Sepeda motor melaju melewati jalan berliku. Sekali kami berhenti di jembatan Barelang. Di kisi-kisinya, beberapa pedagang menunggu, menawarkan kepiting dan udang. Saya makan dua keping. Renyah sekali.Teman saya yang membayarnya. Saya tak tahu persis berapa harganya. Jembatan panjang yang menghubungkan Rempang dengan Batam ini seakan ingin menghubungkan sesuatu. Jurang terjal yang dalam, hempasan ombak yang menampar karang, seakan tak ingin lepas dari pagut lautan. Saya seperti berada di dunia atas laut, begitu raksasa jembatan yang memintas lautan ini dengan kawat penyangga dan tiang-tiang besar menghujam bumi.
Motor sesekali meraung mendaki tanjakan demi tanjakan, jalanan sepi dan hanya sesekali saja mobil melintas. Jembatan Tonton-Nipah, Nipah-Setoko, dan Setoko-Rempang, tinggal sudah. Kanan-kiri hutan penuh belukar yang sebagian besar telah tandus dan menguning sehabis ditebang.
Saya tertegun, motor berhenti. Sebuah papan petunjuk terbuat dari lempengan logam dengan cat dasar hijau bertuliskan EX CAMP VIETNAM, seperti rongga besar yang hendak menyedot saya ke masa lalu. Di sana-sini tertulis “Galang, Memory of a Tragedic Past”, saya tak bisa mengira-ngira bagaimana tragedi masa silam itu di Pulau Galang ini hingga sebegitu pentingnya untuk dituliskan. Saya tiba-tiba ingat dengan seorang dosen, Ramadhani. “Saya tak sanggup menatap mata mereka, kulit mereka telah terbakar, ada yang telah bernanah. Tuhan, dosa apa yang telah saya buat, higga diingatkan lagi pada mereka,” katanya dulu, satu kali hingga ia menyarankan jika ke pesisir timur, jangan lupa ke Pulau Galang. Ia salah seorang relawan yang dulu dikirim ke Galang. Di kulitnya yang telah kendor, air mata mengalir bercucuran. Perempuan yang tiap harinya ceria itu tiba-tiba menangis terisak. Saya merasa bersalah yang teramat sangat telah mengingatkannya pada sebuah tragedi. Ah, Galang, misteri apa yang kau kandung…
Saya menghampiri petugas loket yang kesepian itu dan mengajak ngobrol. Saya seperti bertemu teman, dia pun sepertinya begitu. Ketika hendak masuk ke lokasi camp, saya tidak dipungut bayaran sebagaimana wisatawan lainnya, barangkali karena telah melayaninya ngobrol.
Kami berjalan-jalan mengitari camp, seperti dulu saya masuk di sebuah kampung di Aceh sana, ketika perjanjian damai RI-GAM belum tercipta. Sepi, tak berpenghuni. Barak penampungan pengungsi yang berjejer, rumah sakit, gereja, sekolah, penjara, kuburan. “Aduh wisata macam apa kau ni, masa lihat kuburan,” teman saya protes karena cuma kami berdua di lokasi Ngha Trang Grave. Dia tak turun dari motor. Sementara saya telah berjalan melewati tubir, menelisik nama-nama di nisan itu. Betapa banyak nama Nguyen di sini. Barangkali ‘nguyen’ sama dengan ‘cut’ di bagi orang Aceh, atau ‘puti’ bagi orang Minangkabau, atau Raden bagi orang Jawa. 503 makam yang terdiri dari pengungsi Vietnam dan Kamboja yang beragama kristen dan budha. “Besarnya jumlah kematian saat itu diakibatkan karena berbagai penyakit yang mereka derita selama berlayar berbulan-bulan di laut lepas. Selain itu depresi mental membuat kondisi fisik mereka semakin lemah.” Begitu tertulis di plakat di perkuburan itu.
Di tahun 1979, Vietnam dilanda perang saudara yang tak terelakkan. Orang-orang dari Vietnam Selatan, yang kebanyakan tidak menganut paham komunis, memilih untuk meninggalkan Vietnam dan berlayar dengan perahu-perahu kecil, dihempas ombak dan gelombang, diterpa badai, juga panas yang membakar kulit. Orang-orang itu, manusia-manusia perahu itu, yang akhirnya terdampar di Pulau Galang. Salah seorang dari manusia perahu itu, Nguyen kecil dengan rambut dikepang. Nguyen, apa yang terjadi? Ia yang akhirnya diperkosa setelah kegagalan cintanya dengan seorang lelaki pribumi Pulau Galang. Cintanya kandas, cintanya tak terbalas. Teman-temannya, yang merasa sepenanggungan nasib dengannya di pengungsian, membuatkan tugu seadanya. Tugu mengenang seorang perempuan di barak pengungsian.
