, setelah perjuangan hidup mengarungi lautan dengan perahu-perahu kecil. Betapa berat beban kejiwaaan orang-orang di sini hingga berniat lari, entah hendak ke pulau mana lagi. Nguyen yang sendiri. Saya juga sedang “lari”, Nguyen. Lari dari kesibukan kota, dari raung mesin, dari gemerlap lampu kota. Akhirnya kita “bertemu” di sini, di Pulau Galang ini—dan saya tak lagi bisa lari. Saya seperti telah dikurung oleh masa silam pulau ini, Nguyen.
Tak jauh dari sini, laut lepas membentang luas. Di barat sana, matahari telah lindap dan sebentar lagi hendak tenggelam. Di atasnya cakrawala kehilangan batas.
published: http://www.sumatrasumatra.com/
Majalah garuda (english version)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H