Sekarang saya berdiri di hadapanmu, berdoa. Nguyen yang dipahat di dalam rimba raya yang rimbun, berhawa sejuk. Tempat di mana kau menemui ajal, dalam cinta yang sekarat, dalam sakit yang tak terperikan. Beberapa sesajen terletak begitu saja di bawah tugu, sepertinya sudah lama. Saya merasa malu sendiri, karena tidak membawa apa-apa, selain kamera dan beberapa catatan-catatan kecil. Tapi setidaknya saya membawa doa, pikir saya menenangkan hati. Kami terus berkeliling menghirup udara yang sejuk. Pohon-pohon besar dan lebat di kanan-kiri membuat sengatan matahari tidak terasa sama sekali.
Tak jauh dari tugu itu, barak-barak pengungsian terhampar, tak terurus. Sebagian telah lapuk dimakan rayap dan belukar telah menjalari hingga tiang-tiang tertinggi. Barak-barak yang dulunya menampung 230.00 lebih pengungsi Vietnam, yang juga sebagian kecilnya dari Kamboja ini seperti sebuah kampung lama yang keluar dari halaman buku-buku sejarah. Ini adalah kali pertama saya merasa berjalan-jalan bukan hanya sebatas melihat keindahan alam. Realitas manusia justru lebih menawarkan eksotisme yang lain. Di tengah pemandangan pulau-pulau yang indah mempesona, ternyata ada derita manusia yang ditanggungnya. Dan keduanya mesti mendapat tempat untuk dicatat.
Saya bertemu Saruddin Napitupulu di museum yang tak jauh dari barak-barak itu. Sebuah museum yang penuh potret, potret wajah-wajah masa silam. Senyum dan tawa lebar para pengungsi, juga kepangan rambut mereka tampak jelas di potret-potret itu. “Saya tidak bisa memastikan, yang mana yang Nguyen,” kata Saruddin sambil menggelengkan kepala. “Semuanya teman-teman saya. Saya kenal mereka. Mereka yang mengajarkan saya bagaimana membuat roti, membuat sandal, meracik minuman khas Vietnam yang enak, tanpa bayar. Mereka orang-orang baik,” katanya mengenang. Beberapa wisatawan mengangguk-angguk, termasuk dua orang bule yang entah mengerti cakap melayu entah tidak. Mereka mendengar serius, Saruddin kian bersemangat.
Beberapa wisatawan tampak asik berfoto dengan latar belakang perahu kayu—tak jauh dari tempat Saruddin duduk melayani pelancong yang ingin mendengar cerita tentang camp ini. Dua perahu masih utuh, dua entah tiga lainnya telah tinggal kerangka. Tidak ada yang begitu menarik dari perahu lapuk yang panjangnya tak sampai 20 meter ini. Tapi, setidaknya perahu-perahu ini telah bersaksi bagaimana ia menyelamatkan ribuan manusia. “Perahu inilah yang dipakai para pengungsi mengarungi lautan Cina Selatan selama berbulan-bulan dan sejauh ribuan kilometer menuju berbagai belahan dunia dengan harapan dapat perlindungan dari negara lain, di antaranya sampai ke Pulau Galang ini dan sebagian dari mereka gagal mencapai daratan dan gugur di tengah lautan karena perahunya tenggelam”. Begitu tertulis di plakat depan perahu.
Di tahun 1995, para pengungsi itu dipulangkan ke Vietnam oleh pemerintah Indonesia dan UNHCR, lembaga PBB untuk pengungsi. Sebagian menolak karena mengira bahwa situasi di Vietnam masih seperti dahulu, ketika mereka meninggalkan Vietnam dalam kecamuk peperangan. Saya tidak tahu, apa arti tanah air bagi mereka, dan bagaimana perang menanam kebencian dalam diri mereka. Betapa banyak mereka yang mati saat meninggalkan tanah airnya. Mereka lebih memilih bunuh diri dari pada kembali ke tanah air. Itulah perang, tak ada yang disisakan dari perang selain rasa dendam. Sebagian dari mereka membakar perahu sebagai perwujudan dari aksi protes mereka agar tak dikirim kembali ke negara asal.